Senin, 09 Mei 2011

Tiga Kategori Pelanggaran Pemilu Kepala Daerah

Kemenangan Bonaran Situmeang sebagai Bupati Tapanuli Tengah, Sumatera Utara, sementara tertunda. Soalnya, pada 11 April lalu, Mahkamah Konstitusi (MK) baru saja mengetuk putusan sela. Berbeda dengan putusan yang pernah dibuat MK sebelumnya, kali ini MK memerintahkan Komisi Pemilihan Umum (KPU) Tapanuli Tengah untuk melakukan verifikasi seluruh pasangan peserta Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pemilukada). Argumen MK, KPU telah keliru menetapkan pasangan calon.

Putusan tersebut dipicu oleh permohonan Albiner Sitompul-Steven Simanungkalit. Keduanya adalah bakal calon Bupati dan Wakil Bupati Tapanuli Tengah yang digugurkan kepesertaannya oleh KPU. Pasangan ini kemudian menggugat putusan KPU tersebut ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Permohonan mereka dikabulkan. Sekalipun demikian, KPU mengabaikan putusan pengadilan tersebut.

Rupanya, KPU juga menggugurkan peserta lain, yakni pasangan Muhamad Armand Effendy Pohan dan Hotben Bonar. Ketika itu, pasangan ini juga menggugat putusan KPU tersebut ke PTUN dan dikabulkan. Namun, KPU tetap saja menggelar Pemilukada tanpa mengindahkan putusan pengadilan tersebut. Dari hasil Pemilukada tersebut, keluarlah pasangan Bonaran Situmeang dan Sukran Jamilan Tanjung sebagai pemenang.

Kemenangan Bonaran-Sukran itu lantas digugat oleh pasangan Albiner-Steven, juga pasangan peserta Pemilukada Dina Riana Samosir dan Hikmal Batubara di MK. Ketika persidangan berlangsung, pasangan Bonaran-Sukran, sebagai Pihak Terkait, lantas mengajukan eksepsi. Keduanya menganggap MK tidak berwenang memeriksa permohonan yang diajukan kedua pasangan calon tersebut. Alasannya, perkara tersebut adalah kewenangan badan peradilan lain.

Sebagai pihak yang tidak menghendaki kemenangannya dibatalkan, dapat dimaklumi apabila Pihak Terkait berupaya mematahkan argumen yang diajukan Pemohon. Bagi MK, eksepsi yang menganggap bahwa MK tidak berwenang mengadili sengketa semacam itu sudah biasa. Namun, MK perlu menegaskan bahwa anggapan tersebut tidak benar. Oleh karena itu, dalam pertimbangan hukum perkara perselisahan hasil Pemilukada, MK perlu menegaskan tiga kategori pelanggaran Pemilukada.

Pertama, pelanggaran dalam proses yang tidak berpengaruh atau tidak dapat ditaksir pengaruhnya terhadap hasil suara Pemilu atau Pemilukada. Misalnya, pembuatan baliho, kertas simulasi berlambang, dan alat peraga yang tak sesuai dengan tata cara yang telah diatur dalam peraturan perundang-undangan. Pelanggaran jenis ini merupakan ranah peradilan umum maupun PTUN. Karena itu, MK tidak dapat menjadikannya sebagai dasar pembatalan hasil penghitungan suara yang ditetapkan KPU.

Kedua, pelanggaran dalam proses Pemilu atau Pemilukada yang berpengaruh terhadap hasil Pemilu atau Pemilukada seperti politik uang, keterlibatan oknum pejabat atau PNS, dugaan pidana Pemilu, dan sebagainya. Sepanjang berpengaruh secara signifikan, karena terjadi secara terstruktur, sistematis, dan masif, pelanggaran jenis ini dapat membatalkan hasil Pemilu atau Pemilukada.

Ketiga, pelanggaran tentang persyaratan menjadi calon yang bersifat prinsip dan dapat diukur. Misalnya, syarat tidak pernah dijatuhi pidana penjara dan syarat keabsahan dukungan bagi calon independen. Pelanggaran jenis ini dapat dijadikan sebagai dasar untuk membatalkan hasil Pemilu atau Pemilukada karena ada peserta yang tidak memenuhi syarat sejak awal.

Dalam putusan tersebut, MK juga menegaskan bahwa dalam menangani sengketa Pemilu ataupun Pemilukada, MK telah memaknai dan memberikan pandangan hukumnya melalui putusan-putusannya dengan memberikan penafsiran yang luas demi tegaknya keadilan. MK tidak hanya terpaku secara harfiah dalam memaknai Pasal 106 ayat (2) UU 32/2004 juncto UU 12/2008 tentang Pemerintahan Daerah dan Pasal 4 PMK 15/2008, yang pada pokoknya menyatakan Mahkamah mengadili perkara Pemilukada terbatas hanya persoalan hasil perolehan suara.

Sebelumnya, Pasal 106 ayat (2) UU 32/2004 tersebut telah pula diuji di MK. Pemohonnya ialah Sugianto Sabran dan Eko Soemarno, pemenang Pemilukada Kotawaringin Barat yang kemenangannya dianulir oleh MK. Namun, pada 31 Maret lalu MK menolak permohonan keduanya.

MK menyatakan, dalam memeriksa, mengadili, dan memutus perkara, MK tidak hanya mengacu pada undang-undang an sich, melainkan juga menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat sesuai dengan nilai-nilai konstitusi. Nilai-nilai keadilan dimaksud, menurut MK, adalah sesuatu yang telah ada sebelum putusan diucapkan (“….to be already existent before his decision”). Hakim Konstitusi bertindak “as a declarer of the community’s law”.

Jika suatu pemilihan umum diselenggarakan bertentangan dengan prinsip-prinsip konstitusi dan nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat, bagi MK, pemilu yang demikian telah mengabaikan prinsip konstitusi, khususnya asas langsung, umum, bebas, dan rahasia (Luber), jujur dan adil (Jurdil), serta rasa keadilan masyarakat. Karena itu, Pemilu tersebut harus dibatalkan. Dengan demikian, MK telah berperan memperluas keadilan berdasarkan konstitusi dan nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat (boni judicis est ampliare justitiam).

Sumber: Editorial Majalah Konstitusi No.51-April 2011/ Foto: Wiwik BW/ Humas MK

Tidak ada komentar:

Posting Komentar