Jumat, 20 Mei 2011

Maria Ulfah, Sang Pengusul Perlindungan Hak Asasi Manusia


Di antara 66 anggota Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK), hanya dua anggota yang perempuan. Salah satu di antara kedua perempuan itu adalah Maria Ulfah. Kelahiran Serang, 18 Agustus 1911 itu merupakan sarjana hukum perempuan pertama di Indonesia. Gelar Meester in de Rechten tersebut ia raih dari Rechtshogeschool Universitas Leiden, Belanda, dalam usia 22 tahun pada 1933. Ia menamatkan kuliahnya selama empat tahun.

Maria memiliki nama panggilan kecil Itje. Ia lahir dari pasangan Raden Mochammad Achmad dan Chadidjah Djajadiningrat. Karena Mochammad Achmad menjabat sebagai Bupati Kuningan, Itje memiliki kesempatan untuk menamatkan Algemeene Middelbare School (AMS), yaitu Sekolah Menengah Atas pada zaman kolonial Belanda di Indonesia. 

Ketika sang ayah mendapat kesempatan untuk mendalami ilmu koperasi di Belanda, Itje bersama kedua adiknya ikut menemani ke Belanda. Sedangkan ibunya, pada saat itu telah wafat. Di Belanda, Itje memilih melanjutkan pendidikan di Fakultas Hukum Universitas Leiden. Sebenarnya, ketika itu sang ayah menghendaki agar ia menjadi dokter. “Tapi saya mau memperjuangkan hak-hak wanita,” ujar Itje, sebagaimana ditulis dalam situs hapsarisumut.wordpress.com. 

Ia berpendapat, secara hukum kedudukan wanita masih sangat lemah sehingga perlu diperbaiki. ”Banyak wanita diperlakukan tidak adil, dicerai tidak boleh protes atau ke pengadilan. Hal ini amat menyakitkan hati saya, ” demikian Itje memberi alasan atas pilihannya. 

Di Belanda, Itje menjadi anggota perhimpunan mahasiswa Leiden, Vereeniging van Vrouwelijke Studenten Leiden (VVSL). Rupanya, keinginannya untuk turut serta dalam gerakan persamaan gender berubah menjadi perjuangan menuju kemerdekaan bagi seluruh bangsa Indonesia. Di sana, Itje banyak berjumpa dengan tokoh-tokoh nasional. Tak jarang ia terlibat dalam percakapan ayahnya dengan Haji Agus Salim, yang pernah tinggal di Belanda. Perbincangan mereka berkisar sekitar perkoperasian dan soal buruh. Muhammad Hatta juga sering hadir di sana.

Itje juga mengenal Sjahrir di Belanda, lewat iparnya, Djoehana Wiradikarta. Secara ideologis, Sjahrir cukup banyak memberikan pengaruh kepada Itje. Sjahrir pernah meminjamkan buku karangan seorang gadis pengikut Mao Tse Toeng. Itje juga membaca buku pembelaan “Indonesie klaagt Aan (Indonesia Menggugat). Kedekatannya dengan Sjahrir membuat Itje terlibat dalam rapat-rapat politik. 

Semasa di Belanda, Sjahrir pernah mempunyai rencana untuk membuat wisma buruh sebagaimana di Belanda, manakala kembali ke Indonesia. Ide tersebut sejalan dengan keinginan Itje yang hendak mengangkat derajat perempuan. 

Sepulang dari Belanda, Itje sempat bekerja di kantor Kabupaten Cirebon. Ia kemudian mengajar di HBS dan AMS milik Muhammadiyah, serta di Perguruan Rakyat. Di tempat itulah ia berkenalan dengan tokoh pergerakan lain seperti Wilopo, Sumanang, M. Yamin, Sahardjo, serta Amir Sjarifuddin. Itje juga disebut-sebut pernah memperdalam bahasa Indonesia pada penyair Amir Hamzah. 

Pengusul Hak Asasi Manusia  

Dengan latar belakang pendidikan dan pengalaman organisasinya tersebut, wajar saja jika Itje terpilih sebagai anggota Badan Penyelidik. Bahkan, ia kemudian ditempatkan dalam Panitia Kecil Perancang Undang-undang Dasar yang diketuai Soekarno. 

Sayang, sejarah kurang mencatat peran Itje dalam Panitia Kecil tersebut. Padahal, dalam sidang yang berlangsung pada 13 Juli 1945, sebagaimana ditulis Muhammad Yamin dalam buku Naskah Persiapan Undang-undang Dasar 1945 (cetakan kedua, 1971), Itje mengajukan sebuah usul penting yang masih sangat relevan bagi ketatanegaraan Indonesia saat ini. Ketika itu ia meminta kepada sidang agar hak-hak dasar manusia dimasukkan dalam Undang-undang Dasar. 

Namun, sebelum usul itu diperdebatkan, Ketua Panitia Kecil, Sukarno, buru-buru memotong usul tersebut. “Tidak perlu, karena Negara Indonesia berdasar atas kedaulatan rakyat,” ujarnya. Belum ditemukan catatan, apakah pada saat itu Itje cukup ngotot untuk memperjuangkan usulannya tersebut. Namun, perjuangan menuntut hak asasi manusia untuk dimasukkan sebagai bagian dari konstitusi menjadi perjuangan yang tak pernah putus dari para pegiat hak asasi manusia. Akhirnya, hak-hak dasar tersebut baru dimasukkan lebih dari setengah abad kemudian dalam Perubahan Kedua Undang-undang Dasar 1945. 

Di dalam Amandemen UUD 1945 tersebut, hak-hak asasi manusia termuat dalam Pasal 28A sampai dengan Pasal 28J, ditambah beberapa ketentuan lainnya yang tersebar di beberapa pasal. Perumusan tentang hak-hak asasi manusia dalam konstitusi Republik Indonesia dapat dikatakan sangat lengkap. Hal tersebut menjadikan UUD 1945 sebagai salah satu konstitusi yang paling lengkap memuat ketentuan yang memberikan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia. 

Pembela Hak-Hak Perempuan 

Keberadaan UUD 1945 sebelum dan pasca perubahan, hak memilih dan dipilih bukan hanya merupakan sesuatu yang taken for granted. Semua melalui perjuangan tidak mudah. Politik Belanda saat itu menerapkan diskriminasi berdasarkan ras dan jenis kelamin. 

“Pada tahun 1908, hak pilih hanya diberikan untuk laki-laki Eropa sampai akhirnya meliputi semua laki-laki di Hindia Belanda pada 1925. Jangankan perempuan Indonesia, Perempuan Belanda saja belum memiliki hak untuk memilih di Hindia Belanda pada tahun-tahun tersebut,” tulis Kurniawati Hastuti di situs LIPI.

Dari catatan Saskia E. Wieringa yang meneliti gerakan perempuan di Indonesia, dalam disertasinya yang dibukukan Penghancuran Gerakan Perempuan Politik Seksual di Indonesia Pasca Kejatuhan PKI, ia memberi tempat bagi peran Maria Ulfah. Mengenai hak politik ini, perempuan Belanda akhirnya mendapatkan haknya, namun tidak bagi perempuan di Hindia Belanda. 

Dalam perkembangannya kemudian, hak memilih dan dipilih diakui, meski sebatas perempuan yang berpendidikan Hindia Belanda. Itje tercatat pernah diusulkan organisasi perempuan Indonesia menjadi anggota Volksraad mewakili perempuan Indonesia, saat hak hanya dimiliki perempuan Belanda ini, namun ditolak dan menimbulkan protes gerakan perempuan Indonesia.

Saskia juga mencatat Itje setelah kemerdekaan banyak terlibat dalam gerakan keadilan bagi perempuan di wilayah domestik dan publik. Gerakan perempuan sendiri sebelum 1965 patut diperhitungkan baik dalam perjuangan meraih kemerdekaan maupun mengisi kemerdekaan. 

Komisi yang menyusun RUU Perkawinan terbentuk diperjuangkan gerakan perempuan sejak dulu. Kondisi perkawinan saat itu bisa dilakukan di bawah umur, kawin paksa dan talaq bisa dilakukan setiap saat dan maraknya poligami. Akhirnya disepakati perkawinan didasari kemauan bebas kedua belah pihak, poligami dengan superketat (kesetaraan dan adil). “Bagi Maria Ulfah hal ini berarti dalam praktiknya poligami menjadi tidak mungkin, karena jika seorang laki-laki dapat berlaku dalam kekayaan setara dan adil, secara emosional tak mungkin dilakukan, ‘cinta tak dapat dibagi’,” tulis Saskia di bukunya.

Ia termasuk tokoh yang konsisten memperjuangkan keadilan bagi perempuan semasa hidupnya. Itje sejak awal bukan perempuan pada umumnya, dengan kondisi marginalisasi dan diskriminasi kaumnya, lantas hanya “nrimo ing pandum” konstruksi masyarakat yang tidak adil. Ia memang manusia rasional yang terdidik pada zamannya. Soebadio, tokoh sosialis ini pernah menuturkan kepada sebuah media saat saat istrinya sakit, “Selama ini dia itu wanita yang rasional sekali.” 

Menteri Perempuan Pertama 

Kedekatan Itje dengan Sjahrir terbawa hingga ke tanah air. Dialah yang menjadi tuan rumah Perjanjian Linggarjati. Sebagaimana dikutip dalam situs sunangunungdjati.com, ia mengusulkan Linggarjati, Kuningan, Jawa Barat, kepada Sjahrir sebagai alternatif lokasi perundingan pada 25 Maret 1947. Pada saat itu, karena Soekarno dan Hatta, sebagai Presiden dan Wakil Presiden, berkedudukan di Yogyakarta, ibu kota sementara Republik itu ditawarkan sebagai tempat perundingan. Sedangkan Belanda menginginkan Jakarta, wilayah yang mereka kuasai, sebagai tempat berunding. 

Buku Peristiwa 3 Juli 1946, yang ditulis M. Yuanda Zara, juga menulis kedekatan Itje dengan Sjahrir. Di sana diceritakan, sehabis sidang pleno Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat, Sjahrir berbincang dengan koleganya dari Partai Sosialis, Sudarpo Sastrosatomo. Dalam perjalanan kereta api tersebut keduanya mendiskusikan kemungkinan memasukkan perempuan dalam kabinet yang akan mereka bentuk.
Nama Itje kemudian muncul sebagai kandidat. Alasan penunjukkannya adalah karena Itje merupakan wakil perempuan di pemerintahan. Perempuan dinilai sudah selayaknya diberi andil sebagai penentu kebijakan, mengingat peran mereka yang telah terbukti dalam merebut dan memperjuangkan kemerdekaan. Selain itu, Itje juga termasuk anggota Komite Nasional Indonesia Pusat. Dengan berbagai alasan itu, maka muncullah Maria Ulfah sebagai Menteri Sosial, sekaligus menteri pertama di Indonesia.

Semasa Orde Baru Itje terpilih sebagai anggota Dewan Pertimbangan Agung. Nama Santoso yang semula melekat di belakang namanya karena ia dipersuting oleh Mr. Santoso, pada 1938. Namun, suami yang menjabat sebagai Sekretaris Jenderal Departemen Pendidikan dan Kebudayaan pada masa itu, gugur dalam Agresi Kedua Belanda. 

Sepeninggal Santoso, Itje menjanda selama 15 tahun. Ia kemudian menikah lagi dengan Soebadio Sastrosatomo. Di luar pemerintahan, Itje pernah menjabat sebagai Ketua Badan Sensor Film selama sebelas tahun. Ia juga menjadi salah satu perintis berdirinya Korps Wanita Angkatan Darat (Kowad). Atas jasa-jasanya, pemerintah menganugerahinya Satya Lencana Karya Satya Tingkat II, Satya Lencana Peringatan Perjuangan Kemerdekaan, serta Bintang Mahaputra Utama Kelas III. (Rita Triana/ Miftakhul Huda)

Sumber: Rubrik "Jejak Konstitusi" Majalah Konstitusi No. 51-April 2011/ Foto: http://farm4.static.flickr.com/3138/2287811269_6a27a2c57d.jpg. Majalah bisa didownload pada: www.mahkamahkonstitusi.go.id

Tidak ada komentar:

Posting Komentar