Selasa, 18 September 2012

Banding atas Putusan Praperadilan


“Apakah putusan praperadilan dapat dibanding pasca putusan Mahkamah Konstitusi?” Pertanyaan ini dikemukakan teman pengacara di Jawa Timur, bagaimana implikasi putusan MK yang telah menyatakan inkonstitusional dan tidak mengikat terhadap Pasal 83 ayat (2) UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana atau dibiasa dikenal Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.

Sebuah putusan praperadilan dalam KUHAP secara tegas ditentukan tidak dapat diajukan dibanding mengenai: (1) sah atau atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan,dan penghentian penuntutan, (2) mengenai permintaan ganti kerugian atau rehabilitasi yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan. Akan tetapi Pasal 83 ayat (2) KUHAP sendiri menegasikan dengan secara khusus menyebut putusan praperadilan yang menyatakan sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penuntutan dapat meminta putusan akhir ke pengadilan tinggi.

Sekilas apabila kita belum terbiasa membaca putusan MK, kita dihadapkan kesulitan memahami implikasi putusan yang besar dari lembaga peradilan kontitusi terhadap praktik hukum. Dengan dinyatakan pasal tersebut tidak mengikat, pertanyaan muncul bagaimana dengan nasib perkara-perkara yang masih dalam proses banding di pengadilan negeri, apakah masih bisa diajukan banding? Jika kita jeli membaca putusan MK, pasal-pasal lain yang tidak dinyatakan mengikat terkait praperadilan pada dasarnya masih berlaku, baik itu mengenai alasan bisa mengajukan banding, siapa yang berhak mengajukan, dan kepada siapa, dan lembaga mana yang berwenang mengadiilinya. Selain permohonan pra praperadilan yang dapat digunakan terhadap alasan ini, tidak semua pihak dapat mengajukan, karena harus memenuhi syarat yang ditetapkan.

Selanjutnya dari pertimbangan putusan setidaknya masalah pokok yang harus dijawab yang nantinya menjernihkan pemahaman kita akan masalah praperadilan dan impikasinya bagi praktik hukum. Pertama, apakah tujuan praperadilan dalam sistem peradilan Indonesia. Kedua, apakah pengecualian putusan yang dapat dibanding telah membedakan kedudukan warga negara di dalam hukum dan pemerintahan dan melanggar kepastian hukum yang adil?

Terhadap masalah pertama, secara jelas KUHAP membawa berbagai perubahan penting. Setidaknya memberikan perlindungan kepada hak asasi manusia dan menempatkan tersangka, terdakwa, dan terpidana sebagai subjek hukum, sebagai manusia yang mempunyai
harkat, martabat, dan kedudukan yang sama di hadapan hukum. Sistem praperadilan merupakan salah satu alat kontrol akan kemungkinan tindakan sewenang-wenang dari aparat penegak hukum, baik dalam proses penangkapan, penggeledahan, penyitaan, penyidikan, penuntutan, penghentian penyidikan dan penghentian penuntutan, dengan atau tanpa disertai dengan permintaan ganti kerugian dan/atau rehabilitasi.

“Sistem praperadilan yang diatur dalamPasal 77 sampai dengan Pasal 83 KUHAP adalah untuk kepentingan pengawasan secara horizontal terhadap hak-hak tersangka/terdakwa dalam pemeriksaan pendahuluan (vide Penjelasan Pasal 80 KUHAP). Kehadiran KUHAP dimaksudkan untuk mengoreksi pengalaman praktik peradilan masa lalu, di bawah aturan HIR, yang tidak sejalan dengan perlindungan dan penegakan hak asasi manusia. Selain itu, KUHAP memberikan perlindungan terhadap hak asasi manusia bagi tersangka atau terdakwa untuk membela kepentingannya di dalam proses hukum,” tulis Mahkamah dalam pertimbangan putusan dengan nomor 65/PUU-IX/2011 ini.

Setiap upaya paksa yang dilakukan penegak hukum dengan adanya upaya praperadilan dengan asumsi tidak semua tindakan upaya paksa yang pada dasarnya merupakan perampasan HAM berjalan sesuai peraturan hukum. Apalagi praktik zaman dahulu yang memperlakukan tertuduh dengan seweanang-wenang, padahal belum tentu bersalah. Pengadilan merupakan badan peradilan tingkat pertama yang menurut MK akan mengontrol, menilai, menguji, dan mempertimbangkan secara yuridis, apakah dalam tindakan upaya paksa terhadap tersangka/terdakwa oleh penyelidik/penyidik atau penuntut umum telah sesuai dengan KUHAP.

Namun, praperadilan bukan mekanisme mengadili, memeriksa dan memutus mengenai masalah pokok yang disangkakan atau dituduhkan (objek perkara), maka pemeriksaannya dalam praperadilan harus dilakukan secara cepat, karena proses pemeriksaan pokok perkara mengenai pelanggaran pidanya sendiri sedang berjalan, bahkan bisa berkejar-kejaran. KUHAP sendiri membangun peradilan praperadilan sebagai peradilan yang cepat dengan bukti sebagai berikut: (1) paling lambat tiga hari setelah permohonan hakim tunggal yang ditetapkan mengadili praperadilan yang harus menetapkan hari sidang, (2) paling lama tujuh hari, hakim sudah harus menjatuhkan putusan, (3) apabila suatu perkara sudah mulai diperiksa oleh pengadilan negeri, sedangkan permintaan mengenai praperadilan belum selesai, maka praperadilan tersebut gugur. Selain itu, (4) putusan praperadilan tidak dapat dimintakan banding, kecuali mengenai putusan yang dikecualikan UU. Intinya bahwa,“ menurut Mahkamah acara praperadilan adalah acara cepat, sehingga seharusnya tidak dapat dimohonkan pemeriksaan banding.”

Terhadap masalah kedua, dengan pengecualian ini, KUHAP telah menerapkan hal berbeda kepada tersangka, keluarga atau kuasanya yang tidak  memungkinkan mengajukan banding terhadap putusan  sah atau tidaknya suatu penangkapan atau penahanan. Sedangkan pada sisi lain  penyidik atau penuntut umum atau pihak ketiga yang berkepentingan sebaliknya dapat meminta banding atas sah atau tidaknya suatu penghentian penyidikan atau penuntutan. Dalam hal ini, Pasal 83 ayat (2) KUHAP tersebut menurut MK bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 karena tidak mempersamakan kedudukan warga negara di dalam hukum dan pemerintahan serta tidak memberikan kepastian hukum yang adil. Dalam pertimbangan putusan MK ini memberikan petuntuk bagaimana memperlakukan sama antara tersangka/terdakwa dan penyidik serta penuntut umum dalam Pasal 83 ayat (2) KUHAP, yaitu dengan dua alternatif, yaitu: (1) memberikan hak kepada tersangka/terdakwa untuk mengajukan permohonan banding; atau (2) menghapuskan hak penyidik dan penuntut umum untuk mengajukan permohonan banding.

Intinya menurut penulis, bahwa yang diyatakan bertentangan dengan konstitusi adalah pemberian hak banding kepada penyidik dan penuntut umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 83 ayat (2) KUHAP. Dengan demikian, maka praperadilan tidak memungkinkan upaya hukum banding dan tiada yang dikecualikan. Disamping karena bertentangan dengan filosofi lembaga praperadilan sebagai peradilan yang cepat, juga telah memberikan perlakuan yang berbeda terhadap tersangka/terdakwa dan penyidik serta penuntut umum.

Sedangkan apakah putusan praperadilan dapat di-kasasi atau  bahkan dapat mengupayakan peninjauan kembali (PK)? Pertanyaan ini akan diuraikan dalam bagian dan kesempatan lain. Wassalam.

Oleh Miftakhul Huda, Praktisi Hukum, Redaktur Majalah Konstitusi
Foto: http://www.inc.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar