Senin, 03 Desember 2012

Dilema Demokrasi Konstitusional

Judul     :  Demokrasi Konstitusional, 
                Praktik Ketatanegaraan Indonesia 
                Setelah Perubahan UUD 1945
Penulis   : Janedjri M. Gaffar
Penerbit  : Konstitusi Press
Tahun     : Cetakan pertama Oktober 2012
Jumlah    : xxiv + 230 halaman
DEMOKRASI diterima luas sebagai sistem terbaik dalam penyelenggaraan negara. Indonesia termasuk telah meletakkan paham demokrasi sejak konstitusi dirumuskan pendiri negara (founding fathers) dalam sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK).

Demokrasi Indonesia mengambil bagian tertentu dari prinsip demokrasi, tetapi di sisi lain mengabaikan semangat pembatasan kekuasaan dan perlindungan hak-hak warga negara dengan dalih tidak sesuai dengan demokrasi khas Indonesia.

Dalam proses pencarian demokrasi tersebut, Indonesia mengalami masa pasang surut. Kedaulatan rakyat sebatas jargon dan pelembagaan formal serta miskin pemaknaan secara substansial. Demokrasi yang diklaim sesuai Pancasila ini berprasangka baik kekuasaan tidak mungkin disalahgunakan dan lemahnya pengawasan. Reformasi 1998 yang diikuti dengan perubahan konstitusi (1999-2002) telah merombak bangunan sistem ketatanegaraan sebelumnya.

Setelah reformasi konstitusi, gagasan demokrasi konstitusional mengemuka yang menegaskan Indonesia sebagai negara berkedaulatan rakyat yang pelaksanaannya dibatasi oleh konstitusi. Artinya, negara Indonesia menganut demokrasi yang dibatasi konstitusi sebagai hukum tertinggi dan kesepakatan bersama (general agreement). Secara bersamaan pula dianut prinsip negara hukum (rechtsstaat; rule of law), di mana yang memerintah bukan orang atau lembaga, tetapi oleh hukum.

Buku Demokrasi Konstitusional, Praktik Ketatanegaraan Indonesia Setelah Perubahan UUD 1945 karya Janedjri M. Gaffar ini berisi gagasan dan praktik demokrasi konstitusional di Indonesia. Sebagian dari buku ini berusaha menjelaskan titik temu antara gagasan kedaulatan rakyat (demokrasi) dan kedaulatan hukum (nomokrasi) yang selama ini dipertentangkan. Dalam konsep negara hukum yang demokratis bertemu demokrasi dan nomokrasi yang mengandung makna demokrasi yang dibatasi kesepakatan yang dilakukan rakyat sendiri dalam aturan hukum dengan konstitusi sebagai puncaknya. Bagaimana kedaulatan rakyat ini disalurkan, diselenggarakan, dan dijalankan dibatasi aturan yang disepakati bersama.

Aturan hukum sendiri dirumuskan dengan cara dan mekanisme demokratis dan cerminan perasaan keadilan masyarakat. Di dalam demokrasi konstitusional, demokrasi dan nomokrasi saling melengkapi sebagai dua sisi keping mata uang yang tidak bisa dipisahkan. Di dalam buku ini, Janedjri mengulas dua konsep rumit tersebut dengan bahasa sederhana bagaimana titik singgungnya dalam konteks Indonesia dan kekinian.

Konsep demokrasi konstitusional memiliki tiga aspek utama, yaitu penataan lembaga negara, proses legislasi, dan judicial review. Aspek pertama, penataan lembaga negara merupakan hal penting karena lembaga negara ini yang menjalankan kekuasaan negara. Prinsip pembagian kekuasaan (division of powers) yang semula diagungkan diganti pemisahan kekuasaan (separation of powers) dengan prinsip checks and balances. Perubahan signifikan dengan meninggalkan doktrin supremasi parlemen menjadi supremasi konstitusi.Pemisahan kekuasaan dimaksudkan agar tidak terjadi penumpukan kekuasaan yang berpeluang disalahgunakan.

Prinsip checks and balances ditandai fungsi legislasi di tangan Dewan Perwakilan Rakyat (dan Dewan Perwakilan Daerah), tetapi presiden masih memiliki hak mengajukan rancangan undang-undang, membahas, dan memberikan persetujuan. Kekuasaan legislasi juga dikontrol dan diimbangi Mahkamah Konstitusi dalam menguji konstitusionalitas undang-undang (judicial review). Begitu pula kekuasaan eksekutif dikontrol dengan fungsi pengawasan DPR dan DPD.Prinsip ini melengkapi doktrin pemisahan kekuasaan dengan kelemahan tidak mungkin kekuasaan mutlak diisi orang-orang dan fungsi yang murni berbeda dan terpisah.Tetapi, pemisahan kekuasaan ini bukan tanpa masalah. Janedjri menyatakan, bisa muncul ketegangan yang mengganggu fungsi masing-masing lembaga negara karena beda tafsir atas kekuasaan masing-masing dan personifikasi lembaga dengan pribadi pejabat. Hubungan tidak sehat manakala melibatkan hubungan emosional.

Aspek kedua, yaitu pembuatan hukum melalui proses legislasi. Pembentukan hukum harus dilakukan melalui mekanisme demokratis dan cerminan ideal dan kebutuhan masyarakat. Hak-hak konstitusional, termasuk hak-hak masyarakat hukum adat, tidak boleh dilanggar norma yang hierarkinya lebih rendah karena konstitusi akan turun derajat tertingginya. Selain itu, Janedjri juga mengulas secara mendalam prasyarat demokratisasi pembentukan undang-undang agar terpenuhi yaitu dengan ada keterbukaan, forum publik, dan partisipasi dari masyarakat.

Aspek ketiga yaitu judicial review. Mekanisme ini penegasan prinsip checks and balances, memperkuat negara demokrasi konstitusional, dan mengawal konstitusi sebagai supreme law dan menjaga konstitusi agar hidup. Pembentukan MK dilatarbelakangi kecurigaan produk kedaulatan rakyat (kuantitatif) belum tentu satu nafas dengan konstitusi (kualitatif).

Miftakhul Huda,Redaktur Majalah Konstitusi, Pemerhati Hukum Tata Negara

Tidak ada komentar:

Posting Komentar