Kamis, 09 Juni 2011

Pancasila dan Mahkamah Konstitusi

Istilah Pancasila pertama kali dikemukakan oleh Soekarno pada 1 Juni 1945. “Namanya bukan Panca Dharma, tetapi saya namakan ini dengan petunjuk seorang teman ahli bahasa namanya Pancasila,“ jelas Soekarno. Lima dasar Indonesia Merdeka semula diusulkan dengan urutan yaitu: 1. Kebangsaan Indonesia. 2. Internasionalisme atau peri kemanusiaan. 3. Mufakat atau Demokrasi. 4. Kesejahteraan Sosial. 5. Ketuhanan Yang Maha Esa. Selain Soekarno, tokoh-tokoh lain juga menyampaikan gagasannya atas permintaan Ketua BPUPK mengenai dasar Indonesia merdeka.

Dalam perkembangan kemudian disepakati Piagam Jakarta pada 22 Juni 1945 oleh Panitia Sembilan. Rumusan Pancasila menjadi: 1) Ke-Tuhanan, dengan kewajiban menjalankan sya’riat Islam bagi pemeluk-pemeluknya. 2) (Menurut dasar) kemanusiaan yang adil dan beradab. 3) Persatuan Indonesia. 4) Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan. 5) (Serta dengan mewujudkan suatu) keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Setelah Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945, Pancasila disepakati oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) sesuai rumusan Pembukaan 1945 pada 18 Agustus 1945. Memang banyak perbaikan, termasuk pencoretan tujuh kata dan perubahan lainnya. Hatta menjelaskan, “Yang prinsipiil hanya perubahan dalam Pembukaan yang tersebut tadi, yang diterima dengan suara bulat.”

Pembukaan yang berisi Pancasila kemudian baru dimuat bersama Batang Tubuh dan Penjelasan UUD 1945 kurang lebih enam bulan dalam Berita Republik Indonesia, 15 Februari 1946. Dengan disepakati tersebut, Pancasila yang mengikat rakyat adalah sebagaimana yang diumumkan dalam teks resmi. Memang banyak versi sekitar kesepakatan bersama ini, tetapi fakta sejarah, Pancasila telah disepakati bersama. Jika semula disampaikan orang-perorangan, maka sejak menjadi kesepakatan PPKI menjadi karya dan milik bersama.

Ketua MK Moh Mahfud MD mengatakan bahwa Pancasila disepakati pada 18 Agustus 1945 sebagai ideologi negara dan diperkuat dengan berbagai momentum penting setiap babakan sejarah ketatanegaraan Indonesia. "Pancasila sebagai ideologi negara merupakan pilihan terbaik bangsa, yang mampu dan tahan uji menjadi perekat kesatuan bangsa sekaligus pedoman bersama dalam hidup bernegara,” jelas Guru Besar Hukum Tata Negara UII ini. Pancasila sebagai ideologi pernah akan diganti beberapa kali, akan tetapi teruji menjadi dasar yang menyatukan semau suku, agama dan golongan.

Kedudukan Pancasila sangat penting dalam negara. KRT Radjiman menyebutnya sebagai “dasar (beginsel) negara kita” dan Soekarno menyebut sebagai “philosofische grondslag” atau “weltanschauung” negara Indonesia yang didirikan. Notonagoro dalam kajiannya mengatakan Pancasila sebagai pokok kaidah fundamental (staatsfundamentalnorm) sesuai teori Nawiasky, atau ada yang menyebut norma dasar (grundnorm) sesuai teori Hans Kelsen dan lain sebagainya. “Isi staatsfundamentalnorm ialah norma yang merupakan dasar pembentukan bagi konstitusi atau undang-undang dasar dari suatu negara (staatsversassung), termasuk norma pengubahannya. Hakekat hukum suatu staatsfundamentalnorm ialah syarat bagi berlakunya suatu konstitusi atau undang-undang dasar,” jelas Nawiasky.

Pembukaan yang mendahului terbentuknya konstitusi, dipahami menurut para pendiri negara sebagai cita hukum (rechtsidee) yang menguasai hukum dasar, baik hukum dasar tertulis maupun tidak tertulis. Rudolf Stammler (1856-1939) sebagaimana dikutip Hamid Attamimi, mengatakan cita hukum ialah konstruksi pikir yang merupakan keharusan bagi mengarahkan hukum kepada cita-cita yang diinginkan masyarakat. Cita hukum berfungsi sebagai bintang pemandu bagi tercapainya cita-cita masyarakat. Cita hukum mengandung dua sisi, hukum positif yang berlaku dapat diuji, dan kepada cita hukum, hukum positif sebagai usaha menuju sesuatu yang adil dengan sanksi pemaksa dapat diarahkan.

Begitu pentingnya kedudukannya, Pancasila menjadi bintang pemandu dalam menguji hukum positif yang berlaku di Indonesia, disamping pasal-pasal Batang Tubuh UUD 1945 yang merupakan penjabaran pokok-pokok pikiran yang terdapat dalam isi Pembukaan. Pancasila dengan lima silanya yaitu: Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/ Perwakilan dan Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia, kemudian menjadi tolak ukur dalam menilai kesesuaian norma undang-undang.

Reformasi 1998 yang melahirkan Mahkamah Konstitusi (MK) sebagai bentukan amandemen konstitusi (1999-2002) memiliki peran penting dalam negara untuk menjadikan Pancasila dalam cita-cita diwujudkan dalam kenyataan. Nilai-nilai Pancasila, juga sebagai kerangka yang membatasi ruang gerak isi peraturan perundang-undangan agar tidak keluar dari lima sila Pancasila. “Sebagai lembaga penguji UU, MK menerjemahkan Pancasila ke dalam putusan-putusan MK sebagai penemuan 'keadilan substantif," terang Mahfud.

Dengan kondisi terpinggirkannya nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara perlu segala upaya menghidupkan kembali nilai-nilai yang digali dari bumi Indonesia sendiri. Bertepatan dengan Hari Kebangkitan Nasional dan momentum 1 Juni 1945, dan MK telah menyelenggarakan Sarasehan Nasional 2011 bertema Pancasila dan dalam pertemuan pimpinan lembaga negara mengambil tema “Menguatkan Pancasila Sebagai Dasar Ideologi Negara”, maka Majalah Konstitusi secara khusus menghadirkan berita ulasan pelaksanaan kewenangan konstitusional MK sejak 2003 terkait dengan pelaksanaan sila-sila Pancasila dan penjabaran pasal-pasal UUD 1945.

Akhirnya sebagai pengantar maka semoga Majalah Konstitusi Edisi Khusus Pancasila ini bermanfaat bagi masyarakat luas dan mengingatkan kembali nilai-nilai Pancasila yang pernah dikemukakan penggalinya pada 1 Juni 1945 yang kemudian disepakati sebagai karya bersama untuk dijaga cita-citanya.(Miftakhul Huda)

(Tulisan ini pernah dimuat sebagai Pengantar Majalah Konstitusi Edisi Khusus Pancasila, No.52-Mei 2011, hlm. 10-11)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar