Setelah ditunggu sekian lama, akhirnya Mahkamah
Konstitusi memutus perkara uji materi Pasal 34 Undang-undang No. 30 Tahun 2002
tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Pasal 34 tersebut berbunyi,
”Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi memegang jabatan selama 4 (empat) tahun
dan dapat dipilih kembali hanya untuk sekali masa jabatan.”
Sebenarnya, sebagaimana disebutkan dalam
putusan Mahkamah, ketentuan Pasal 34 UU KPK tersebut sudah sangat jelas dan
tegas menyebutkan masa jabatan Pimpinan KPK adalah empat tahun. Ketentuan
tersebut juga tidak menimbulkan masalah konstitusional hingga DPR dan Presiden
memberi penafsiran lain.
Ketika Busyro Muqoddas terpilih menggantikan
Antasari Azhar sebagai Pimpinan KPK pada akhir 2010 lalu, DPR dan Presiden
menafsirkan bahwa ketentuan Pasal 34 UU KPK tersebut tidak berlaku untuk semua
anggota Pimpinan KPK. Pimpinan yang menggantikan anggota pimpinan yang berhenti
di tengah masa jabatan, hanya melanjutkan sisa masa jabatan anggota yang
digantikannya. Sedangkan Pemohon menafsirkan masa jabatan anggota pengganti
adalah empat tahun.
Dalam rangka implementasi undang-undang,
sebenarnya Presiden dan DPR dapat saja menafsirkan suatu ketentuan
undang-undang. Namun, apabila penafsiran itu mengakibatkan terancamnya
penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan hak-hak konstitusional warga negara,
sebagai pengawal konstitusi, Mahkamah pun berwenang menilai konstitusionalitas
penafsiran tersebut.
Perbedaan penafsiran tersebut, menurut
Mahkamah, menimbulkan persoalan konstitusional. Apabila Mahkamah tidak memberi
kepastian penafsiran masa jabatan anggota Pimpinan KPK pengganti, persoalan
tersebut akan memunculkan perdebatan di masa mendatang. Padahal, hal itu justru
bertentangan dengan prinsip kepastian hukum yang adil yang dijamin oleh
konstitusi.
Pasal 33 ayat (2) UU KPK mengatur, mekanisme
pemilihan anggota pengganti Pimpinan KPK yang berhenti dalam masa jabatan
dilakukan sama dengan mekanisme pemilihan dan pengangkatan anggota pimpinan
yang diangkat secara bersamaan pada awal periode. Proses seleksi tersebut perlu
dilakukan secara ketat dan panjang mengingat begitu pentingnya jabatan Pimpinan
KPK, terutama apabila dikaitkan dengan urgensi agenda pemberantasan korupsi di
Indonesia.
Dengan proses seleksi serupa itu, menurut
Mahkamah, dilihat dari asas keadilan dalam pelaksanaan pemerintahan yaitu
keadilan bagi masyarakat, pengangkatan anggota pengganti yang menduduki masa
jabatan sisa satu tahun dirasakan tidak adil bagi masyarakat. Sebab, negara
harus mengeluarkan biaya yang sangat besar dan menghabiskan waktu yang cukup
panjang hanya untuk memilih seorang anggota pengganti, padahal masa jabatannya
hanya satu tahun.
Bagi Mahkamah, keadilan masyarakat adalah
sumber nilai konstitusi tertinggi yang harus menjadi dasar penilaian Mahkamah,
karena keadilan konstitusi tidak lain dari keadilan bagi konstituen, yaitu
keadilan bagi rakyat yang membentuk dan menyepakati konstitusi. Keadilan
masyarakat, menurut Mahkamah, sangat penting dalam menegakkan prinsip-prinsip
konstitusi untuk menghindari penyelenggaraan negara yang bersifat elitis dan melanggar
prinsip-prinsip demokrasi yang dianut oleh UUD 1945, khususnya demokrasi
partisipatoris.
Penafsiran DPR dan Presiden, juga dinilai
Mahkamah, melanggar prinsip perlakuan yang sama terhadap setiap warga negara di
hadapan hukum dan pemerintahan.Selain itu, jika anggota pengganti hanya
menduduki masa jabatan sisa dari yang digantikannya, hal itu melanggar prinsip
kemanfaatan yang menjadi tujuan hukum.
UU KPK menegaskan bahwa Pimpinan KPK
pengganti dipilih melalui proses seleksi yang baru dan tidak ditentukan bahwa
pimpinan pengganti hanya melanjutkan sisa masa jabatan pimpinan yang
digantikannya. Menurut Mahkamah, hal itu menunjukkan bahwa masa jabatan
Pimpinan KPK pengganti tidak dapat ditafsirkan sama dengan penggantian
antarwaktu bagi anggota DPR dan DPD.
Dengan demikian, menurut Mahkamah, masa
jabatan pimpinan KPK yang ditentukan dalam Pasal 34 UU KPK tidak dapat
ditafsirkan lain, kecuali empat tahun, baik bagi pimpinan yang diangkat secara
bersamaan sejak awal maupun bagi pimpinan pengganti. Mempersempit makna Pasal
34 UU KPK dengan tidak memberlakukan bagi Pimpinan KPK pengganti untuk menjabat
selama empat tahun adalah melanggar prinsip kepastian hukum yang dijamin
konstitusi.
Putusan Mahkamah tidak saja menilai
konstitusionalitas penafsiran undang-undang, melainkan menyatakan putusan
tersebut berlaku surut (retroaktif). Putusan tersebut sekali lagi
membuktikan peran Mahkamah sebagai pengawal konstitusi, karena putusan tersebut
dapat mencegah perdebatan di masa mendatang maupun masalah konstitusional.
Putusan tersebut juga menegaskan bahwa Mahkamah tidak hanya terpaku membaca
dan memahami teks konstitusi, melainkan menggali dan menemukan nilai dan
dasar-dasar filosofis yang terkandung dalam konstitusi untuk memutuskan setiap
persoalan yang dihadapkan ke Mahkamah. ***
Sumber: Editorial Majalah Konstitusi Edisi No.53-Juni 2011/ Foto: matanews.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar