Selasa, 20 Desember 2011

Sang Pengawal Negara Demokrasi Konstitusional

Bagi Mahkamah Konstitusi (MK), peringatan hari jadi bukan sekadar perhelatan seremonial belaka. Untuk itu, satu bulan sebelum merayakan ulang tahunnya yang kedelapan, pada 11 hingga 13 Juli lalu, MK mengadakan kegiatan yang lebih bermakna, yakni simposium internasional dengan tema besar “Negara Demokrasi Konstitusional”.

Simposium yang diikuti oleh peserta dari 23 negara tersebut bukan hanya menunjukkan eksistensi MK Indonesia di mata dunia. Lebih dari itu, tema yang diusung dalam simposium merupakan isu global yang penting menyangkut cita-cita penyelenggaraan negara demokratis yang modern, yaitu negara demokrasi konstitusional.

Para pendiri bangsa Indonesia sendiri sudah sejak awal mencita-citakan Indonesia sebagai sebuah negara demokrasi konstitusional. Secara tersurat cita-cita itu terwujud dalam batang tubuh maupun Penjelasan Undang-undang Dasar (UUD) 1945, yang disahkan pada 18 Agustus 1945. Prinsip negara demokrasi itu, antara lain tercermin dalam Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 sebelum perubahan, yang menyebutkan bahwa kedaulatan adalah di tangan rakyat dan dilaksanakan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR).

Sedangkan pernyataan bahwa Negara Indonesia menganut sistem konstitusional terdapat dalam Penjelasan UUD 1945. Di sana disebutkan, “Negara berdasar atas hukum (rechtsstaat) bukan atas kekuasaan belaka (machtstaat) dan prinsip sistem konstitusional (berdasarkan atas konstitusi) tidak berdasar atas absolutisme.” Sayangnya, prinsip itu tidak dicantumkan secara jelas dalam pasal-pasal batang tubuh UUD 1945. Dalam kenyataannya, prinsip negara konstitusional itu pun tidak sepenuhnya dilaksanakan oleh rezim yang berkuasa pascakemerdekaan Indonesia hingga jatuhnya rezim orde baru pada 1997.

Perubahan UUD 1945 kemudian berupaya membuat koreksi atas penyelenggaraan negara otoritarian pada masa lampau, yakni dengan memberikan batasan-batasan kekuasaan yang jelas. Untuk menghindari penyimpangan, pembatasan itu sejak awal sudah dinyatakan dalam Pasal 1 ayat (2) Perubahan UUD 1945, dengan menyatakan bahwa sistem penyelenggaraan kekuasaan di Indonesia adalah demokrasi konstitusional. Secara lengkap ayat tersebut berbunyi, “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar.”

Prinsip demokrasi yang dimaksud terurai dalam kalimat, “kedaulatan berada di tangan rakyat.” Adapun prinsip konstitusional secara jelas terungkap dalam kalimat, “dilaksanakan menurut Undang-undang Dasar”. Dengan demikian pelaksanaan kedaulatan rakyat tidak lagi dijalankan sepenuhnya oleh sebuah lembaga negara, yaitu MPR, tetapi melalui cara-cara dan oleh berbagai lembaga negara yang ditentukan oleh UUD 1945. Ketentuan tersebut ditopang kembali oleh ayat 3 UUD 1945 perubahan, yang mempertegas prinsip negara hukum. Pasal 1 ayat (3) tersebut berbunyi, “Indonesia adalah negara hukum”.

Kedaulatan yang dimaksud di atas, menurut UUD 1945 perubahan, kemudian dilaksanakan oleh MPR, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Presiden, Mahkamah Agung (MA), Mahkamah Konstitusi (MK), Komisi Yudisial (KY), Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan lain-lain sesuai tugas dan wewenang yang diatur oleh UUD 1945. Adapun untuk menentukan Presiden dan Wakil Presiden, rakyat dapat secara langsung melaksanakan kedaulatannya melalui pemilihan umum.

Pada masa lalu, dengan dilaksanakannya pemilihan umum maka Indonesia sudah dianggap sebagai negara demokrasi. Namun, pemilu saja tidak cukup, karena diperlukan pembatasan kewenangan dan kekuasaan masing-masing lembaga negara, yang beberapa di antaranya—seperti eksekutif dan legislatif— dipilih langsung oleh rakyat.

Dalam UUD 1945 perubahan, kewenangan dan kekuasaan masing-masing lembaga negara diatur dan dirinci sedemikian rupa dan saling mengimbangi serta membatasi antara satu dengan yang lainnya berdasar ketentuan konstitusi. Inilah yang disebut sistem perimbangan kekuasaan atau mekanisme “check and balances”.

Sedangkan untuk mengontrol bagaimana sistem itu bekerja, hadirlah Mahkamah Konstitusi. Warga negara yang merasa hak-hak konstitusionalnya terlanggar, dapat secara langsung “menggugat” negara melalui Mahkamah ini.

Melalui Perubahan UUD 1945, Indonesia meninggalkan “supremasi parlemen” menjadi “supremasi konstitusi”. Di sinilah MK dituntut untuk mengawal pelaksanaan demokrasi konstitusional. Salah satu kewenangan MK adalah menguji undang-undang melalui mekanisme pengujian dengan konstitusi sebagai batu uji. Tanpa perlu dirinci satu per satu, di dalam banyak kasus, putusan MK telah terbukti berhasil menguraikan benang-kusut ketatanegaraan di Indonesia melalui wewenangnya sebagai negative legislator.

Itulah yang dilakukan MK selama delapan tahun berdiri. Oleh karena itu, wajar saja apabila banyak pihak, sebagaimana disampaikan Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono dalam pidato pembukaan simposium, menyebutkan bahwa MK berperan mengantarkan Indonesia dari negara transisi demokrasi menuju negara demokrasi. Meski terbilang singkat, pengalaman delapan tahun itu sungguh berharga untuk dibagikan dengan negara-negara di dunia dalam sebuah simposium.


Sumber: Editorial Majalah Konstitusi Edisi Khusus Simposium Internasional, No. 54-Juli 2011.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar