Minggu, 10 Juli 2011

Membatasi Kebebasan Beragama: Sejauh Mana?

Oleh Miftakhul Huda, Redaktur Majalah Konstitusi

Seorang teolog Jerman, Hans Kung mengatakan, tidak pernah ada perdamaian di dunia ini tanpa adanya perdamaian antaragama. Sedangkan perdamaian antaragama akan terwujud ketika masing-masing agama itu saling menghargai satu dengan yang lainnya.

Betapa pentingnya sikap saling menghormati antaragama sebagai kunci perdamaian dunia yang kita diami ini menurut Hans Kung. Padahal, praktiknya pelanggaran terhadap kebebasan beragama banyak terjadi di berbagai negara seiring dengan merebaknya isu-isu terorisme agama, sehingga muncul berbagai larangan penggunaaan simbol-simbol agama.

Adapun model pelanggaran kebebasan beragama di negara-negara berkembang lebih memiliki bentuk sebagai pengaruh agama tradisi terhadap sekte-sekte atau agama-agama non-tradisi. Kelompok-kelompok yang mengklaim menjaga kesucian agama sering kali melakukan aktivitas-aktivitas pelarangan terhadap sekte atau agama non-tradisi.

Bahkan, negara sendiri kerap kali melakukan pemidanaan melalui hukum mengatasnamakan “penodaan agama” dan yang tragis lagi maraknya berbagai tindak kekerasan, bahkan manusia beragama sampai menghilangkan nyawa manusia beragama yang berbeda dengan mengklaim menjaga kesucian agama dan perintah agama.

Sucinya “keyakinan”

Buku Hukum dan Kebebasan Beragama di Indonesia karya Al Khanif yang judul aslinya”The Challenge of Religious Liberty in Indonesia, An International Human Rights Law Perspective on the case of Religius Persecutions against Jamaah Ahmadiyah Indonesia/JAI” ini meneliti bagaimana konsep kebebasan beragama menurut instrumen-instrumen internasional, khususnya perlindungan kelompok minoritas dalam agama. Buku ini meneliti hak kebebasan beragama dipahami berbagai negara dan pentingnya penegakan hak asasi manusia (HAM). Separo buku ini memberikan perhatian terhadap penerapan kebebasan beragama di Indonesia, khususnya perlakuan negara atas Ahmadiyah.

Menurut penulis, di tiap-tiap negara, termasuk negara-negara Islam pada dasarnya telah meratifikasi International Convenant on Civil and Political Rights (ICCPR) dan tidak mengecualikan untuk tidak mengakui Pasal 18 mengenai “kebebasan beragama”. Hal ini memiliki makna penting. Adapun keberadaan Deklarasi 1981 dan Deklarasi Hak-Hak Minoritas merupakan bagian penting instrumen yang memberikan perlindungan terhadap hak-hak kelompok minoritas khususnya minoritas dalam agama yang potensial menjadi korban penganut mayoritas.

Menurut Komite HAM, kebebasan beragama memiliki dua unsur penting, yaitu: unsur internal (forum internum) dan eksternal (forum eksternum). Forum internum adalah bersifat abstrak karena berada di hati sanubari setiap manusia yang memiliki kepercayaan dan dalam pelaksanaanya tidak boleh dibatasi entitas apapun termasuk oleh undang-undang. Sedangkan forum eksternum adalah kebebasan menjalankan praktik keagamaan dan keyakinan atau sebagai manifestasi dari keyakinan itu, seperti salat ke masjid, mendirikan tempat ibadah, berangkat haji, memakai jilbab atau kopyah, menguburkan jenazah, merayakan hari-hari keagamaan, dan lain sebagainya.

Instrumen internasional, memberi tempat penting dalam hal kesucian keyakinan dan sebagai hak seorang manusia meyakininya. Komite HAM --sebagai badan sah yang memberikan penjelasan resmi--, menyatakan forum internum tidak boleh dibatasi dengan alasan apapun, bahkan negara dalam keadaan genting dan perang sekalipun. Menurut penjelasan Komite HAM, termasuk kebebasan di sini adalah hak menafsirkan ajaran agama, baik tekstual maupun kontekstual, asalkan tidak mengganggu hak asasi manusia yang lain atau melanggar instrumen Internasional lain. Sebagai kebebasan seseorang dalam memanifestasikan ajaran agamanya sepanjang tidak melanggar hak-hak orang lain.

Penghormatan atas kesucian keyakinan ini praktiknya banyak dibatasi dan dilanggar. Ambil contoh sebagaimana dikutip dalam buku ini, yaitu dalam kasus Daud bin Mamat & Ors vs. Majelis Agama Islam/Adat&Anor menunjukkan bahwa forum internum dilanggar. Menjadi muslim yang seharusnya tanpa syarat, telah dilanggar oleh Pengadilan setempat (PN Bagian Kelantan Malaysia) yang menerapkan syari'at Islam, yaitu seorang Mamat yang dinyatakan murtad dan baru bisa masuk Islam kembali setelah diputuskan oleh Pengadilan Syariah. Artinya keberadaan sertifikasi keislaman seseorang telah memasuki wilayah sanubari manusia, sehingga telah melanggar forum internum.

Pengakuan agama resmi, menurut Al Khanif dengan mengutip Jahangir, juga tidak sesuai dengan prinsip hak yang tidak boleh dikurangi dalam keadaan apapun (non-derogable rights) dari forum internum. Adapun pengkuan ini menurut penulis sah-sah saja sepanjang penetapan hak ini tidak mengganggu HAM meyakini agama tidak resmi. Meski maksudnya baik, dalam praktinya, pencantuman agama resmi di KTP berakibat penganut non-agama resmi kemudian menganut agama secara proforma, bukan karena keyakinannya. Mereka hanya takut dipenjarakan "karena berbeda" dan menghindari perlakuan diskriminatif lainnya. Karena tanpa menganut agama resmi, hak-haknya sebagai penduduk lainnya tidak akan didapatkan.

Pembatasan forum eksternum

Sejauh mana forum internum dapat dibatasi? Al Khanif menegaskan bahwa negara dilarang melakukan intervensi dan pembatasan-pembatasan. Forum internum secara mutlak tidak boleh dibatasi, karena hak ini sebagai penghargaan manusia sebagai makhluk bermartabat. Jaminan ini harus diberikan tanpa syarat karena berakibat terganggunya hak asasi manusia yang lain, yaitu hak berserikat, hak untuk hidup dan hak mendapatkan kepastian hukum yang seimbang. Keyakinan seseorang yang berada dalam hati sanubari tidak bisa dibatasi dalam keadaan apapun.

Hak atas kebebasan yang boleh dibatasi hanya pembatasan unsur forum eksternum yang sampai sekarang masih menjadi perdebatan dan sekaligus sering dilanggar dengan argumen bahwa pembatasan-pembatasan dibenarkan. Pembatasan-pembatasan ini dilakukan melalui undang-undang dan pratik-praktik yang dibiarkan negara dengan pelanggaran mengatasnamakan Tuhan, Agama dan kitab suci.

Pada dasarnya hukum internasional mengatur pembatasan yang diperbolehkan hanya untuk menjaga kepentingan hak-hak fundamental dan hak orang lain dengan mengacu kepada prinsip proporsionalitas. Pembatasan tersebut diatur dalam Pasal 18 (3) Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM), yaitu pembatasan oleh peraturan perundang-undangan yang dimaksudkan untuk melindungi kepentingan umum, keselamatan, hukum, kesehatan atau moral dan hak-hak dan kebebasan fundamental lainnya.

Lebih jauh, asas proporsionalitas bertujuan melindungi hak-hak orang lain, khususnya mereka yang berstatus kelompok minoritas. Prinsip proporsionalitas tersebut harus memenuhi tiga unsur, yaitu: pertama, peraturan tersebut dibuat untuk melindungi kelompok dan individu yang mendapatkan perlakuan diskriminatif atau mereka yang hak-haknya dilanggar. Kedua, peraturan itu sebisa mungkin tidak mengandung pemaksaan terhadap hak dan kebebasan suatu kelompok atau individu. Ketiga, harus memenuhi tujuan utama dari peraturan tersebut sebagai salah satu alat untuk melindungi individu atau keompok yang mendapatkan perlakuan diskriminatif.

Kalaupun ada perlakuan khusus atas praktik budaya, agama atau sumber hukum lokal lainnya, tujuannya tidak boleh mengandung unsur diskriminatif. Praktik di lapangan justru membuktikan budaya dan tradisi memberikan tafsir mengenai keselamatan dan kepentingan umum secara berbeda-beda. Bahkan eksistensi paham relativisme budaya, khususnya yang radikal, menganggap tidak ada moralitas dan nilai yang universal dalam HAM yang itu menjadi tantangan masa depan kebebasan beragama.

Beberapa pembatasan dibenarkan, seperti hukum positif di Amerika yang mengatur larangan terhadap semua jenis ceramah agama atau ritual keagamaan di jalan-jalan umum yang semata-mata melindungi pengguna jalan-jalan umum. Selanjutnya dalam kasus Singh Binder vs Canada, Komite HAM PBB menyatakan peraturan di Kanada yang mengharuskan pekerja federal dibawah naungan pemerintah memakai helm ketika bekerja menurut Komite HAM dibenarkan untuk melindungi keselamatan pekerja itu sendiri. Khanif dalam kasus terakhir menyangsikan keterkaitan kepentingan umum untuk kasus Sikh ini.

Menurut peresensi, pembatasan-pembatasan dapat dilakukan dalam batas-batas yang dibenarkan. Misalkan saja apabila melakukan pelarangan terhadap ajaran yang menyuruh bunuh diri (individu/massal), atau ajaran agama yang melarang memakai helm saat berkendara dan bekerja boleh dintervensi negara semata-mata untuk melindungi keselamatan masyarakat (restriction for the protection of public safety).

Negara juga boleh membatasi penyebaran penyakit atau melarang agama yang mewajibkan penganutnya berpuasa sepanjang masa yang mengancam jiwanya. Atau contoh lain, yaitu negara dapat melarang ajaran yang menganjurkan kekerasan dan membunuh manusia lain tanpa dasar sah, mengharuskan telanjang bulat ketika menjalankan ritual di tempat umum, mencelakakan dan mengganggu kebebasan orang lain, kejahatan terorisme atas dasar agama, pembunuhan bayi dan lain sebagainya. Semua kebebasan beragama ini perlu diintervensi negara.

Problem implementasi

Pada hukum Internasional sendiri kebebasan beragama ini bersifat problematis. Banyak instrumen tidak secara tegas dalam memberikan jaminan kebebasan. Mekanisme penegakannya juga seringkali terbentur dengan kedaulatan masing-masing negara. Sehingga implementasinya masih tergantung sebuah negara menghormati atau tidak terhadap hak kebebasan beragama.

Penulis buku ini menekankan pentingnya in situ visits, sebagai mekanisme khusus untuk memantau implementasi dan pelanggaran kebebebasan beragama di berbagai negara. Peran Rapporteur khusus di bidang tersebut oleh Lembaga HAM PBB penting dalam mengirimkan surat permintaan kunjungan negara yang dicurigai melanggar HAM dan jika memperoleh ijin mengunjungi negara dan memeriksa dan melaporkannya.

Di Indonesia sendiri menurut peresensi, kebebasan beragama termasuk HAM yang tidak boleh dikurangi dalam keadaan apapun. Saking pentingnya, konstitusi sebelum amandemen (1999-2002), sudah diakui mengenai hierarki HAM tersebut. Dalam hierarki norma HAM, hak ini tidak bisa seenaknya dilanggar, karena International Convenant on Civil and Political Rights (ICCPR) telah diratifikasi oleh Indonesia, sehingga negara Indonesia terikat dengannya.

Akan tetapi, sebagaimana sudah menjadi keinginan pembentuk UUD 1945 yang dikuatkan tafsir Mahkamah Konstitusi bahwa hak-hak yang termasuk tidak boleh dikurangi dalam kondisi apapun atau non-derogable masih bisa dikurangi dan batasi. Sebagai norma fundamental, dalam pengaturan dan praktik, negara dituntut hati-hati jika akan membatasinya, karena hak ini terkait erat dengan harkat dan martabat manusia itu sendiri. Tanpa hak ini diberikan oleh negara sebenarnya kebebasan beragama sudah melekat pada diri manusia yang memiliki harkat dan martabat sejak dilahirkan, sehingga hak ini tidak lahir karena diberikan atau diatur oleh hukum negara.

Pelanggaran kebebasan beragama meskipun banyak terjadi, masih belum ditempatkan sebagai  norma yang tergolong jus cogens norms, sehingga semua negara dapat melakukan intervensi, yaitu pelanggaran atas ini sudah menjadi masalah seluruh umat manusia dan pelaku pelanggar HAM dapat dituntut di negara manapun. Meskipun bukan jus cogens norma, seharusnya tidak mengurangi penghormatan negara atas kelompok minoritas yang kerap menjadi korban.

Sejatinya hal yang jauh lebih penting: adanya kedewasaan penganut agama dalam beragama dan sikap saling menghormati keyakinan orang lain. Meskipun kita percaya agama yang kita anut sebagai benar, harus disadari bahwa belum tentu dianggap benar bagi orang lain. Tidak hanya antar agama, juga masih dalam satu agama yang sama. Artinya, negara dalam posisi di tengah. Itulah pentingnya konsensus dan peran negara sebagai rumah bersama yang melindungi semua agama sekaligus membatasi aktivitas keagamaan yang justru melanggar hak penganut agama lainnya.

Judul Buku : Hukum dan Kebebasan Beragama di Indonesia
Pengarang : Al Khanif, S.H., M.A., LL.M.
Penerbit : LaksBang Mediatama
Tahun : Mei, 2010
Jumlah : 349 + xiii



(Tulisan ini dimuat dalam Rubrik "Pustaka" Majalah Konstitusi Edisi Juni 2011)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar