“Apakah putusan
praperadilan dapat dibanding pasca putusan Mahkamah Konstitusi?” Pertanyaan ini
dikemukakan teman pengacara di Jawa Timur, bagaimana implikasi putusan MK yang telah
menyatakan inkonstitusional dan tidak mengikat terhadap Pasal 83 ayat (2) UU Nomor
8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana atau dibiasa dikenal Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana.
Sebuah putusan praperadilan
dalam KUHAP secara tegas ditentukan tidak dapat diajukan dibanding mengenai: (1)
sah atau atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan,dan
penghentian penuntutan, (2) mengenai permintaan ganti kerugian atau
rehabilitasi yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau
penuntutan. Akan tetapi Pasal 83 ayat (2) KUHAP sendiri menegasikan dengan secara
khusus menyebut putusan praperadilan yang menyatakan sah atau tidaknya penghentian
penyidikan atau penuntutan dapat meminta putusan akhir ke pengadilan tinggi.
Sekilas apabila kita belum
terbiasa membaca putusan MK, kita dihadapkan kesulitan memahami implikasi
putusan yang besar dari lembaga peradilan kontitusi terhadap praktik hukum. Dengan
dinyatakan pasal tersebut tidak mengikat, pertanyaan muncul bagaimana dengan
nasib perkara-perkara yang masih dalam proses banding di pengadilan negeri,
apakah masih bisa diajukan banding? Jika kita jeli membaca putusan MK, pasal-pasal
lain yang tidak dinyatakan mengikat terkait praperadilan pada dasarnya masih
berlaku, baik itu mengenai alasan bisa mengajukan banding, siapa yang berhak
mengajukan, dan kepada siapa, dan lembaga mana yang berwenang mengadiilinya. Selain
permohonan pra praperadilan yang dapat digunakan terhadap alasan ini, tidak
semua pihak dapat mengajukan, karena harus memenuhi syarat yang ditetapkan.
Selanjutnya dari
pertimbangan putusan setidaknya masalah pokok yang harus dijawab yang nantinya
menjernihkan pemahaman kita akan masalah praperadilan dan impikasinya bagi
praktik hukum. Pertama, apakah tujuan
praperadilan dalam sistem peradilan Indonesia. Kedua, apakah pengecualian putusan yang dapat dibanding telah membedakan
kedudukan warga negara di dalam hukum dan pemerintahan dan melanggar kepastian
hukum yang adil?
Terhadap masalah
pertama, secara jelas KUHAP membawa berbagai perubahan penting. Setidaknya memberikan
perlindungan kepada hak asasi manusia dan menempatkan tersangka, terdakwa, dan
terpidana sebagai subjek hukum, sebagai manusia yang mempunyai
harkat, martabat, dan
kedudukan yang sama di hadapan hukum. Sistem praperadilan merupakan salah satu
alat kontrol akan kemungkinan tindakan sewenang-wenang dari aparat penegak
hukum, baik dalam proses penangkapan, penggeledahan, penyitaan, penyidikan,
penuntutan, penghentian penyidikan dan penghentian penuntutan, dengan atau
tanpa disertai dengan permintaan ganti kerugian dan/atau rehabilitasi.
“Sistem praperadilan
yang diatur dalamPasal 77 sampai dengan Pasal 83 KUHAP adalah untuk kepentingan
pengawasan secara horizontal terhadap hak-hak tersangka/terdakwa dalam pemeriksaan
pendahuluan (vide Penjelasan Pasal 80
KUHAP). Kehadiran KUHAP dimaksudkan untuk mengoreksi pengalaman praktik
peradilan masa lalu, di bawah aturan HIR, yang tidak sejalan dengan
perlindungan dan penegakan hak asasi manusia. Selain itu, KUHAP memberikan
perlindungan terhadap hak asasi manusia bagi tersangka atau terdakwa untuk
membela kepentingannya di dalam proses hukum,” tulis Mahkamah dalam
pertimbangan putusan dengan nomor 65/PUU-IX/2011
ini.
Setiap upaya paksa yang
dilakukan penegak hukum dengan adanya upaya praperadilan dengan asumsi tidak
semua tindakan upaya paksa yang pada dasarnya merupakan perampasan HAM berjalan
sesuai peraturan hukum. Apalagi praktik zaman dahulu yang memperlakukan
tertuduh dengan seweanang-wenang, padahal belum tentu bersalah. Pengadilan
merupakan badan peradilan tingkat pertama yang menurut MK akan mengontrol,
menilai, menguji, dan mempertimbangkan secara yuridis, apakah dalam tindakan
upaya paksa terhadap tersangka/terdakwa oleh penyelidik/penyidik atau penuntut
umum telah sesuai dengan KUHAP.
Namun, praperadilan
bukan mekanisme mengadili, memeriksa dan memutus mengenai masalah pokok yang
disangkakan atau dituduhkan (objek perkara), maka pemeriksaannya dalam praperadilan
harus dilakukan secara cepat, karena proses pemeriksaan pokok perkara mengenai
pelanggaran pidanya sendiri sedang berjalan, bahkan bisa berkejar-kejaran. KUHAP
sendiri membangun peradilan praperadilan sebagai peradilan yang cepat dengan
bukti sebagai berikut: (1) paling lambat tiga hari setelah permohonan hakim
tunggal yang ditetapkan mengadili praperadilan yang harus menetapkan hari sidang,
(2) paling lama tujuh hari, hakim sudah harus menjatuhkan putusan, (3) apabila suatu
perkara sudah mulai diperiksa oleh pengadilan negeri, sedangkan permintaan mengenai
praperadilan belum selesai, maka praperadilan tersebut gugur. Selain itu, (4) putusan
praperadilan tidak dapat dimintakan banding, kecuali mengenai putusan yang
dikecualikan UU. Intinya bahwa,“ menurut Mahkamah acara praperadilan adalah
acara cepat, sehingga seharusnya tidak dapat dimohonkan pemeriksaan banding.”
Terhadap masalah kedua,
dengan pengecualian ini, KUHAP telah menerapkan hal berbeda kepada tersangka,
keluarga atau kuasanya yang tidak memungkinkan mengajukan banding terhadap putusan
sah atau tidaknya suatu penangkapan atau
penahanan. Sedangkan pada sisi lain penyidik
atau penuntut umum atau pihak ketiga yang berkepentingan sebaliknya dapat
meminta banding atas sah atau tidaknya suatu penghentian penyidikan atau
penuntutan. Dalam hal ini, Pasal 83 ayat (2) KUHAP tersebut menurut MK bertentangan
dengan Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 karena tidak
mempersamakan kedudukan warga negara di dalam hukum dan pemerintahan serta
tidak memberikan kepastian hukum yang adil. Dalam pertimbangan putusan MK ini memberikan
petuntuk bagaimana memperlakukan sama antara tersangka/terdakwa dan penyidik
serta penuntut umum dalam Pasal 83 ayat (2) KUHAP, yaitu dengan dua alternatif,
yaitu: (1) memberikan hak kepada tersangka/terdakwa untuk mengajukan permohonan
banding; atau (2) menghapuskan hak penyidik dan penuntut umum untuk mengajukan
permohonan banding.
Intinya menurut penulis,
bahwa yang diyatakan bertentangan dengan konstitusi adalah pemberian hak
banding kepada penyidik dan penuntut umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 83
ayat (2) KUHAP. Dengan demikian, maka praperadilan tidak memungkinkan upaya
hukum banding dan tiada yang dikecualikan. Disamping karena bertentangan dengan
filosofi lembaga praperadilan sebagai peradilan yang cepat, juga telah
memberikan perlakuan yang berbeda terhadap tersangka/terdakwa dan penyidik
serta penuntut umum.
Sedangkan apakah putusan
praperadilan dapat di-kasasi atau bahkan
dapat mengupayakan peninjauan kembali (PK)? Pertanyaan ini akan diuraikan dalam
bagian dan kesempatan lain. Wassalam.
Oleh Miftakhul Huda, Praktisi Hukum, Redaktur Majalah Konstitusi
Foto: http://www.inc.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar