Kamis, 09 Juni 2011

Pancasila dan Hak Asasi Manusia

Oleh Miftakhul Huda, Redaktur Majalah Konstitusi

UUD 1945 beberapa kali diganti, tetapi Pembukaan atau Preambule yang berisi Pancasila terbukti tetap dipertahankan sebagai dasar falsafah negara (filosofische grondslag) bagi konstitusi yang pernah berlaku. Pancasila masih tetap dianggap penting bagi negara Republik Indonesia yang diproklamasikan pada 17 Agustus 1945 ini.

Dari beberapa konstitusi yang pernah berlaku, UUD 1945 hanya mencantumkan hak asasi manusia (HAM) secara terbatas. Sementara UUDS 1950 yang isinya hampir sama dengan Konstitusi RIS, mengatur HAM dengan lengkap. Di sisi lain, dengan diberlakukan kembali UUD 1945 dengan Dekrit Presiden 5 Juli 1959, ada anggapan bahwa konstitusi yang dibentuk BPUPK/PPKI atau UUD Proklamasi ini dianggap paling sesuai Pancasila. Benarkah demikian? Bagaimana materi amandemen konstitusi (1999-2002), apakah juga masih sesuai Pancasila?

Buku karya Mr. Kuntjoro Purbopranoto berjudul Hak-Hak Asasi Manusia dan Pancasila yang terbit pertama kali pada 1953 ini merupakan karya cukup komprehensif di zamannya yang mengkhususkan diri berbicara tentang HAM dikaitkan dengan Pancasila. Buku ini sedikit banyak menjawab pertanyaan diatas dengan kacamata hukum tata negara. Karya Kuntjoro selain buku ini, juga karya-karya lainnya yang berbobot semisal, Sedikit tentang Sistem Pemerintahan Demokrasi, Perkembangan Hukum Administrasi Indonesia, Beberapa Catatan Hukum Tata Pemerintahan dan Peradilan Administrasi Negara dan lain sebagainya.

Liberalisme-Individualisme?

Hampir para pendiri negara (founding fathers) sepakat negara yang didirikan berdasar nilai-nilai yang sudah berurat dan berakar di bumi Indonesia. Paham yang disepakati Indonesia menolak liberalisme dan individualisme. Dalam Rapat Besar pada 15 Juli 1945 Soekarno mengatakan, “Maka oleh karena itu, jikalau kita betul-betul hendak mendasarkan negara kita kepada paham kekeluargaan, faham tolong-menolong, faham gotong-royong dan keadilan sosial, enyahkanlah tiap-tiap pikiran, tiap-tiap faham faham individualisme dan liberalisme dari padanya.”

Pengaturan HAM dalam konstitusi timbul perbedaan pendapat. Soekarno dan Soepomo termasuk memandang HAM sebagai cerminan paham individualisme yang bertentangan dengan keadilan sosial. Soekarno mengatakan, “Keadilan sosial inilah protes kita yang maha hebat kepada dasar individualisme.” Soepomo menambahkan, “Pernyataan hak berkumpul dan berserikat didalam undang-undang dasar adalah sistematik dari paham perseorangan, oleh karena itu dengan menyatakan hak bersidang dan berserikat didalam undang-undang dasar kita akan menantang sistematik paham kekeluargaan.”

Sedangkan Hatta menilai HAM perlu dicantumkan. “Akan tetapi kita mendirikan negara baru. Hendaklah kita memperhatikan syarat supaya negara yang kita bikin, jangan menjadi negara kekuasaan,” jelas Hatta. Yamin juga sejalan dengan Hatta, bahkan ia menolak segala alasan kemerdekaan tidak dimasukkan.

Hakekat HAM

Di awal buku ini, Kuntjoro mengemukakan sejarah lahirnya HAM. HAM lahir sejak manusia sadar akan hak yang dimilikinya dan kedudukannya sebagai subjek hukum. Akan tetapi HAM baru mendapat perhatian penyelidikan ilmu pengetahuan, sejak HAM mulai berkembang dan mulai diperjuangkan terhadap serangan atau bahaya, yang timbul dari kekuasaan yang dimiliki oleh bentukan masyarakat yang dinamakan negara (state).

Dalam negara modern, HAM diatur dan dilindungi dalam hukum positif. Kenapa HAM perlu dilindungi? Kuntjoro mengemukakan dalam bukunya, “Kekuasaan negara itu seolah-olah oleh manusia pribadi (individu) lambat-laun dirasakan sebagai suatu lawanan, karena di mana kekuasaan Negara itu berkembang, terpaksalah ia memasuki lingkungan hak asasi manusia pribadi dan berkuranglah pula luas batas hak-hak yang dimiliki individu itu. Dan disini timbullah persengketaan pokok antara dua kekuasaan itu secara prinsip, yaitu kekuasaan manusia yang berujud dalam hak-hak dasar beserta kebebasan-kebebasan azasi yang selama itu dimilikinya dengan leluasa, dan kekuasaan yang melekat pada organisasai baru dalam bentuk masyarakat yang merupakan Negara tadi.”

Penulis buku ini yang memperlihatkan sejarah HAM ini timbul dan diadopsi di beberapa negara, seperti “Declaration of Independence” Amerika Serikat pada 4 Juli 1776 yang menjadi dasar pokok Konstitusinya pada 1787 dan “Declaration des Droits de I’Homme et du Citoyen” yang ditetapkan Assemblee Nationale Prancis dan pada 1791 dimasukkan dalam konstitusinya. Dari sejarah yang diuraikannya, memperlihatkan perjuangan HAM lebih terkait dengan kekuasaan yang sewenang-wenang, sebagaimana revolusi Prancis melawan susunan masyarakat feodal, termasuk golongan pendeta agama dan susunan pemerintahan negara bersifat kerajaan yang kekuasaannya mutlak (absolute monarchie).

Selain terkait dengan jaminan atas kesewenang-sewenangan kekuasaan, di buku ini juga dikemukakan rumusan HAM menurut UUD 1945 dan UUDS 1950. Dari beberapa uraiannya, Kuntjoro membahas perbedaan rumusan kedua konstitusi tersebut. Menurutnya UUD 1945 tidak merumuskan HAM secara sistematis. “Hanya empat pasal memuat ketentuan-ketentuan tentang hak asasi manusia itu, yakni pasal 27, 28, 29 dan 31,” tulis Kuntjoro. Sedangkan ia menyatakan, HAM tanpa perhatian, akan tetapi karena susunan yang pertama dianggap inti-inti dasar kenegaraan.

Hal pembeda UUD 1945 dengan konstitusi Prancis, bahwa hak asasi kemerdekaan adalah ditetapkan sebagai hak segala bangsa, bukan sebagai hak asasi individu. Rumusan pembeda, misalkan kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan, dalam konstitusi kita meletakkan hak asasi tersebut, tetapi juga kewajiban untuk menjunjung tinggi kesamaan kedudukan tersebut. Sedangkan mengenai hak kebebasan beragama, Kuntjoro menyatakan, “Bahwasanya filsafat Negara mengenai Ke Tuhanan ini tidak mengikat ummat dalam melakukan ibadat menurut kepercayaannya masing-masing, hal itu pada hemat kami membuktikan kebijaksanaan dan toleransi yang besar,” tulisnya.

Pertanyaan kenapa UUDS 1950 sudah dirumuskan dengan lengkap, penulis buku ini mengatakan HAM dalam UUD 1945 berada dalam hidup kemasyarakatan Indonesia secara murni, sedangkan UUDS 1950 sudah dipengaruhi oleh “Universal Declaration of Human Rights” tahun 1948 melalui UNO dan Konstitusi RIS 1949. Di bagian ini, Kuntjoro memberikan perhatian lebih kepada “hak kemerdekaan diri manusia” dalam UUDS 1950, yang terdapat dalam Pasal 7, Pasal 8, Pasal 10, Pasal 13, Pasal 14, Pasal 15, Pasal 12 dan pembahasan penting lainnya.

HAM dalam Pancasila

Untuk menunjukkan kebulatan lima dasar dalam Pancasila, buku ini juga mengemukakan Pancasila seperti dikemukakan Notonegoro dalam Pidato Dies Universitas Airlangga pada 10 Nopember 1955 secara filsafat kenegaraan, dan istilah “Pancasila” oleh Dr. Sumantri Harjoprakoso dalam “Indonesisch mensbeeld als basis ener psychotherapie” (Leiden, Juni 1956) yang juga digunakan dalam bidang kebatinan yang menyebut lima tabiat manusia guna mencapai pendirian hidup sempurna, yaitu: 1. Rela, 2. Narimo (Jawa), 3. Temen (Jujur), 4. Sabar, dan 5. Budi luhur. Lima tabiat ini agar dapat melaksanakan sandaran hidup yang dinamakannya “Tri Sila” yakni: a. eling (beriman), b. percaya dan c. mituhu (setia). “Pancasila” juga dikemukakan Prof. Dr. Priyono, Menteri PP dan KK pada Seminar Ilmu dan Kebudayaan di Yogyakarta (29 Juni 1956) sebagai “Panca Sila” Bahasa Indonesia.

Yang menarik, buku ini membahas Pembukaan dalam ketiga konstitusi dikaitkan dengan HAM. Hubungan HAM dengan Pembukaan, diperlihatkan dengan secara khusus hak asasi kemerdekaan segala bangsa dan tujuan negara, baik keluar dan kedalam dicantumkan dalam Pembukaan, sedangkan dalam UUDS hanya mencantumkan tujuan perdamaian tanpa menjaga ketertiban dunia. Isi Mukaddimah UUDS juga dinyatakan sama dengan Preambule Piagam Perdamaian (Charter for Peace). Yang menarik adalah tinjauannya terhadap lima sila dalam Pancasila yang membantu para penyelenggara memahami makna yang terkandung di dalamnya, sehingga dapat menilai apakah konstitusi yang dirumuskan sejalan dengan nilai-nilai Pancasila.

Di halaman 62-175, Kuntjoro banyak mengulas secara mendalam HAM sebagaimana saat ini yang sudah banyak dikenal. Terlihat sekali pembahasan buku ini selalu membandingkan antara ketiga konstitusi dikaitkan perkembangan konsep HAM dan Pembukaan UUD. Dimulai dari “hak bebas diri dan dasar-dasar kemasyarakatan”, “hak bebas pikir dan bebas ibadat”, “hak berserikat dan berapat”, “sendi-sendi demokrasi”, “hak berkeluarga dan hak kawin”, “hak asasi mengenai pendidikan dan kebudayaan”, “hak-hak asasi perburuhan”, dan “soal damai asasi untuk manusia”. Pembahasan buku ini cukup panjang mengenai HAM saat referensi sangat terbatas memberi perhatian soal HAM di tahun 1950-an keatas. Hanya bisa dilihat karya-karya Muh Yamin dan Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Republik Indonesia karya Drs. G.J. Wolhoff dan beberapa karya lain.

Dari uraian buku ini memperlihatkan HAM juga terdapat di dalam Pembukaan konstitusi kita yang pernah berlaku. Namun, hal-hal yang tetap ditonjolkan di buku ini ingin menunjukkan bahwa pelaksanaan HAM tetap berlandaskan nilai-nilai Pancasila. Misalkan contoh yang dikemukakan buku ini, bagaimana kedudukan individu dalam sistem demokrasi? Demokrasi kita tetap berlandaskan kolektivisme, bukan pertentangan individu dan “social orde” seperti demokrasi liberal dan hak-hak lainnya yang tetap berlandaskan kondisi masyarakat asli Indonesia.

Judul : Hak-Hak Asasi Manusia dan Pancasila
Pengarang : Prof. Mr. Kuntjoro Purbopranoto
Penerbit : Pradnya Paramita
Tahun : Cet Ke-7, 1982

(Tulisan ini pernah dimuat di Majalah Konstitusi Edisi Khusus Pancasila, No. 52 Mei 2011, Rubrik "Pustaka Klasik", hlm. 89-90)

5 komentar:

  1. salam hormat pak,

    Pak saya mau tanya cetakan buku ini masih ada / masih dijual tidak di toko-toko buku? Jika tidak ada, maka dimana tempat saya bisa menemukan buku ini?

    Saya mohon pertanyaan saya dapat sesegera mungkin dijawab. Terima kasih :)

    BalasHapus
  2. Mohon maaf Bapak, ada 1 pertanyaan lagi..

    Apakah buku ini masih dapat saya temukan di daerah Jakarta dan Tangerang? karena saya benar-benar membutuhkan buku ini..

    Terima kasih pak sebelumnya :)

    BalasHapus
  3. Buku ini kemungkinan sudah tidak ada lagi. Kalaupun ada, harus mencari dengan sabar di toko-toko buku bekas di Surabaya atau Jakarta. Kalau di Surabaya pernah lihat kemungkinan ada di deretan Jalan Semarang dan di Pasar Blauran. Kalau di Jakarta tidak pernah lihat,tapi dicoba saja cari di Tamrin City lantai 4 atau 3 gitu. Trmkash..

    BalasHapus
  4. Pak Joko, sebelumnya minta maaf, kalau benar-benar membutuhkan buku ini saya bisa bantu copikan bukunya, karena akan susah mencarinya, tapi mohon ongkos copi dan kirim diganti. Saya pernah mencarinya cukup lama buku ini dan baru ketemu yang satu itu. Kalau buku-buku Prof. Kuntjoro yang lain, kemungkinan masih ada. Terima kasih Pak.

    BalasHapus
  5. Buku ini kemungkinan sudah tidak ada lagi. Kalaupun ada, harus mencari dengan sabar di toko-toko buku bekas di Surabaya atau Jakarta. Kalau di Surabaya pernah lihat kemungkinan ada di deretan Jalan Semarang dan di Pasar Blauran. Kalau di Jakarta tidak pernah lihat,tapi dicoba saja cari di Tamrin City lantai 4 atau 3 gitu. Trmkash..

    BalasHapus