Minggu, 29 Januari 2012

Pemilukada Diwarnai Politik Uang: Batalkah Hasil Pemilukada? (Catatan Pertama)

Oleh Miftakhul Huda*

Mahkamah Konstitusi menyelenggarakan Seminar Nasional bertema ”Evaluasi Pemilihan Umum Kepala Daerah” yang berlangsung pada 24-26 Januari 2012 di Hotel Sultan, Jakarta. Tema besar ini dibahas dalam tiga sesi, yaitu sesi I dengan subtema: ”Sengketa Pemilukada, Putusan Mahkamah Konstitusi, dan Pelaksanaan Putusan Mahkamah Konstitusi”, sesi II dengan subtema ”Penyelenggaraan dan Penyelesaian Pelanggaran Pemilukada, dan sesi III dengan subtema ”Pemilukada: Kini dan Masa Datang”.

Dari materi yang disampaikan para narasumber, ada keresahan pemilihan kepala daerah yang semula dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dengan dipilih secara langsung oleh rakyat, politik uang (money politics) tidak serta merta terhapus begitu saja. Dahulu politik uang yang dianggap berpotensi terjadi pada tingkat elit antara calon kepala daerah dengan partai politik atau DPRD, dengan Pemilukada langsung menyebar kepada pemilih langsung di berbagai daerah.

Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan Djoko Suyanto dalam keynote speech-nya menegaskan masalah politik uang ini. ”Pemilukada sebagai salah satu bentuk nyata perwujudan demokrasi dalam pemerintahan di daerah, seyogyanya juga semakin mencerminkan proses kematangan berdemokrasi. Walaupun demikian, implementasinya di lapangan masih menunjukkan adanya fenomena yang merusak citra Pemilukada itu sendiri, seperti money politic,” tegasnya.

Dalam makalah Hakim Konstitusi Akil Mochtar juga menyatakan money politics banyak dilakukan pasangan calon dengan beragam cara, tidak hanya memberi uang atau barang. Inti tujuannya untuk mempengaruhi pemilih agar memilih pasangan calon yang memberikan uang atau barang tersebut. ”Salah satu contoh praktek beli suara ini adalah yang terjadi pada pemilukada kotawaringin barat,” katanya.

Sesuai data Badan Pengawas Pemilihan Umum, sebagaimana disampaikan Bambang Eka Cahya Widodo, Ketua Bawaslu yang menyampaikan materinya pada sesi II, bahwa dari sisi pelaku pelanggaran tindak pidana, tidak hanya dilakukan pasangan calon/ tim kampanye, tetapi juga oleh Pegawai Negeri Sipil dan penyelenggara Pemilu. Untuk pelaku pasangan calon atau tim kampanye, model pelangarannya salah satunya dengan money politics melalui pemberian sejumlah uang tertentu. Lebih jauh, Ahli Hukum Pidana Pemilu UI Topo Santoso menjelaskan bahwa demokrasi lokal telah dibajak dengan praktik politik uang ini. Pemilukada langsung yang bertujuan untuk menekan angka politik uang belum berhasil sempurna, bahkan semakin merata. ”Yang terjadi justru pemerataan praktik.”

Dari praktik politik uang ini, memang menurut penulis, dari data Bawaslu memang menyebutkan hal ini. Data Bawaslu 2011, menunjukkan politik uang tidak hanya terjadi pada tahapan pemungutan suara tetapi juga terjadi pada tahapan lain, misalkan pada tahapan pemutakhiran data, kampanye, masa tenang, dan pemungutan dan penghitungan suara. Sedangkan data Bawaslu tahun sebelumnya (2010), juga menunjukkan gejala sama, terjadi pada tahapan kampanye, masa tenang dan pemungutan dan penghitungan suara. Jumlah pelanggaran money politics pada 2011, yakni sebesar 367 kasus, dengan bentuk bujukan untuk memilih pasangan tertentu dengan imbalan uang sebesar Rp. 20 ribu sampai Rp. 5 juta. Selain uang, bentuknya bisa berupa hadiah/ doorprize, pakaian, dan bahan makanan pokok (minyak goreng, gula, mie instan).

Menurut penulis, sesuai putusan MK sendiri berdasarkan fakta yang terbukti di persidangan, menunjukkan politik uang dilakukan dengan cara beragam, misalkan dalam bentuk kontrak program yang terjadi antara pasangan calon dengan asosiasi kepala desa yang terjadi di Jawa Timur. Sedangkan dalam kasus Gresik, praktik money politics dilakukan pada saat proses pemungutan suara belum ditutup dan adanya sosialisasi penggunaan pupuk yang didalamnya terdapat arahan dan ajakan untuk memilih pihak tertentu dan pembagian kaos bergambar calon tertentu.

Untuk kasus Kotawaringin Barat, dilakukan secara meluas di seluruh kecamatan. Bahkan, di daerah Konawe Selatan, terdapat model pendistribusian SPPT gratis, bibit pertanian, pembagian Raskin gratis, KTP gratis, pembebasan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) yang dibayarkan Tim Pemenangan pasangan calon. Di Konawe Selatan, juga terbukti adanya pembagian uang di rumah jabatan bupati oleh pasangan tertentu. Pembayaran PBB juga terjadi di Konawe Utara, dan model KTP gratis juga terjadi di Minahasa Utara, sedangkan model yang menarik yaitu terjadi di Manado, Raskin diberikan kepada pemilih yang akan memilihnya dan melalui jalur sosialisasi melalui aparat birokrasi. Bentuk money politics dilakukan juga dalam bentuk pembagian uang, kaos, sarung, dan beras di Kota Surabaya. Untuk kota Tangerang Selatan, praktik money politics dilakukan sporadis dengan pembagian uang dan atau sembako.

Praktik-praktik ini semakin akut dengan mekanisme penegakan hukum tidak didesain secara tegas. Dalam makalahnya, Topo santoso mengatakan dengan batasan waktu yang terbatas, politik uang tidak akan bisa ditangani. Oleh karenanya, Topo mengusulkan masa kedaluarsa politik uang perlu diperpanjang. ”Selama kandidat terpilih menjabat, maka sepanjang itu dugaan politik uang dapat diproses,” tulis Topo dalam makalahnya. Mekanisme sanksi, kata Topo perlu diperberat. Dengan membuat kategori politik uang, maka kepala daerah yang terpilih dengan cara-cara curang tersebut dapat diturunkan dari jabatannya.

Sedangkan Didik Supriyanto, mengatakan praktik politik uang, berpeluang terjadi misalkan dengan peluang banyaknya pasangan calon karena metode pencalonan  berdasarkan UU No.32 Tahun 2004, maka partai-partai non-parlemen yang dimungkinkan untuk mencalonkan dengan dukungan suara Pemilu, memiliki bergain ing position yang sama-sama kuat di hadapan pasangan calon. Partai politik nyaris tidak bisa dikontrol dan besaran uang memainkan peran penting. Ketika deal harga pencalonan tidak tercapai, partai-partai bisa mencabut dukungan, maka akan menimbulkan masalah tersendiri, yaitu ketegangan dan keributan politik. 

Namun, pada dasarnya persoalan money politics, dalam pengaturannya sendiri tidak diatur secara jelas dan tegas, apa itu money politic. Baik menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) maupun UU yang mengatur tindak pidana pemilu, sejak UU No.7 Tahun 1953 sampai dengan UU No. 10 Tahun 2008, pada dasarnya mengatur terbatas, yakni aturan suap menyuap. Bahkan di semua UU tersebut pada dasarnya copy paste dari Pasal 149 KUHP. Terkait dengan menjanjikan imbalan dengan maksud memperoleh dukungan pencalonan Dewan Perwakilan Daerah, diatur dalam UU 12 Tahun 2003 yang mengancam pidana. Ketentuan ini pada dasarnya lebih luas, tidak hanya saat pemungutan suara. Sedangkan UU No. 10 Tahun 2008 mengatur ”memberikan atau menjanjikan uang atau materi lainnya untuk memperoleh dukungan bagi pencalonan anggota DPD” dan suap-menyuap yang dilakukan masa kampanye dan pemungutan suara diancam dengan sanksi pidana.

Ini semua mengatur mengenai Pemilu Legialatif, kemudian bagaimana Pemilukada? Pemilukada langsung yang dilakukan sejak 2005 pada dasarnya tindak pidananya tetap mengacu kepada UU No.32 Tahun 2004. Sepengetahuan penulis, hal ini hanya diatur dalam tahapan kampanye yang menyebutkan ”Pasangan calon dan/atau tim kampanye dilarang menjanjikan dan/atau memberikan uang atau materi lainnya untuk mempengaruhi pemilih”, dan jika terbukti berdasar putusan pengadilan yang telah mempunyai  kekuatan hukum tetap, menurut UU ini dikenai sanksi pembatalan sebagai pasangan calon oleh DPRD. Sedangkan ketentuan lain yaitu, ”Setiap orang yang dengan sengaja memberi atau menjanjikan uang atau materi lainnya kepada seseorang supaya tidak menggunakan hak pilihnya, atau memilih Pasangan calon tertentu, atau menggunakan hak pilihnya dengan cara tertentu sehingga surat suaranya menjadi tidak sah, diancam dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) bulan dan paling lama 12 (dua belas) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp 1.000.000,00 (satu juta  rupiah) dan paling banyak Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah)”

Dengan pengaturan terbatas ini, terutama mengenai Pemilukada maka memang diperlukan penyempurnaan regulasi terkait beragamnya bentuk pelanggaran, khususnya money politics yang merugikan tidak hanya pasangan calon, tetapi masyarakat pemilih, dengan terpilihnya calon yang susah diharapkan berpihak kepada rakyat. UU Pemberantasan Tindak Korupsi bisa digunakan sebagai acuan, dan suap-menyuap lebih diperluas tidak hanya pada saat pemungutan suara dan tahapan kampanye. Suap menyuap ini semestinya harus mencakup segala bentuk dan model yang tidak hanya sebatas memberikan sejumlah uang, bisa barang atau materi, atau janji-janji dan lain sebagainya. Terkait pelanggaran yang dilakukan oleh calon incumbent, atau yang melibatkan PNS atau penggunaan fasilitas atau jabatan negara/ pemerintah, UU harus mengatur lebih jelas perbuatan dan ancaman pidananya, tidak hanya sekedar sanksi sebagaimana diatur dalam disiplin PNS, karena terbukti bahwa peluang pelanggaran selama ini terbuka lebar dilakukan oleh calon incumbent.

Ada beberapa usulan yang menarik dari narasumber, yaitu bahwa pelanggaran tindak pidana harus tetap diusut meskipun telah memasuki masa kedaluarsa dengan menggunakan aturan KUHP. Money politics tepat diproses dengan kendala masa penanganannya yang singkat dan jika terbukti dilakukan, maka memang seharusnya tidak hanya membatalkan pencalonannya, tetapi membatalkan keterpilihannya. Jika praktik ini dilakukan dalam jumlah besar dan penyebaran daerah yang luas, maka harus ada mekanisme untuk membatalkannya.

Dari beragam bentuk money politics sesuai data-data yang laporkan Bawaslu dan MK, pada dasarnya money politics ada yang dilakukan secara sporadis dan dalam lingkup kecil dan dilakukan secara sistematis, terstruktur dan masif. MK sendiri, sesuai apa yang dikatakan Mahfud MD dalam materi kunci seminar ini, mengatakan bahwa money politics bisa membatalkan hasil Pemilukada kalau terjadi secara sistematis, terstuktur dan masif. ”Sedangkan money politics yang bersifat sporadis tidak bisa membatalkan hasil Pemilukada,” terangnya. Hal sama dikemukakan Akil Mochtar dalam makalahnya, bahwa kategori pelanggaran ini membahayakan dan mengancam proses demokrasi dan merusak kehendak rakyat dalam menentukan pilihannya.

Bukan berarti dengan tidak dibatalkannya hasil Pemilukada, maka money politics tidak diproses meskipun tidak dilakukan secara sistematis, terstuktur dan masif. Kepolisian tetap memiliki tugas memproses sesuai bukti-bukti yang ada dan menghukumnya jika terbukti. Asas persamaan di depan hukum harus tetap diberlakukan, dan tidak ada pengecualian hukuman meskipun pelaku telah berkuasa (kembali). Tetapi masalahnya, bagaimana jika pasangan setelah diangkat dan disumpah sebagai seseorang yang memenangkan proses demokrasi lokal, kemudian dijatuhi hukuman atas pelanggaran money politics? Terasa gak pas kan, meskipun dengan politik uang terbukti berpengaruh besar berpalingnya seseorang dari memilih calon sesuai pilihan bebasnya kemudian memilih calon pembajak demokrasi ini? Apakah persoalan money politics  ini kita mundur ke belakang? Apakah akar masalah money politics ini karena Pemilukada langsung? (Bersambung)


* Penulis adalah Redaktur Majalah Konstitusi, tulisan ini merupakan pendapat pribadi.


Sumber foto: indopajak.com

3 komentar:

  1. kalau Tim Sukses bagi bagi komper atau mesin pompa, atau tn atau bersifat barang untuk umum, apakah termausk money politic

    BalasHapus
  2. Pemberian pompa untuk mempengaruhi pemilih termasuk politik uang dalam hukum positif dengan syarat: 1) dilakukan pada saat kampanye dan 2) terbukti dilakukan oleh tim sukses atau calon (Pasal 73 UU 1/2015 tentang Penetapan Perppu 1/2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang). Calon dapat dibatalkan sebagai peserta pilkada dan dipidana jika terbukti bersalah melakukan politik uang tersebut berdasarkan putusan pengadilan pidana yang sudah inkracht. Mekanisme penyelesaiannya sesuai UU Pilkada: pengadilan pidana. Masalahnya, apakah semua politik uang berakibat pembatalan calon? Menurut saya, parameter MK dalam memutus soal politik uang dapat digunakan Bawaslu atau lembaga lain yang berkompeten dalam menentukan politik uang yang dapat membatalkan calon. MK umumnya membatalkan hasil apabila terjadi pelanggaran politik uang memenuhi pelanggaran sistematis, terstuktur, dan masif (STM) yang membahayakan demokrasi. Apabila dilakukan sporadis pelakunya dipidana dan tidak membatalkan calon maupun hasil pilkada di daerah terjadinya politik uang. Contohnya saja, tidak mungkin dilakukan pembatalan jika politik uang hanya dilakukan pada 1 orang/keluarga dengan jumlah kecil, padahal di daerah lain tidak ada politik uang sama sekali. Cukup dipidana saja pelakunya. Ini menurut pandangan saya loh Pak, secara normatif dan menurut yurisprudensi MK. Terima kasih Pak.

    BalasHapus
  3. Pemberian pompa untuk mempengaruhi pemilih termasuk politik uang dalam hukum positif dengan syarat: 1) dilakukan pada saat kampanye dan 2) terbukti dilakukan oleh tim sukses atau calon (Pasal 73 UU 1/2015 tentang Penetapan Perppu 1/2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang). Calon dapat dibatalkan sebagai peserta pilkada dan dipidana jika terbukti bersalah melakukan politik uang tersebut berdasarkan putusan pengadilan pidana yang sudah inkracht. Mekanisme penyelesaiannya sesuai UU Pilkada: pengadilan pidana. Masalahnya, apakah semua politik uang berakibat pembatalan calon? Menurut saya, parameter MK dalam memutus soal politik uang dapat digunakan Bawaslu atau lembaga lain yang berkompeten dalam menentukan politik uang yang dapat membatalkan calon. MK umumnya membatalkan hasil apabila terjadi pelanggaran politik uang memenuhi pelanggaran sistematis, terstuktur, dan masif (STM) yang membahayakan demokrasi. Apabila dilakukan sporadis pelakunya dipidana dan tidak membatalkan calon maupun hasil pilkada di daerah terjadinya politik uang. Contohnya saja, tidak mungkin dilakukan pembatalan jika politik uang hanya dilakukan pada 1 orang/keluarga dengan jumlah kecil, padahal di daerah lain tidak ada politik uang sama sekali. Cukup dipidana saja pelakunya. Ini menurut pandangan saya loh Pak, secara normatif dan menurut yurisprudensi MK. Terima kasih Pak.

    BalasHapus