Senin, 09 Mei 2011

"Judicial Independence" (2)


Arti independensi kekuasaan kehakiman selalu berkembang dari waktu ke waktu, baik berdasarkan instrumen Internasional dan regional atau pengaturannya dalam konstitusi dan peraturan perundang-undangan di Indonesia. Independensi misalkan menurut The Bangalore Principles of Judicial Conduct (2002) sendiri tidak berdiri sendiri, melainkan ada nilai-nilai lain yaitu: independensi, imparsialitas, integritas, kesusilaan dan kesopanan, persamaan, kompetensi dan kemampuan.

Akan tetapi seperti banyak dikemukakan ahli, jaminan kekuasaan terbebas intervensi, terutama jaminan hakim bebas sejak diangkat sampai selesai jabatannya jauh lebih penting. Moral para hakim menentukan kekuasaan kehakiman yang bebas ini, selain kapasitas pribadi dan profesionalisme. Peraturan perundang-undangan dapat menciptakan berbagai prosedur untuk menjamin kebebasan hakim itu.

Apa jaminan agar hakim dapat bebas? Bagir Manan di dalam buku-bukunya, misalkan Beberapa Masalah Hukum Tata Negara (1997), Teori dan Politik Konstitusi (2000) dan makalahnya ”Hubungan Ketatanegaraan Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi dengan Komisi Yudisial (Suatu Pertanyaan)”, Majalah Varia Peradilan, No. 244 Maret 2006, mengulas hal ini. Penulis berusaha mensarikan gagasannya yang cukup bagus terkait jaminan kekuasaan independensi dalam peraturan perundang-undangan yang tentu masih relevan sampai sekarang.

Untuk mengetahui pengaruh dan kemungkinan campur tangan atas kekuasaan kehakiman yang bebas adalah sebagai berikut: 1) Tata cara penunjukan hakim. Persoalan yang dihadapi pertimbangan politis mempengaruhi kemerdekaan dan kebebasan hakim, serta kualitas hakim. Cara penunjukan hakim dalam praktik yaitu melalui jalan pengangkatan atau pemilihan. Oleh karenanya penting mengurangi pertimbangan politis, misalkan melalui memperketat persyaratan hakim, testing, promosi ditentukan sistem karir, tradisi hakim bebas, dan kesadaran masyarakat mempengaruhi penghormatan indpendensi. Penunjukan hakim melalui pemilihan nampak lebih demokratis, akan tetapi sistem periodik mengandung kelemahan lebih banyak dari pada melalui pengangkatan. Kelemahan antara lain calon semata-mata pertimbangan politis, pemilih kurang memperhitungkan kualitas, pertimbangan memelihara hubungan dengan pemilih dalam menjalan tugasnya mengadili perkara.

2) Masa Jabatan Hakim. upaya agar hakim akan merasa aman dalam menjalankan tugasnya secara bebas tanpa kekhawatiran akan diberhentikan, maka perlu jaminan masa kerja hakim yaitu seumur hidup atau selama bertingkah laku baik. Hakim dapat meminta pensiun atau pensiun pada usia tertentu. Pada dasarnya jabatan hakim seumur hidup dilakukan di Amerika Serikat, sedangkan India, hakim pensiun umur 65 tahun. Di India ini dianggap seumur hidup, karena umur rata-rata di India 60 tahun. Di beberapa negara, masa jabatan hakim tidak dibedakan untuk hakim pertama, banding, Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi.

3) Pemberhentian Hakim. Hakim tidak dapat diberhentikan dalam masa jabatannya. Pemberhentian hakim tidak oleh lembaga yang mengangkat dan disertai tata cara tersendiri. Satu-satunya cara memberhentikan hakim federal di Amerika Serikat adalah melalui pranata impeachment, sedangkan di Perancis, mengenai disiplin hakim ditangani ”The Higher Council of The Judiciary”. Dengan jaminan tidak diberhentikan kecuali dengan keadaan dan tata cara tertentu, hakim akan merasa bebas menjalankan fungsinya dan hal ini sebagai kehati-hatian melindungi kebebasan dan integritas hakim.

4) Sistem Penggajian dan Anggaran. Penggajian juga dianggap esensi untuk menjamin kemerdekaan dan kebebasan hakim. Pengaturan keuangan hakim harus terhindar dari pengaruh eksekutif. Caranya bisa penetapan pasti jumlah dan tunjangan hakim. Jumlah itu tidak dapat dinaikkan atau diturunkan. Di India, kemungkinan penurunan jika negara dalam krisis keuangan serius. Selain itu, pengaturan keuangan tidak menjadi bagian APBN, melainkan diatur tersendiri, karena kekhawatiran hakim akan dipaksa tunduk pada eksekutif.

5) Establishment. Selain sebuah kelaziman sebagaimana di atas, di India, Ketua MA dan pejabat lain yang ditunjuk memegang wewenang mengangkat pegawai-pegawai dalam lingkungannya, persyaratan kerja, pembelanjaan, gaji dibebankan kepada Dana Konsolidasi yang bukan APBN.

6) Immunities. Di India, semua tindakan dan putusan hakim imun terhadap kritik, kecuali analisis yang bersifat ilmiah. Terlarang mempersoalkan motif yang melatarbelakangi putusan atau tindakan hakim. Parlemen boleh mendiskusikan tindakan hakim hanya dalam rangka pemberhentian hakim tersebut. Selain itu, menurut S.A. de Smith, dalam Constitutional and Administrative Law, jaminan hakim kebal dari proses hukum harus diberikan baik selama proses persidangan, baik yang dilakukan maupun diucapkan, selama tidak menyalanggunakan wewenang, suap dan perbuatan melanggar hukum lain.

7) Prohibition of practice after retirement. Pensiunan hakim dilarang berpraktik sebagai pengacara di hadapan pengadilan di dalam wilayah India. Hal ini semata-mata kekhawatiran mempengaruhi kemerdekaan dan kebebasan hakim yang sedang menjalankan tugas yudisialnya.

8) Kedudukan Kepegawaian Hakim. Bukan persoalan hakim sebagai pegawai negeri atau tidak, namun jika sebagai pegawai negeri harus ada kekhususan dan tidak boleh disamakan pegawai lain yang setiap saat dapat diberhentikan, masa jabatan ditentukan, keuangan diatur dalam APBN.

9) Menteri Kehakiman. Menteri Kehakiman agak sulit diserahkan kepada hakim. Pengawasan administrasi peradilan terbatas staf badan peradilan disertai gagasan memperbaiki pekerjaan administrasi sehari-hari. Selain itu, hal-hal lain yang mempengaruhi kekuasaan kehakiman yang bebas harus dihindari.

10) Menghindari Hakim dari Pengaruh Politik. Mengacu pendapat S.A. de Smith, unsur menghindari hakim dari pengaruh politik adalah hal yang pokok. Misalkan hal tersebut dapat dilakukan dengan larangan hakim merangkap jabatan politik, aktif dalam kegiatan politik, berpihak dalam masalah politik (memberikan pertimbangan dan nasihat Rancangan Undang-Undang), hakim dilarang menyelidiki kegiatan parlemen dan lain sebagainya.

11) Pelecehan kekuasaan kehakiman (contemp of court). Upaya memberikan kebebasan bisa dilakukan juga dengan pranata contemp of court untuk menjunjung tinggi wibawa hakim sehingga hakim akan bebas bertindak dan semua orang menghormati hakim (peradilan).

12) Keadaan Darurat Negara tidak Berlaku untuk Hakim. Walaupun negara dinyatakan dalam keadaan darurat (staat van oonlog en bleg) pada semua tingkatan (darurat sipil dan darurat militer), bahkan keadaan perang (staat van oorlog), kekuasaan kehakiman tidak boleh dijalankan secara kedaruratan. Kekuasaan kehakiman harus tetap dijalankan sesuai dengan tata cara yang berlaku.

13) Judicial Review. Di beberapa negara, kebebasan kekuasaan kehakiman juga dimaknai bebas dari intervensi dua kekuasaan lainnya, termasuk produknya yang inkonstitusional. Artinya kekuasaan kehakiman berwenang mengujikan sampai menyatakan tidak mengikat sebuah peraturan perundang-undangan jika bertentangan dengan konstitusi oleh Mahkamah Agung atau oleh Mahkamah Konstitusi atau badan konstitutional lainnya.

Jaminan yang pokok pada dasarnya diatur secara berbeda-beba di tiap negara. Akan tetapi intinya semua menjamin agar hakekat kebebasan sebagai sifat pembawaan setiap peradilan tidak terkotori. Namun, kebebasan ini tidaklah mutlaq dan bebas dalam segala hal serta hakim boleh berbuat sewenang-wenang. Kebebasan ini terbatas pada kebebasan dalam menjalankan kekuasaan yudisialnya. Selain itu terdapat batasan-batasan misalkan: rule of law, integritas dan kode etik hakim. Mengenai batasan-batasan ini akan dibahas tersendiri. Lihat: "Judicial Independence" (1) dan "Judicial Independence" (3). (Miftakhul Huda)

(Dimuat di Majalah Konstitusi No.51 - April 2011/ Sumber foto: http://www.iss.co.za/iss_today.php?ID=1233)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar