Minggu, 10 Juli 2011

“Judicial Independence” (3)

Sebuah pengadilan yang independen merupakan syarat yang”indispensable” dalam suatu negara hukum. Kebebasan dan independensi peradilan di semua negara umumnya ditegaskan dalam konstitusi negara dan berbagai peraturan perundang-undangan, beserta jaminan-jaminan kebebasannya, karena kekuasaan kehakiman tidak sekuat dan rentan terhadap kekuasaan lain, sehingga membutuhkan jaminan perlindungan.

Jaminan-jaminan kebebasan hakim menurut S.A. de Smith dalam “Constitutional and Administrative Law” yang terurai secara jelas dalam pembahasan Judicial Independence sebelumnya, intinya empat hal pokok untuk menjamin kebebasan hakim, yaitu unsur pengaruh politik (larangan rangkap jabatan politik, secara partisan aktif dalam kegiatan politik, menghindari keberpihakan dalam masalah politik, memberikan nasihat RUU dan sebagainya), kebebasan hakim dalam proses hukum (jaminan imunitas), pelecehan kekuasaan kehakiman (contemp of court) dan yang berkaitan dengan masa kerja hakim sehingga hakim saat memberikan putusan tidak khawatir akan diberhentikan atau dipecat.

Selain hal pokok diatas, beberapa jaminan kebebasan hakim banyak dikemukakan, misalkan tata cara pengangkatan hakim menghindari pertimbangan politis tetapi menonjolkan kualifikasi, jaminan tidak diberhentikan dalam masa jabatannya terutama oleh yang mengangkatnya, akan tetapi menggunakan prosedur khusus (impeachment dll), sistem penggajian, kerahasiaan permusyawaratan hakim, perbedaan pendapat (dissenting opinion) dan lain sebagainya.

Semua jaminan ini pada dasarnya untuk menghindari pengaruh dan intervensi terhadap hakim dalam memberikan putusan dari kekuasaan ektra-yudisiil, baik secara langsung atau tidak langsung. Jaminan kebebasan harus diberikan mulai hakim diangkat sampai berhenti sebagai untuk menjaga independensinya. Hakim harus bebas dari ancaman, rasa takut, pemecatan dalam memberikan putusan.

Beberapa contoh putusan Pengadilan HAM Eropa menggambarkan arti independensi ini. Dalam kasus Mc Gonner Vs. Inggris, pengadilan menyatakan the Royal Court tidak independen karena terdapat hakim yang pernah menjabat ketua parlemen ketika aturan tata kota yang diperselisihkan. Pengadilan HAM Eropa berpendapat pentingnya latar belakang bebas dari perkara yang akan diputuskan. Kapasitas personal bebas dari kepentingan eksekutif dan legislatif sangat ditekankan dan juga meragukan imparsialitas hakim yang memegang fungsi ganda, yaitu yudisial dan non-yudisial.

Selanjutnya, kasus Piersack Vs. Belgia, Pengadilan HAM Eropa menemukan hakim yang sebelumnya menjabat sebagai kepala bagian di Kantor Kejaksaan, yang bertanggungjawab atas dakwaan terhadap pemohon. Hal ini cukup membuktikan ada keraguan atas imparsialitas hakim tersebut. Ada kemungkinan latar belakangnya tersebut mempengaruhi imparsialitas sebuah pengadilan. Ikatan korps (l’spirt de corps) akan menggangu obyektifitas sebuah persidangan, dan akan merugikan terdakwa dari sisi peradilan yang adil.

Selain itu, terdapat yurisprudensi Pengadilan HAM Eropa kasus Findlay Vs. Inggris. Pengadilan berpendapat pengadilan dikatakan independen apabila pertama, bagaimana cara penunjukan hakimnya dan masa kerjanya (to the manner of the appointment of its members and their term of office); kedua, adanya jaminan untuk tidak terpengaruh tekanan dari luar, dan ketiga, apakah pengadilan tersebut tampil secara independen (whether the body presents an appearance of independence). (Lihat, Uli Parulian Sihombing, Hak Atas Peradilan Yang Adil Yurisprudensi Pengadilan HAM Eropa, Komite HAM PBB Dan Pengadilan HAM Inter-Amerika, ILRC, 2008)

Pada dasarnya pentingnya indepensi peradilan menjadi perhatian semua negara, sehingga dalam beberapa dokumen Internasional dan regional pengertian dan implementasinya dirumuskan. Misalkan Basic Principles on the Independence of the Judiciary, menyatakan Independensi pengadilan harus dijamin negara dan diatur dalam konstitusi atau hukum negara. Ini adalah tugas semua lembaga pemerintah dan lainnya untuk menghormati dan mengamati independensi peradilan.

Apakah independensi peradilan ini tanpa batas? Kekuasaan peradilan bukan tanpa batas dan dapat bertindak sewenang-wenang. Lembaga peradilan (hakim) oleh karenanya banyak dikritik karena hanya bertanggungjawab kepada Tuhan dan hati nuraninya. Pendapat lain menyatakan lembaga publik umumnya juga mestinya bertanggung jawab langsung atau tidak langsung kepada yang dilayaninya. Namun, peradilan tidak dapat disamakan lembaga publik lain, dimana akuntabilitasnya dilakukan berbeda. Sedangkan pendapat yang lain lagi, berdasar prinsip dasar demokrasi, warga negara berhak menuntut pertanggungjawaban semua pemegang jabatan publik dan peradilan tidak dapat bersembunyi dibalik “jubah” independensinya atas ketidakadilan dan penyimpangan yang dilakukan terhadap masyarakat.

Akuntabilitas secara umum berarti pemerintah bertanggung jawab secara moral, hukum, dan politik atas kebijakan dan tindakannya kepada rakyat. Akuntabilits dipakai untuk mengukur apakah mandat rakyat dijalankan dengan baik. Dalam akuntabilitas, setidaknya ada tiga aspek. Pertama, tekanan akuntabilitas pada pertanggungjawaban kekuasaan melalui keterbukaan pemerintah atau adanya akses informasi bagi pihak luar organisasi pemerintah (G. E. Caiden); Kedua, memahami akuntabilitas sekaligus sebagai tanggung jawab dan liabilitas sehingga tekanan lebih pada sisi hukum, ganti rugi dan rehabilitasi (J. G. Jabbra); Ketiga, tekanan lebih pada hak warga negara untuk bisa mengoreksi dan ambil bagian dalam kebijakan publik sehingga akubntabilitas disamakan transparansi (B. Guy Peters). (Lihat Haryatmoko, Etika Publik untuk Integritas Pejabat Publik dan Politisi, 2011, hlm. 106-111)

Yang pasti independensi peradilan harus dilengkapi dengan prinsip-prinsip lain, misalkan transparansi, imparsial, akuntabilitas, integritas dan prinsip lainnya. Independensi sendiri bukan tujuan akhir, sehingga tidak selayaknya alat untuk tercapainya putusan yang adil dan tidak memihak, justru digunakan mencapai keuntungan dengan penyalahgunaan dan korupsi. Mengenai pengawasan atas hakim apakah mengganggu independensi, pada dasarnya semua masih dalam kerangka indepensinya terjaga. Indepensi peradilan di tengah mafia peradilan kerap juga dianggap tempat berlindung pengawasan dan tanggung jawab. Ketua Mahkamah Konstitusi Moh Mahfud MD menyatakan impilikasi negatif dari independensi peradilan. Pengawasan eksternal mengganggu independensi, tetapi disisi lain kolusi dan perilaku negatif mengatasnamakan kebebasan dan independensi itu. “Mereka berlindung di balik independensi peradilan,” ujar Mahfud MD di Jakarta, Senin (5/7). Dengan independensi, para hakim justru bermain dan memperburuk keadaan. Oleh karenanya dibutuhkan pengawasan atas hakim.

Kekhawatiran penyalahgunaan kemandirian peradilan juga dikemukakan Dato’ Param Cumaraswamy, mantan Pelapor Khusus PBB tentang Kemandirian Hakim dan Pengacara. Ia dalam artikel berjudul, ”Tension between judicial independence and judicial accountability” mengatakan, ”There have been cases where judges are said to have abused this independence, sometimes as a shield against investigations of judicial misconduct, including investigations of corruption. Judges know that they cannot easily be removed, cannot be sued for their conduct or words uttered in the adjudicative process, and that their salaries cannot be reduced. The common complaint is regarding the kind of terse and curt language some judges use against parties, witnesses, counsel, and even against others not in court. In some countries such conduct has triggered a public furore through the media, drawing the executive, supported by the public, to seek greater accountability from the judiciary.”

Pentingnya kehati-hatian menjadi pertimbangan putusan MK dalam perkara perngujian UU Komisi Yudisial (Nomor 005/PUU-IV/2006, tanggal 23 Agustus 2006) yang menyatakan, ”Suatu ketidakhati-hatian dalam menyusun mekanisme akuntabilitas dalam bentuk pengawasan, maupun ketidakhati-hatian dalam pelaksanaannya, dapat berdampak buruk terhadap proses peradilan yang sedang berjalan. Kepercayaan yang diperlukan untuk menuntut kepatuhan dan penerimaan terhadap apa yang diputuskan hakim, dewasa ini boleh dikatakan berada dalam keadaan kritis. Tetapi seberapa tipisnya pun tingkat kepercayaan yang tersisa sekarang, harus dijaga agar tidak sampai hilang sama sekali, sehingga maksud untuk menjaga kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim, justru menjadi kontra produktif dan pada gilirannya menimbulkan kekacauan hukum (legal chaos).” Lihat: "Judicial Independence" (1) dan "Judicial Independence" (2) (Miftakhul Huda)

(Tulisan ini dimuat di Majalah Konstitusi Edisi Juni 2011/ Foto: patelscornershop.org)

4 komentar: