Mahkamah Konstitusi menyelenggarakan Seminar Nasional bertema ”Evaluasi
Pemilihan Umum Kepala Daerah” yang berlangsung pada 24-26 Januari 2012 di Hotel
Sultan, Jakarta. Tema besar ini dibahas dalam tiga sesi, yaitu sesi I dengan
subtema: ”Sengketa Pemilukada, Putusan Mahkamah Konstitusi, dan Pelaksanaan
Putusan Mahkamah Konstitusi”, sesi II dengan subtema ”Penyelenggaraan dan
Penyelesaian Pelanggaran Pemilukada, dan sesi III dengan subtema ”Pemilukada:
Kini dan Masa Datang”.
Dari materi yang disampaikan para narasumber, ada keresahan pemilihan
kepala daerah yang semula dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD)
dengan dipilih secara langsung oleh rakyat, politik uang (money politics) tidak serta merta terhapus begitu saja. Dahulu
politik uang yang dianggap berpotensi terjadi pada tingkat elit antara calon
kepala daerah dengan partai politik atau DPRD, dengan Pemilukada langsung
menyebar kepada pemilih langsung di berbagai daerah.
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan Djoko Suyanto dalam keynote speech-nya menegaskan masalah
politik uang ini. ”Pemilukada sebagai salah satu bentuk nyata perwujudan
demokrasi dalam pemerintahan di daerah, seyogyanya juga semakin mencerminkan
proses kematangan berdemokrasi. Walaupun demikian, implementasinya di lapangan
masih menunjukkan adanya fenomena yang merusak citra Pemilukada itu sendiri,
seperti money politic,” tegasnya.
Dalam makalah Hakim Konstitusi Akil Mochtar juga menyatakan money politics banyak dilakukan pasangan
calon dengan beragam cara, tidak hanya memberi uang atau barang. Inti tujuannya
untuk mempengaruhi pemilih agar memilih pasangan calon yang memberikan uang
atau barang tersebut. ”Salah satu contoh praktek beli suara ini adalah yang
terjadi pada pemilukada kotawaringin barat,” katanya.
Sesuai data Badan Pengawas Pemilihan Umum, sebagaimana disampaikan Bambang
Eka Cahya Widodo, Ketua Bawaslu yang menyampaikan materinya pada sesi II, bahwa
dari sisi pelaku pelanggaran tindak pidana, tidak hanya dilakukan pasangan
calon/ tim kampanye, tetapi juga oleh Pegawai Negeri Sipil dan penyelenggara
Pemilu. Untuk pelaku pasangan calon atau tim kampanye, model pelangarannya
salah satunya dengan money politics
melalui pemberian sejumlah uang tertentu. Lebih jauh, Ahli Hukum Pidana Pemilu
UI Topo Santoso menjelaskan bahwa demokrasi lokal telah dibajak dengan praktik
politik uang ini. Pemilukada langsung yang bertujuan untuk menekan angka politik
uang belum berhasil sempurna, bahkan semakin merata. ”Yang terjadi justru
pemerataan praktik.”
Dari praktik politik uang ini, memang menurut penulis, dari data Bawaslu
memang menyebutkan hal ini. Data Bawaslu 2011, menunjukkan politik uang tidak
hanya terjadi pada tahapan pemungutan suara tetapi juga terjadi pada tahapan
lain, misalkan pada tahapan pemutakhiran data, kampanye, masa tenang, dan
pemungutan dan penghitungan suara. Sedangkan data Bawaslu tahun sebelumnya (2010),
juga menunjukkan gejala sama, terjadi pada tahapan kampanye, masa tenang dan
pemungutan dan penghitungan suara. Jumlah pelanggaran money politics pada 2011, yakni sebesar 367 kasus, dengan bentuk
bujukan untuk memilih pasangan tertentu dengan imbalan uang sebesar Rp. 20 ribu
sampai Rp. 5 juta. Selain uang, bentuknya bisa berupa hadiah/ doorprize, pakaian, dan bahan makanan
pokok (minyak goreng, gula, mie instan).
Menurut penulis, sesuai putusan MK sendiri berdasarkan fakta yang terbukti
di persidangan, menunjukkan politik uang dilakukan dengan cara beragam,
misalkan dalam bentuk kontrak program yang terjadi antara pasangan calon dengan
asosiasi kepala desa yang terjadi di Jawa Timur. Sedangkan dalam kasus Gresik,
praktik money politics dilakukan pada
saat proses pemungutan suara belum ditutup dan adanya sosialisasi penggunaan
pupuk yang didalamnya terdapat arahan dan ajakan untuk memilih pihak tertentu
dan pembagian kaos bergambar calon tertentu.
Untuk kasus Kotawaringin Barat, dilakukan secara meluas di seluruh
kecamatan. Bahkan, di daerah Konawe Selatan, terdapat model pendistribusian
SPPT gratis, bibit pertanian, pembagian Raskin gratis, KTP gratis, pembebasan
Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) yang dibayarkan Tim Pemenangan pasangan calon. Di
Konawe Selatan, juga terbukti adanya pembagian uang di rumah jabatan bupati
oleh pasangan tertentu. Pembayaran PBB juga terjadi di Konawe Utara, dan model KTP
gratis juga terjadi di Minahasa Utara, sedangkan model yang menarik yaitu
terjadi di Manado, Raskin diberikan kepada pemilih yang akan memilihnya dan
melalui jalur sosialisasi melalui aparat birokrasi. Bentuk money politics dilakukan juga dalam
bentuk pembagian uang, kaos, sarung, dan beras di Kota
Surabaya . Untuk
kota Tangerang Selatan,
praktik money politics dilakukan sporadis
dengan pembagian uang dan atau sembako.
Praktik-praktik ini semakin akut
dengan mekanisme penegakan hukum tidak didesain secara tegas. Dalam makalahnya,
Topo santoso mengatakan dengan batasan waktu yang terbatas, politik uang tidak
akan bisa ditangani. Oleh karenanya, Topo mengusulkan masa kedaluarsa politik
uang perlu diperpanjang. ”Selama kandidat terpilih menjabat, maka sepanjang itu
dugaan politik uang dapat diproses,” tulis Topo dalam makalahnya. Mekanisme sanksi,
kata Topo perlu diperberat. Dengan membuat kategori politik uang, maka kepala
daerah yang terpilih dengan cara-cara curang tersebut dapat diturunkan dari
jabatannya.
Sedangkan Didik Supriyanto,
mengatakan praktik politik uang, berpeluang terjadi misalkan dengan peluang banyaknya
pasangan calon karena metode pencalonan
berdasarkan UU No.32 Tahun 2004, maka partai-partai non-parlemen yang
dimungkinkan untuk mencalonkan dengan dukungan suara Pemilu, memiliki bergain ing position yang sama-sama kuat
di hadapan pasangan calon. Partai politik nyaris tidak bisa dikontrol dan
besaran uang memainkan peran penting. Ketika deal harga pencalonan tidak tercapai, partai-partai bisa mencabut
dukungan, maka akan menimbulkan masalah tersendiri, yaitu ketegangan dan
keributan politik.
Namun, pada dasarnya persoalan
money politics, dalam pengaturannya
sendiri tidak diatur secara jelas dan tegas, apa itu money politic. Baik menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
maupun UU yang mengatur tindak pidana pemilu, sejak UU No.7 Tahun 1953 sampai
dengan UU No. 10 Tahun 2008, pada dasarnya mengatur terbatas, yakni aturan suap menyuap. Bahkan di
semua UU tersebut pada dasarnya copy
paste dari Pasal 149 KUHP. Terkait dengan menjanjikan imbalan dengan maksud
memperoleh dukungan pencalonan Dewan Perwakilan Daerah, diatur dalam UU 12
Tahun 2003 yang mengancam pidana. Ketentuan ini pada dasarnya lebih luas, tidak
hanya saat pemungutan suara. Sedangkan UU No. 10 Tahun 2008 mengatur ”memberikan
atau menjanjikan uang atau materi lainnya untuk memperoleh dukungan bagi
pencalonan anggota DPD” dan suap-menyuap yang dilakukan masa kampanye dan
pemungutan suara diancam dengan sanksi pidana.
Ini semua mengatur mengenai Pemilu Legialatif, kemudian bagaimana Pemilukada? Pemilukada langsung yang dilakukan sejak 2005 pada dasarnya tindak
pidananya tetap mengacu kepada UU No.32 Tahun 2004. Sepengetahuan penulis, hal ini hanya diatur dalam tahapan kampanye yang menyebutkan ”Pasangan calon dan/atau
tim kampanye dilarang menjanjikan dan/atau memberikan uang atau materi lainnya
untuk mempengaruhi pemilih”, dan jika terbukti berdasar putusan pengadilan yang
telah mempunyai kekuatan hukum tetap,
menurut UU ini dikenai sanksi pembatalan sebagai pasangan calon oleh DPRD.
Sedangkan ketentuan lain yaitu, ”Setiap orang yang dengan sengaja memberi atau
menjanjikan uang atau materi lainnya kepada seseorang supaya tidak menggunakan
hak pilihnya, atau memilih Pasangan calon tertentu, atau menggunakan hak
pilihnya dengan cara tertentu sehingga surat suaranya menjadi tidak sah, diancam
dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) bulan dan paling lama 12 (dua
belas) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah) dan paling banyak Rp 10.000.000,00
(sepuluh juta rupiah)”
Dengan pengaturan terbatas ini, terutama mengenai Pemilukada maka memang
diperlukan penyempurnaan regulasi terkait beragamnya bentuk pelanggaran,
khususnya money politics yang
merugikan tidak hanya pasangan calon, tetapi masyarakat pemilih, dengan terpilihnya calon yang susah diharapkan berpihak kepada rakyat. UU
Pemberantasan Tindak Korupsi bisa digunakan sebagai acuan, dan suap-menyuap
lebih diperluas tidak hanya pada saat pemungutan suara dan tahapan kampanye.
Suap menyuap ini semestinya harus mencakup segala bentuk dan model yang tidak hanya
sebatas memberikan sejumlah uang, bisa barang atau materi, atau janji-janji dan
lain sebagainya. Terkait pelanggaran yang dilakukan oleh calon incumbent, atau yang melibatkan PNS atau
penggunaan fasilitas atau jabatan negara/ pemerintah, UU harus mengatur lebih
jelas perbuatan dan ancaman pidananya, tidak hanya sekedar sanksi
sebagaimana diatur dalam disiplin PNS, karena terbukti bahwa peluang
pelanggaran selama ini terbuka lebar dilakukan oleh calon incumbent.
Ada beberapa usulan yang menarik dari narasumber, yaitu bahwa pelanggaran
tindak pidana harus tetap diusut meskipun telah memasuki masa kedaluarsa dengan
menggunakan aturan KUHP. Money politics
tepat diproses dengan kendala masa penanganannya yang singkat dan jika terbukti
dilakukan, maka memang seharusnya tidak hanya membatalkan pencalonannya, tetapi
membatalkan keterpilihannya. Jika praktik ini dilakukan dalam jumlah besar dan
penyebaran daerah yang luas, maka harus ada mekanisme untuk membatalkannya.
Dari beragam bentuk money politics
sesuai data-data yang laporkan Bawaslu dan MK, pada dasarnya money politics ada yang dilakukan secara
sporadis dan dalam lingkup kecil dan dilakukan secara sistematis, terstruktur dan masif. MK sendiri, sesuai apa yang dikatakan Mahfud MD dalam materi kunci seminar ini, mengatakan bahwa money politics bisa membatalkan hasil
Pemilukada kalau terjadi secara sistematis, terstuktur dan masif. ”Sedangkan money politics yang bersifat sporadis
tidak bisa membatalkan hasil Pemilukada,” terangnya. Hal sama dikemukakan Akil
Mochtar dalam makalahnya, bahwa kategori pelanggaran ini membahayakan dan
mengancam proses demokrasi dan merusak kehendak rakyat dalam menentukan
pilihannya.
Bukan berarti dengan tidak dibatalkannya hasil Pemilukada, maka money politics tidak diproses meskipun
tidak dilakukan secara sistematis, terstuktur dan masif. Kepolisian tetap memiliki
tugas memproses sesuai bukti-bukti yang ada dan menghukumnya jika terbukti. Asas persamaan di depan hukum harus tetap diberlakukan, dan
tidak ada pengecualian hukuman meskipun pelaku telah berkuasa (kembali). Tetapi
masalahnya, bagaimana jika pasangan setelah diangkat dan disumpah sebagai seseorang yang memenangkan proses demokrasi lokal, kemudian dijatuhi
hukuman atas pelanggaran money politics?
Terasa gak pas kan, meskipun dengan politik uang terbukti berpengaruh
besar berpalingnya seseorang dari memilih calon sesuai pilihan bebasnya kemudian
memilih calon pembajak demokrasi ini? Apakah persoalan money politics ini kita mundur ke belakang? Apakah akar masalah money politics ini karena Pemilukada langsung? (Bersambung)
* Penulis adalah Redaktur Majalah Konstitusi, tulisan ini merupakan pendapat pribadi.
Sumber foto: indopajak.com
* Penulis adalah Redaktur Majalah Konstitusi, tulisan ini merupakan pendapat pribadi.
Sumber foto: indopajak.com
kalau Tim Sukses bagi bagi komper atau mesin pompa, atau tn atau bersifat barang untuk umum, apakah termausk money politic
BalasHapusPemberian pompa untuk mempengaruhi pemilih termasuk politik uang dalam hukum positif dengan syarat: 1) dilakukan pada saat kampanye dan 2) terbukti dilakukan oleh tim sukses atau calon (Pasal 73 UU 1/2015 tentang Penetapan Perppu 1/2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang). Calon dapat dibatalkan sebagai peserta pilkada dan dipidana jika terbukti bersalah melakukan politik uang tersebut berdasarkan putusan pengadilan pidana yang sudah inkracht. Mekanisme penyelesaiannya sesuai UU Pilkada: pengadilan pidana. Masalahnya, apakah semua politik uang berakibat pembatalan calon? Menurut saya, parameter MK dalam memutus soal politik uang dapat digunakan Bawaslu atau lembaga lain yang berkompeten dalam menentukan politik uang yang dapat membatalkan calon. MK umumnya membatalkan hasil apabila terjadi pelanggaran politik uang memenuhi pelanggaran sistematis, terstuktur, dan masif (STM) yang membahayakan demokrasi. Apabila dilakukan sporadis pelakunya dipidana dan tidak membatalkan calon maupun hasil pilkada di daerah terjadinya politik uang. Contohnya saja, tidak mungkin dilakukan pembatalan jika politik uang hanya dilakukan pada 1 orang/keluarga dengan jumlah kecil, padahal di daerah lain tidak ada politik uang sama sekali. Cukup dipidana saja pelakunya. Ini menurut pandangan saya loh Pak, secara normatif dan menurut yurisprudensi MK. Terima kasih Pak.
BalasHapusPemberian pompa untuk mempengaruhi pemilih termasuk politik uang dalam hukum positif dengan syarat: 1) dilakukan pada saat kampanye dan 2) terbukti dilakukan oleh tim sukses atau calon (Pasal 73 UU 1/2015 tentang Penetapan Perppu 1/2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang). Calon dapat dibatalkan sebagai peserta pilkada dan dipidana jika terbukti bersalah melakukan politik uang tersebut berdasarkan putusan pengadilan pidana yang sudah inkracht. Mekanisme penyelesaiannya sesuai UU Pilkada: pengadilan pidana. Masalahnya, apakah semua politik uang berakibat pembatalan calon? Menurut saya, parameter MK dalam memutus soal politik uang dapat digunakan Bawaslu atau lembaga lain yang berkompeten dalam menentukan politik uang yang dapat membatalkan calon. MK umumnya membatalkan hasil apabila terjadi pelanggaran politik uang memenuhi pelanggaran sistematis, terstuktur, dan masif (STM) yang membahayakan demokrasi. Apabila dilakukan sporadis pelakunya dipidana dan tidak membatalkan calon maupun hasil pilkada di daerah terjadinya politik uang. Contohnya saja, tidak mungkin dilakukan pembatalan jika politik uang hanya dilakukan pada 1 orang/keluarga dengan jumlah kecil, padahal di daerah lain tidak ada politik uang sama sekali. Cukup dipidana saja pelakunya. Ini menurut pandangan saya loh Pak, secara normatif dan menurut yurisprudensi MK. Terima kasih Pak.
BalasHapus