Minggu, 10 Juli 2011

Perjalanan Demokrasi Ala Indonesia

Oleh Miftakhul Huda, Redaktur Majalah Konstitusi

Buku Sedikit tentang Sistem Pemerintahan Demokrasi karya Prof. Koentjoro Poerbopranoto diterbitkan pertama kali pada 1960, berisi pembahasan yang terbagi dengan dua bagian besar, yaitu “Tinjauan Umum tentang Dasar-Dasar Demokrasi dan Pemerintahan Demokrasi” dan “Perkembangan Demokrasi di Indonesia”. Isi buku ini diawali dengan pengantar dan diakhiri dengan penutup pada akhir buku.

Buku ini memperlihatkan corak dan tipe demokrasi bagi tiap-tiap negara sangat kental dipengaruhi sejarah dan unsur-unsur kemasyarakatan yang merupakan potensi atau kemampuan rakyat memberikan wujud pemerintahannya sendiri. “Pertama, unsur kekuatan aseli yang bersemayam di sanubari rakyat turun temurun,” kata Koentjoro. Kemudian, ia mengatakan yang kedua “Unsur sejarah yang memberi bentuk kepada lembaga-lembaga pemerintahan sesuai dengan perkembangan masyarakat.” Kedua hal ini yang membuat demokrasi memiliki corak berbeda di masing-masing negara.

Koentjoro berangkat dari pengertian klasik demokrasi menurut sarjana Prancis M. Duverger dan G. Vedel yang intinya sistem pemerintahan negara dalam pokoknya semua orang (rakyat) berhak sama untuk memerintah dan juga untuk diperintah. Dalam praktik menurut pengalaman sejarah, perlu organisasi di dalam pemerintahanan yang memerhatikan dua pokok, yaitu seleksi (memilih orang yang cakap) dan delegasi (penyerahan kekuasaan dari pemilih kepada wakilnya) yang membentuk sistem pembentukan atas dasar pemerintahan (election).

Dengan terang ia menguraikan pandangan praktis demokrasi ala Joseph A. Schumpeter, yang memahami demokrasi secara minimal atau demokrasi prosedural, dengan dua unsur pentingnya yaitu kontestasi dan partisipasi warga negara. Koentjoro mendefinisikan demokrasi menuju kepada badan-badan perwakilan/ parlemen disebut sistem demokrasi parlementer. Sedangkan pengertian demokrasi juga dimaknai berbeda di negara-negara Eropa Timur dan RRC berdasarkan ajaran Karl Max, dengan “demokratie populaire” atau demokrasi rakyat yang menitikberatkan kemajuan ekonomi sosial dan ekonomi. Menurut faham ini kekuasaan negara diserahkan kepada dan dijalankan oleh golongan/ partai terbesar dari rakyat, yang merupakan “dictatorship of majority over a minority”. Demokrasi barat dikritik faham ini sebagai demokrasi borjuis, segolongan kecil penduduk yang ditunjuk dengan jalan pemilihan, diserahi segala kekuasaan negara (dictatorship of a minority over a majority).

Koentjoro menunjukkan jika ukuran demokrasi melihat sistem negara kota atau “stadstaat” Yunani kono, maka Indonesia dalam masyarakatnya dikenal juga sistem organisasi dalam marga atau di dalam desa yang dijalankan dengan melibatkan seluruh penduduk, terutama mereka yang dituakan dalam mengatasi masalah bersama/ umum. Pengambilan keputusan melalui jalan musyawarah ini yang dalam ilmu politik disebut sistem demokrasi pula. Dengan mengacu Soekarno, demokrasi yang sesuai dengan UUD adalah “demokrasi gotong royong” atau “demokrasi musyawarah”, atau oleh Hatta dengan demokrasi kolektif. Indonesia menganut demokrasi politik dan demokrasi ekonomi dan sosial. Demokrasi ini merupakan demokrasi asli Indonesia yang dikatakan Hatta, dalam organisasi masyarakat kita sebagai kesatuan-kesatuan adat terkecil yang tersebar di seluruh Indonesia, baik yang berbentuk nagari, marga, desa, dan kampung, baik berdasarkan kesamaan darah dan keturunan atau wilayah sesuai pembagian Van Vollenhoven dalam Adatrecht van Ned.Indie (1918).

Perkembangan sejarah demokrasi masing-masing negara memberi isi dan sifat yang berbeda kepada masing-masing negara. Dalam buku ini diuraikan perkembangan evolusioner di Inggris dan Skandinavia dan jalan revoluasi rakyat di Amerika Serikat, Prancis dan Rusia. Untuk tiga negara ini cara pengisian dan sistem demokrasinya juga berbeda melihat sistem demokrasinya sekedar politis atau juga di lapangan lainnya (susila, kemasyarakatan dan sebagainya). Perkembangan demokrasi secara jelas diuraikan dengan mengemukakan pandangan para ahli ketetanegaraaan yang mempengaruhi praktik kenegaraan dan memandang demokrasi dari sudut perwakilan(demokrasi perwakilan). Mengenai yang pertama, dijelaskan secara detil, ajaran-ajaran yang berpengaruh pada pada masing-masing sistem, sedangkan mengenai perwakilan secara jelas diuraikan persoalan siapa yang harus diwakili, cara melakukan perwakilan, cara menujuk mereka yang mewakili dari praktik-praktik negara yang bercorak berbeda tersebut.

Selain itu, buku ini juga secara jelas menguraikan fungsi partai politik dan lahir dan perkembangan pentingnya hak asasi manusia sebagai perlindungan kesewenang-wenangan kekuasaan.

Unsur Demokrasi Asli

Bagian terpenting menurut peresensi dalam buku ini terkait perkembangan demokrasi di Indonesia sendiri. Yang membedakan buku ini dengan lainnya pada bagian ini dengan gamblang dan panjang lebar mengemukakan unsur-unsur demokrasi asli di Indonesia.

Berdasarkan sumber-sumber yang tergolong langka, misalkan B.J. Haga dalam “Indonesuische en Indishe democratie” (1924), ia mengatakan di Indonesia terdapat “demokrasi timur” yang lumpuh karena pemerintahan otokrasi Hindia Belanda, yang kemudian masih sanggup hidup kembali.

“Dr. Haga mengikuti pendirian luas perihal istilah demokrasi, yaitu yang meliputi segala pengaruh rakyat pada jalannya pemerintahan, peradilan dan perundang-undangan, tidak hanya yang merupakan bentuk-bentuk kenegaraan,” ujar Guru Besar yang diangkat pada 1 Februari 1960 ini. Oleh karenanya, Koentjoro menolak pandangan B. Schrieke dalam “Dies-rede-“-nya (Jakarta, 27 Oktober 1928) yang tidak sesuai kenyataan, bahwa sejarah negara-negara Timur tidak mengenal adanya demokrasi.

Masih sejalan dengan Dr. Haga dengan uraiannya mengenai unsur-unsur demokrasi asli ada pada masyarakat adat terkeci (nagari, marga, kelurahan, negory, kalakaran dll), juga dalam kesatuan adat lebih besar (urung, kuria dll), pun juga dalam kesatuan lebih besar yaitu kerajaan-kerajaan kecil. Pengaruh rakyat terhadap kesatuan-kesatuan adat tersebut merupakan unsur demokrasi, baik terhadap pemerintahan, polisi desa, perundang-undangan. Kekuasaan tertinggi dalam kesatuan terdapat dalam “rapat adat” (Kumpulan desa, dll) terdiri atas kepala kesatuan adat, dengan masyarakat yang memiliki kecakapan (usia, keturunan/ pemilik tanah) serta yang sifatnya terbuka bagi semua anggota.

Beberapa contoh dikemukakannya, misalkan kedudukan kepala adat dikatakan juga mencerminkan kedudukan sama, seperti dalam pepatah Minangkabau yang merupakan dasar demokrasi murni, yaitu: “duduo samo rendah, taga samo tinggi” yang dalam ilmu pengetahuan dikenal “primus inter pares”. Hak protes juga diakui, misalkan hak rakyat melepaskan hubungan dengan kepala rakyat yang tidak disukainya dengan menggabungkan diri dengan kepala dari kesatuan adat lain (metilar, Bali) dan hak “pepe” (Jawa Tengah).

Koentjoro akhirnya menyimpulkan “sifat demokrasi aseli di kalangan adat Indonesia itu sebagaian adalah ‘democratie directe’, dimana kepala-kepala adat bersama-sama dengan wakil-wakil rakyat yang dipilih, merupakan satu dewan petugas adat.”

Selain itu, mengacu pendapat Dr. Adam, usaha pemerintahan semua dilaksanakan sesuai kehendak rakyat banyak (volonte generale) yang merupakan inti pemerintahan demokrasi. Dibagian selanjutnya, Koentjoro. mengulas perkembangan zaman sejak zaman Majapahit dan Mataram untuk menunjukkan kedekatan hubungan batin rakyat dengan pembesarnya (Pidato Raja Wengker di hadapan pembesar Majapahit, permusyawaratan besar sebagai lembaga keprajaan Majapahit dsb) dan di masa kesultanan.

Masa penjajahan Belanda dikatakan menghambat perkembangan demokrasi asli berkembang. Memang ada perkembangan pengaturan yang membuka keran-keran demokasi masa penjajahan ini, misalkan terkait desentralisasi pada 1922 dengan memperluas pengaruh penduduk Indonesia di daerah-daerah dalam badan-badan pemerintahan daerah, otonomi lebih luas, dimungkinkan campur tangannya penduduk dalam penyusunan badan-badan daerah. Hal penting juga dikatakan pembentukan Dewan Rakyat (Volksraad) dan perkembangannya dalam pengisian keanggotannya untuk orang bangsa Indonesia yang penting bagi perkembangan demokrasi dan kepartaian di Indonesia. Hal ini katakan merupakan “Penting juga terhadap terbentuknya cita-cita sistem pemerintahan demokrasi parlementer di hari depan.”

Gerakanperjuangan menunju kemerdekaan dengan terbentuknya perhimpunan-perhimpunan politik memilik arti penting bagi perkembangan dan corak demokrasi sendiri.

Demokrasi Pancasila?

Di bagian akhir, buku ini memberikan gambaran kita pelaksanakan demokrasi masa setelah kemerdekaan. Tapi sayangnya Koenjoro hanya secara garis besar membahas dengan terutama menggunakan tinjauan yuridis bagaimana perkembangan demokrasi sesuai konstitusi yang berbeda. Sesuai pandangan Notonagoro tentang Pancasila, Koentjoro berpandangan demokrasi yang dikehendaki Pancasila satu kesatuan dengan sila-sila lainnya. Bukan demokrasi yang bersifat politis liberal sebagai dasar bentuk utama negara Prancis, tetapi sesuai kata Soekarno, demokrasi yang menurutnya, “sanggup mendatangkan kesejahteraan hidup dan keadilan sosial, yaitu demokrasi politik dan ekonomi”

Adapun sifat dan tujuan demokrasi sesuai Pancasila adalah yang sesusai jiwa dan pribadi bangsa sendiri yang dirumuskan dalam Pembukaan, yakni kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Demokrasi kita adalah demokrasi yang substansinya berasal dari unsur-unsur demokrasi asli bangsa sendiri.

Namun perjalanan demokrasi Indonesia tidak berlangsung sesuai cita-cita. Praktik demokrasi mengalami pasang surut dengan kondisi ketatanegaraan dan pemaknaan demokrasi sesuai kepentingan penguasa. Demokrasi di Indonesia pernah berlaku dengan demokrasi parlementer, demokrasi terpimpin dan demokrasi pancasila, serta demokrasi ala reformasi 1998.

Sebagaimana pandangan ahli pada umumnya, ia banyak mengkritik pelaksanaan demokrasi parlementer yang tidak sesuai Pancasila, meskipun di masa-masa awal kemerdekaan ia cenderung memaklumi pada periode genting demokrasi parlementer yang pernah diberlakukan dan banyak halangan dalam pertumbuhan demokrasi yang dicita-citakan.

Hal menarik bahwa demokrasi terpimpin bagi penulis buku ini menekankan pentingnya penyelengaraan blue print untuk mencapai kondisi masyarakat yang adil dan makmur. Ia merujuk konsep demokrasi terpinpin yang disampaikan Soekarno pada 28 Mei 1958 di Universitas Gadjah Mada dan penjelasan Wakil Ketua Dewan Nasional Ruslan Abdulgani. Dengan berbagai penolakan, ia mengusulkan penggunaan istilah demokrasi Pancasila, untuk menghindari reaksi tidak perlu. Karena konsepsi Presiden ini sesuai demokrasi sosial Hatta dan demokrasi tidak sekedar formil, akan tetapi juga materiil.

Ide demokrasi terpimpin sesuai kata Ki Hadjar Dewantara (1959) sudah ada sejak 3 Juli 1922, sejak berdiri Taman Siswa yang oleh beliau disebut ”Demokrasi dan Leiderschap” yang bercirikan demokrasi yang tidak meluap-luap dan menimbulkan anarki, tetapi demokrasi yang dipimpin oleh ”kebijaksanaan”. Dalam arti keinsyafan akan adanya ’kesejahteraan bersama’,” kata Ki Hadjar. Selanjutnya kata Soekarno pada 1949, ”Demokrasi Timur, lebih tegas lagi Demokrasi Indonesia, sebagai yang sudah kita adakan turun temurun, adalah satu demokrasi yang disertai leiderschap. Demokrasi ini pertama kali dirumuskan dalam Piagam Jakarta pada 22 Juni 1945 dalam kalimat yang menyatakan ”kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan” yang dicantumkan utuh dalam Pembukaan UUD 1945, tetapi tidak tampak jelas dalam ”Mukaddimah” UUDS 1950.

Buku ini ditulis pasca Dekrit Presiden, sehingga sebagaimana buku-buku yang ditulis masa reformasi demokrasi yang berlangsung dianggap sebagai jalan keluar, sehingga sebagai pembaca mesti melihat dengan kritis. Namun, dalam tataran pelaksanaan masa Orde Baru yang selalu membawa jargon Demokrasi Pancasila, tetapi pertanyaannya apakah paling demokratis dibandingkan dengan periode sebelumnya?

Praktik demokrasi sendiri tidak selalu searah dengan konsepsi atau manifesto yang ditawarkan semula. Demokrasi khas Indonesia juga dalam praktik sebagai pembenaran yang justru keluar dari nilai-nilai demokrasi. Demokrasi tanpa embel-embel cukup ampuh juga melawan terpasungnya nilai-nilai demokrasi yang diklaim khas Indonesia. Tetapi jika kembali mengacu demokrasi liberal, bukankah John Rawls dan Habermas dengan lingkungan tradisi liberal, kritik-kritik yang dikemukakan telah dijawab pada masa lampau oleh pendiri negara (founding fathers) dengan Pancasila yang disepakati bersama.

Judul Buku : Sedikit Tentang Sistim Pemerintahan Demokrasi
Pengarang : Prof. Mr. Koentjoro Poerbopranoto
Penerbit : PT. Eresco
Tahun : 1978

Sumber: Majalah Konstitusi Edisi Juni 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar