Di antara 66 anggota Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan
Kemerdekaan (BPUPK), hanya dua anggota yang perempuan. Salah satu di antara
kedua perempuan itu adalah Maria Ulfah. Kelahiran Serang, 18 Agustus 1911 itu
merupakan sarjana hukum perempuan pertama di Indonesia. Gelar Meester in de
Rechten tersebut ia raih dari Rechtshogeschool Universitas Leiden, Belanda,
dalam usia 22 tahun pada 1933. Ia menamatkan kuliahnya selama empat tahun.
Maria
memiliki nama panggilan kecil Itje. Ia lahir dari pasangan Raden Mochammad
Achmad dan Chadidjah Djajadiningrat. Karena Mochammad Achmad menjabat sebagai
Bupati Kuningan, Itje memiliki kesempatan untuk menamatkan Algemeene Middelbare
School (AMS), yaitu Sekolah Menengah Atas pada zaman kolonial Belanda di
Indonesia.
Ketika sang
ayah mendapat kesempatan untuk mendalami ilmu koperasi di Belanda, Itje bersama
kedua adiknya ikut menemani ke Belanda. Sedangkan ibunya, pada saat itu telah wafat.
Di Belanda, Itje memilih melanjutkan pendidikan di Fakultas Hukum Universitas
Leiden. Sebenarnya, ketika itu sang ayah menghendaki agar ia menjadi dokter.
“Tapi saya mau memperjuangkan hak-hak wanita,” ujar Itje, sebagaimana ditulis
dalam situs hapsarisumut.wordpress.com.
Ia
berpendapat, secara hukum kedudukan wanita masih sangat lemah sehingga perlu
diperbaiki. ”Banyak wanita diperlakukan tidak adil, dicerai tidak boleh protes
atau ke pengadilan. Hal ini amat menyakitkan hati saya, ” demikian Itje memberi
alasan atas pilihannya.
Di Belanda,
Itje menjadi anggota perhimpunan mahasiswa Leiden, Vereeniging van Vrouwelijke
Studenten Leiden (VVSL). Rupanya, keinginannya untuk turut serta dalam gerakan
persamaan gender berubah menjadi perjuangan menuju kemerdekaan bagi seluruh
bangsa Indonesia. Di sana, Itje banyak berjumpa dengan tokoh-tokoh nasional.
Tak jarang ia terlibat dalam percakapan ayahnya dengan Haji Agus Salim, yang
pernah tinggal di Belanda. Perbincangan mereka berkisar sekitar perkoperasian dan
soal buruh. Muhammad Hatta juga sering hadir di sana.
Itje juga
mengenal Sjahrir di Belanda, lewat iparnya, Djoehana Wiradikarta. Secara
ideologis, Sjahrir cukup banyak memberikan pengaruh kepada Itje. Sjahrir pernah
meminjamkan buku karangan seorang gadis pengikut Mao Tse Toeng. Itje juga
membaca buku pembelaan “Indonesie klaagt Aan (Indonesia Menggugat).
Kedekatannya dengan Sjahrir membuat Itje terlibat dalam rapat-rapat politik.
Semasa di
Belanda, Sjahrir pernah mempunyai rencana untuk membuat wisma buruh sebagaimana
di Belanda, manakala kembali ke Indonesia. Ide tersebut sejalan dengan
keinginan Itje yang hendak mengangkat derajat perempuan.
Sepulang dari Belanda, Itje sempat bekerja di kantor Kabupaten
Cirebon. Ia kemudian mengajar di HBS dan AMS milik Muhammadiyah, serta di
Perguruan Rakyat. Di tempat itulah ia berkenalan dengan tokoh pergerakan lain
seperti Wilopo, Sumanang, M. Yamin, Sahardjo, serta Amir Sjarifuddin. Itje juga
disebut-sebut pernah memperdalam bahasa Indonesia pada penyair Amir Hamzah.
Pengusul Hak Asasi Manusia
Dengan latar belakang pendidikan dan pengalaman organisasinya
tersebut, wajar saja jika Itje terpilih sebagai anggota Badan Penyelidik.
Bahkan, ia kemudian ditempatkan dalam Panitia Kecil Perancang Undang-undang
Dasar yang diketuai Soekarno.
Sayang, sejarah kurang mencatat peran Itje dalam Panitia Kecil
tersebut. Padahal, dalam sidang yang berlangsung pada 13 Juli 1945, sebagaimana
ditulis Muhammad Yamin dalam buku Naskah Persiapan Undang-undang Dasar 1945
(cetakan kedua, 1971), Itje mengajukan sebuah usul penting yang masih sangat
relevan bagi ketatanegaraan Indonesia saat ini. Ketika itu ia meminta kepada
sidang agar hak-hak dasar manusia dimasukkan dalam Undang-undang Dasar.
Namun, sebelum usul itu diperdebatkan, Ketua Panitia Kecil,
Sukarno, buru-buru memotong usul tersebut. “Tidak perlu, karena Negara
Indonesia berdasar atas kedaulatan rakyat,” ujarnya. Belum
ditemukan catatan, apakah pada saat itu Itje cukup ngotot untuk memperjuangkan
usulannya tersebut. Namun, perjuangan menuntut hak asasi manusia untuk
dimasukkan sebagai bagian dari konstitusi menjadi perjuangan yang tak pernah
putus dari para pegiat hak asasi manusia. Akhirnya, hak-hak dasar tersebut baru
dimasukkan lebih dari setengah abad kemudian dalam Perubahan Kedua
Undang-undang Dasar 1945.
Di dalam
Amandemen UUD 1945 tersebut, hak-hak asasi manusia termuat dalam Pasal 28A
sampai dengan Pasal 28J, ditambah beberapa ketentuan lainnya yang tersebar di
beberapa pasal. Perumusan tentang hak-hak asasi manusia dalam konstitusi
Republik Indonesia dapat dikatakan sangat lengkap. Hal tersebut menjadikan UUD
1945 sebagai salah satu konstitusi yang paling lengkap memuat ketentuan yang
memberikan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia.
Pembela
Hak-Hak Perempuan
Keberadaan
UUD 1945 sebelum dan pasca perubahan, hak memilih dan dipilih bukan hanya
merupakan sesuatu yang taken for granted. Semua melalui perjuangan tidak
mudah. Politik Belanda saat itu menerapkan diskriminasi berdasarkan ras dan
jenis kelamin.
“Pada tahun
1908, hak pilih hanya diberikan untuk laki-laki Eropa sampai akhirnya meliputi
semua laki-laki di Hindia Belanda pada 1925. Jangankan perempuan Indonesia,
Perempuan Belanda saja belum memiliki hak untuk memilih di Hindia Belanda pada
tahun-tahun tersebut,” tulis Kurniawati Hastuti di situs LIPI.
Dari
catatan Saskia E. Wieringa yang meneliti gerakan perempuan di Indonesia, dalam
disertasinya yang dibukukan Penghancuran Gerakan Perempuan Politik Seksual
di Indonesia Pasca Kejatuhan PKI, ia memberi tempat bagi peran Maria Ulfah.
Mengenai hak politik ini, perempuan Belanda akhirnya mendapatkan haknya, namun
tidak bagi perempuan di Hindia Belanda.
Dalam
perkembangannya kemudian, hak memilih dan dipilih diakui, meski sebatas
perempuan yang berpendidikan Hindia Belanda. Itje tercatat pernah diusulkan
organisasi perempuan Indonesia menjadi anggota Volksraad mewakili
perempuan Indonesia, saat hak hanya dimiliki perempuan Belanda ini, namun
ditolak dan menimbulkan protes gerakan perempuan Indonesia.
Saskia juga
mencatat Itje setelah kemerdekaan banyak terlibat dalam gerakan keadilan bagi
perempuan di wilayah domestik dan publik. Gerakan perempuan sendiri sebelum
1965 patut diperhitungkan baik dalam perjuangan meraih kemerdekaan maupun
mengisi kemerdekaan.
Komisi yang
menyusun RUU Perkawinan terbentuk diperjuangkan gerakan perempuan sejak dulu.
Kondisi perkawinan saat itu bisa dilakukan di bawah umur, kawin paksa dan talaq
bisa dilakukan setiap saat dan maraknya poligami. Akhirnya disepakati
perkawinan didasari kemauan bebas kedua belah pihak, poligami dengan superketat
(kesetaraan dan adil). “Bagi Maria Ulfah hal ini berarti dalam praktiknya
poligami menjadi tidak mungkin, karena jika seorang laki-laki dapat berlaku
dalam kekayaan setara dan adil, secara emosional tak mungkin dilakukan, ‘cinta
tak dapat dibagi’,” tulis Saskia di bukunya.
Ia termasuk
tokoh yang konsisten memperjuangkan keadilan bagi perempuan semasa hidupnya.
Itje sejak awal bukan perempuan pada umumnya, dengan kondisi marginalisasi dan
diskriminasi kaumnya, lantas hanya “nrimo ing pandum” konstruksi masyarakat
yang tidak adil. Ia memang manusia rasional yang terdidik pada zamannya.
Soebadio, tokoh sosialis ini pernah menuturkan kepada sebuah media saat saat
istrinya sakit, “Selama ini dia itu wanita yang rasional sekali.”
Menteri
Perempuan Pertama
Kedekatan
Itje dengan Sjahrir terbawa hingga ke tanah air. Dialah yang menjadi tuan rumah
Perjanjian Linggarjati. Sebagaimana dikutip dalam situs sunangunungdjati.com,
ia mengusulkan Linggarjati, Kuningan, Jawa Barat, kepada Sjahrir sebagai
alternatif lokasi perundingan pada 25 Maret 1947. Pada saat itu, karena
Soekarno dan Hatta, sebagai Presiden dan Wakil Presiden, berkedudukan di Yogyakarta,
ibu kota sementara Republik itu ditawarkan sebagai tempat perundingan.
Sedangkan Belanda menginginkan Jakarta, wilayah yang mereka kuasai, sebagai
tempat berunding.
Buku
Peristiwa 3 Juli 1946, yang ditulis M. Yuanda Zara, juga menulis kedekatan Itje
dengan Sjahrir. Di sana diceritakan, sehabis sidang pleno Badan Pekerja Komite
Nasional Indonesia Pusat, Sjahrir berbincang dengan koleganya dari Partai
Sosialis, Sudarpo Sastrosatomo. Dalam perjalanan kereta api tersebut keduanya
mendiskusikan kemungkinan memasukkan perempuan dalam kabinet yang akan mereka
bentuk.
Nama Itje
kemudian muncul sebagai kandidat. Alasan penunjukkannya adalah karena Itje
merupakan wakil perempuan di pemerintahan. Perempuan dinilai sudah selayaknya
diberi andil sebagai penentu kebijakan, mengingat peran mereka yang telah
terbukti dalam merebut dan memperjuangkan kemerdekaan. Selain itu, Itje juga
termasuk anggota Komite Nasional Indonesia Pusat. Dengan berbagai alasan itu,
maka muncullah Maria Ulfah sebagai Menteri Sosial, sekaligus menteri pertama di
Indonesia.
Semasa Orde
Baru Itje terpilih sebagai anggota Dewan Pertimbangan Agung. Nama Santoso yang
semula melekat di belakang namanya karena ia dipersuting oleh Mr. Santoso, pada
1938. Namun, suami yang menjabat sebagai Sekretaris Jenderal Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan pada masa itu, gugur dalam Agresi Kedua Belanda.
Sepeninggal
Santoso, Itje menjanda selama 15 tahun. Ia kemudian menikah lagi dengan
Soebadio Sastrosatomo. Di luar pemerintahan, Itje pernah menjabat sebagai Ketua
Badan Sensor Film selama sebelas tahun. Ia juga menjadi salah satu perintis
berdirinya Korps Wanita Angkatan Darat (Kowad). Atas jasa-jasanya, pemerintah
menganugerahinya Satya Lencana Karya Satya Tingkat II, Satya Lencana Peringatan
Perjuangan Kemerdekaan, serta Bintang Mahaputra Utama Kelas III. (Rita Triana/ Miftakhul Huda)
Sumber: Rubrik "Jejak Konstitusi" Majalah Konstitusi No. 51-April 2011/ Foto: http://farm4.static.flickr.com/3138/2287811269_6a27a2c57d.jpg. Majalah bisa didownload pada: www.mahkamahkonstitusi.go.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar