Kamis, 09 Juni 2011

Mengawal Tercapainya Keadilan Sosial

Kata “Keadilan” beberapa kali disebut dalam rumusan Pembukaan UUD 1945. Terhitung keadilan dinyatakan dalam: “penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan peri kemanusiaan dan peri keadilan”, “kemerdekaan Negara Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur”, “berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial”, dan di dalam “serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh Rakyat Indonesia”.

Keadilan dalam Pembukaan memperoleh tempat penting dalam fundamen negara yang dibentuk oleh pendiri negara kita. Keistimewaan perumusan sila keadilan sosial menurut Notonagoro dalam bukunya Pancasila Secara Ilmiah Populer, karena empat sila yang mendahuluinya untuk mewujudkan apa yang terkandung dalam sila kelima ini, yaitu “keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”

Bahkan, Asmara Hadi dalam bukunya menyebutkan keadilan sosial sebagai sila terpenting, karena meliputi keadilan yang berlaku dalam hubungan antara manusia dan masyarakat. Namun, yang jelas, sila keadilan sosial ditempatkan terakhir karena menjadi tujuan bangsa Indonesia dalam bernegara. “Tempatnya di dalam Pancasila sebagai sila yang terakhir itu ialah karena menjadi tujuan daripada empat sila yang mendahuluinya,” terang Notonagoro.

Perisai berupa jantung yang digantung dengan rantai pada leher Garuda Pancasila sebagai lambang negara, bahwa salah satu ruang dari lima ruang dalam perisai terdapat “kapas dan padi” melambangkan sandang pangan dan tujuan kemakmuran. Kapas dan padi merupakan lukisan keadilan sosial sebagaimana sila kelima Pancasila.

Dari perumusan keadilan dalam Pembukaan memperlihatkan, dalam negara adil dan makmur, dan kesejahteraan rakyat itu harus terjelma keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Untuk mewujudkan keadilan sosial ini, perumusannya semula sesuai Pidato Soekarno disampaikan di dalam prinsip ke-4, yakni kesejahteraan soaial”. Soekarno dalam sidang BPUPKI, berharap tidak ada kemiskinan lagi di dalam Indonesia merdeka. Dicantumkan sila keadilan sosial adalah protes keras atas dasar individualisme dan kapitalisme, serta menolak bentuk penindasan dan eksploitasi manusia oleh manusia lain dan negara.

“Apakah kita mau Indonesia Merdeka, yang kaum kapitalnya merajalela, ataukah yang semua rakyatnya sejahtera, yang semua orang cukup makan, cukup pakaian, hidup dalam kesejahteraan, merasa dipangku oleh Ibu Pertiwi yang cukup memberi sandang-pandang kepadanya? Mana yang kita pilih, saudara-saudara? Jangan saudara kira, bahwa kalau Badan Perwakilan Rakyat sudah ada, kita dengan sendirinya sudah mencapai kesejahteraan ini,” papar Soekarno tentang keadilan sosial.

Sebagai usaha tujuan negara mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat, bapak dan ibu bangsa merumuskan pasal-pasal antara lain soal kesejahteraan sosial dalam batang tubuh UUD Proklamasi, yang membedakan dengan konstitusi-konstitusi negara barat yang tidak mencantumkan kesejahteraan sosial dalam hukum tertingginya.

Selama Mahkamah Konstitusi menjalankan kewenangan konstitusionalnya sejak 2003, memang secara langsung atau tidak langsung menggunakan pasal-pasal batang tubuh UUD 1945 sebagai bintang pemandu untuk menilai konstitusionalitas undang-undang. Dengan itu, maka lembaga ini telah menerjemahkan Pembukaan. Pembukaan juga berisi norma-norma dasar yang fundamental yang tidak hanya berisi Pancasila tetapi hal-hal mendasar lain juga dapat menjadi orientasi dan arah, membawa negara kepada tujuannya, yakni keadilan sosial tidak hanya rakyat Indonesia, tetapi seluruh umat manusia.

Dari beberapa putusan, memperlihatkan norma keadilan sosial berusaha direalisasikan dalam mengawal undang-undang sesuai konstitusi. Dalam pengujian UU No.20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan (No.001-021-022/PUU-I/2003), MK melalui pengujian Pasal 16 UU dengan sistem pemisahan/pemecahan usaha ketenagalistrikan (unbundling system) dengan pelaku usaha yang berbeda, akan semakin membuat terpuruk BUMN yang bermuara tidak terjaminnya pasokan listrik kepada semua lapisan masyarakat, baik yang bersifat komersial maupun non-komersial. MK dalam hal ini menjaga sistem UUD 1945 yang menolak ekonomi pasar untuk mencapai cita hukum Pancasila.

Dalam pengujian UU No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak Dan Gas Bumi (No. 002/PUU-I/2003) memperlihatkan MK menjaga norma “bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”. Dengan UU Migas mengutamakan mekanisme persaingan dan baru kemudian campur tangan Pemerintah sebatas menyangkut golongan masyarakat tertentu, dengan ini tidak menjamin prinsip demokrasi ekonomi. Seharusnya harga Bahan Bakar Minyak dan harga Gas Bumi dalam negeri ditetapkan oleh Pemerintah dengan memperhatikan kepentingan golongan masyarakat tertentu dan mempertimbangkan mekanisme persaingan usaha yang sehat dan wajar.

Selain itu, pemutusan hubungan kerja agar tidak sewenang-wenang, hal itu diluruskan dalam putusan No.012/PUU-I/2003 dengan kondisi sosiologis pekerja-pengusaha yang berbeda. Lembaga ini juga beberapa kali menjaga alokasi anggaran pendidikan 20% sebagai amanat konstitusi dalam beberapa kali dalam pengujian UU APBN.

Dalam pengujian UU No.25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, juga telah ternyata pemberian hak-hak atas tanah kepada perusahaan penanaman modal baik Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, maupun Hak Pakai yang dapat diperpanjang di muka sekaligus, sebagaimana diatur dalam Pasal 22 UU Penanaman Modal, bertentangan dengan prinsip penguasaan negara maupun kedaulatan rakyat di bidang ekonomi. MK juga turut menjaga tujuan keadilan sosial tercapai dalam pengujian UU Badan Hukum Pendidikan. Keadilan substantif selalu mendasari mengadili perkara Pemilu (Kada) ketika berhadapan dengan keadilan prosedural, untuk membuka peluang tercapainya keadilan. UU Sumber Daya Air dan UU UU Nomor 56 Prp Tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian dan putusan lain dianggap sejalan dengan konstitusi dan tujuan negara sehingga dipertahankan keberlakuannya.

Hakim Konstitusi Harjono seperti dikutip Ketua MK Moh Mahfud MD dalam materi yang disampaikan pada Pertemuan Pimpinan Lembaga Negara pada 24 Mei 2011 di Gedung MK, mengatakan batu uji materi konstitusionalitas undang-undang bukan hanya pasal-pasal UUD tetapi juga Pembukaan. ”Di dalam Pasal III Aturan Peralihan UUD 1945 disebutkan bahwa UUD Negara Republik Indonesia terdiri atas Pembukaan dan pasal-pasal,” jelas Mahfud. Hal ini merupakan langkah maju, norma fundamental yang berisi asas-asas dan norma dasar lebih dikonkretisasi dengan menilai undang-undang untuk terwujudnya keadilan sosial sesuai cita-cita pendiri republik negeri. (Miftakhul Huda)

(Tulisan ini dimuat di Majalah Konstitusi Edisi Khusus Pancasila, No.52-Mei 2011, hlm. 21-22/ Foto: http://rumahmimpi.net)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar