Kamis, 22 Desember 2011

Memperkuat Demokrasi Konstitusional


Mahkamah Konstitusi (MK) dalam rangka ulang tahun ke-8, menyelenggarakan acara Simposium Internasional bertema Negara Demokrasi Konstitusional (Constitutional Democratic State), pada 11-13 Juli lalu di Hotel Shangri-La, Jakarta. Tema yang diambil dilatarbelakangi keinginan untuk mengetahui secara komprehensif perkembangan praktik di berbagai negara dalam mengimplementasikan dan memperkuat penerapan nilai-nilai demokrasi dan nomokrasi di masing-masing negara.

Ada tiga subtema dari tema besar ini, yaitu Peran MK atau Institusi Sejenis dalam Menguatkan Prinsip-Prinsip Demokrasi, Demokratisasi dalam Proses Pembentukan Undang-Undang, dan Mekanisme Checks and Balances Antarcabang Kekuasaan Negara.

Saat ini, kelemahan demokrasi dilengkapi dengan nomokrasi sebagai pilihan terbaik. Di dalam sambutannya, Sekretaris Jenderal MK, Janedjri M. Gaffar menyebutkan, Simposium Internasional diselenggarakan berdasarkan kenyataan demokrasi sebagai sebuah kebutuhan mutlak. “Demokrasi dipercaya sebagai sistem negara yang mampu mentransformasikan aspirasi dan kepentingan masyarakat untuk mewujudkan tujuan negara,” ujarnya.

Demokrasi harus dilaksanakan berdasarkan konstitusi, sebagai kesepakatan bersama seluruh masyarakat, yang lahir dari proses demokratis dan memainkan peran dalam mewujudkan dan mengarahkan demokrasi.

Penerapan prinsip-prinsip demokrasi konstitusional tersebut, lanjut Janedri, sebuah bangsa dan negara menempuh pengalaman dan praktik yang berbeda-beda. Oleh karena itu, berbagi informasi tentang pengalaman dan praktik demokrasi konstitusional, menurut dia, selain diperlukan, juga bermanfaat bagi setiap bangsa untuk belajar dari kelebihan dan kelemahan negara lain: agar kekuasaan kehakiman berperan optimal dalam menguatkan prinsip-prinsip demokrasi konstitusional, memastikan demokratisasi proses legislasi dan membangun tatanan lembaga-lembaga negara berjalan berdasarkan prinsip checks and balances.

Independensi Peradilan

Dalam pembukaan simposium yang berlangsung di Istana Negara, 11 Juli lalu itu, Ketua MK, Moh. Mahfud MD menyatakan komitmen MK untuk tetap menegakkan prinsip independensinya, sehingga tidak ada satu pihak pun yang bisa mengintervensi lembaga tersebut dalam mengambil keputusan. Presiden sekalipun, menurut dia, sama sekali tidak boleh melakukan intervensi, sekalipun sejumlah perkara lembaga tersebut terkait dengan kepentingan kepala negara. ”Prinsip independensi MK mari sama-sama kita jaga, apa pun alasannya,” ujar Mahfud.

Untuk menegakkan independensi tersebut, yang perlu dilakukan menyeleksi hakim konstitusi yang memiliki integritas tinggi, ada pengawasan yang efektif, serta pelaksanaan prosedur yang sesuai aturan yang akuntabel dan terbuka. Upaya untuk menegakkan independensi tersebut, menurut Mahfud, bukan karena ada tuntutan dari masyarakat semata, tetapi syarat negara hukum dan demokrasi. Ia memberi alasan, pengawasan menjadi kebutuhan yang alamiah dan substansif bagi hakim MK agar terhindar dari perilaku melenceng, dapat menegakkan martabat hakim, serta menciptakan keberpihakan pada hukum dan keadilan.

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sendiri menyatakan komitmennya mendorong MK sebagai lembaga kekuasaan kehakiman yang independen. Ia menyatakan keinginannya untuk selalu memberi teladan bagi lembaga tersebut. Kepala Negara mengatakan akan selalu menghormati dan melaksanakan setiap keputusan yang dikeluarkan oleh MK sebagai bagian dari penegakan aturan dan supremasi hukum. “Saya dorong MK tampil sebagai lembaga kekuasaan kehakiman yang independen,” ujarnya dalam pembukaan Simposium Internasional itu.

Di sisi lain, Presiden menyatakan kebanggaannya Indonesia telah dijadikan contoh oleh sejumlah negara yang pemerintahannya sedang melakukan transisi menuju negara demokrasi. Dengan capaian dan tantangan proses demokrasi yang sekarang dijalankan, menurut Kepala Negara RI tersebut, Indonesia terus menyimak dengan seksama perkembangan yang terjadi di negara lain, terutama di kawasan Afrika Utara dan Timur Tengah. “Kami merasa terhormat ketika disebut dalam berbagai kesempatan, sebagai model negara yang dapat dicontoh dalam transisi menuju demokrasi,” tutur Presiden.

Penerapan nilai demokrasi tersebut di Indonesia, menurut Presiden, terus menunjukkan kemajuan yang sangat cepat, sehingga Indonesia telah tampil menjadi negara demokrasi terbesar ketiga di dunia, setelah Amerika Serikat dan India. Presiden kemudian menyebutkan beberapa indikasi menunjukkan itu.

Demokrasi Selalu Tumbuh

Praktik demokrasi di tiap negara memang memiliki corak berbeda-beda karena berbagai faktor sejarah masing-masing negara. Selain itu, demokrasi dianggap sistem yang paling tahan uji. Namun, demokrasi mampu bertahan dan tahan uji, kata Francis Fukuyama sebagaimana dalam Kemenangan Kapitalisme dan Demokrasi Liberal (2001) karena dalam demokrasi bisa menjawab pengakuan individu. Inti demokrasi adalah pengakuan.

Namun, Antony Giddens dalam bukunya Beyond Left and Right (1994) menyatakan kemenangan demokrasi (liberal) dan sebagai kehancuran dan keruntuhan Uni Sovyet, adalah karena ketidakmampuan pemerintah dalam mengatasi berbagai persoalan yang terjadi dalam masyarakat modern. Jadi tantangan yang dihadapi semua negara demokrasi konstitusional sekarang adalah untuk mau belajar atas kelemahan praktik-praktik yang terjadi, jika ingin bertahan terhadap keruntuhan sebuah negara.

Simposium yang berlangsung selama tiga hari itu dibagi ke dalam tiga panel membahas praktik-praktik demokrasi di 23 negara. Pembagian ini berdasarkan tantangan nyata akan praktik negara demokrasi konstitusional. Pertama, kekuasaan kehakiman yang memiliki kewenangan mengawal dan menjaga konstitusi dapat berperan lebih optimal dalam menguatkan penerapan prinsip-prinsip demokrasi konstitusional. Selanjutnya, memastikan proses legislasi berlangsung secara demokratis, baik proses dan hasil yang akan dicapai. Tidak hanya prosedur, tetapi substansi dan cita-cita konstitusi harus mengalir dan menjadi jiwa undang-undang. Kemudian tantangan berikutnya adalah membangun tatanan dan hubungan lembaga-lembaga negara melalui penerapan mekanisme checks and balances untuk menguatkan prinsip-prinsip demokrasi dan nomokrasi.

Dari diskusi dapat ditarik benang merah terkait tema-tema demokratisasi legislasi, mekanisme checks and balances dan peran MK mengawal prinsip-prinsip demokrasi. Semua ini dalam rangka saling belajar dan menimba pengalaman masing-masing negara yang dapat dimanfaatkan untuk semakin memperkokoh sistem demokrasi itu sendiri agar berjalan sesuai rambu-rambu hukum dan konstitusi. Tanpa melalukan evaluasi atas kelemahan dirinya sendiri, maka demokrasi tidak hanya akan tumbuh, akan tetapi kita akan kembali ke belakang menjadi negara yang otoriter dan anti demokrasi. (Rita Triana/ Miftakhul Huda)

(Tulisan pengantar untuk Edisi Khusus Simposium Internasional Majalah Konstitusi No. 54-Juli 2011/ Foto: Humas MK. Prosiding simposium dapat didownload pada: www.mahkamahkonstitusi.go.id)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar