Jumat, 27 Mei 2016

Membaca Perppu Kebiri Pelaku Perkosaan terhadap Anak

Substansi Perppu 1/2016 (baca: Perppu Kebiri Pelaku Perkosaan terhadap Anak) terkait langsung dengan keseluruhan pasal dalam UU Perlindungan Anak sebagai satu kesatuan.

Mencari ketentuan hak korban atas rehabilitasi dan upaya perlindungan secara integral dalam Perppu tersebut dijamin gak ketemu di sana. Karena soal hak dan kewajiban anak, kewajiban dan tanggung jawab negara/pemerintah/masyarakat/orang tua, penyelenggaraan perlindungan anak dalam berbagai aspek (agama, kesehatan, pendidikan, sosial, dan perlindungan khusus) dan ketentuan lainnya, semuanya sudah diatur dan dijamin dalam pasal-pasal UU Peradilan Anak.

Materi perubahan yang dituangkan dalam Perppu hanya berbicara dua jenis kejahatan seksual terhadap anak dan perubahan ancaman sanksi terhadap pelakunya. Perppu tersebut hanya bicara soal sanksi pidana bagi pelaku kejahatan seksual terhadap anak. Sehingga tidak pada tempatnya menyoal masalah-masalah di luar sanksi pidana dan pemidanaan tanpa memahami isi UU Perlindungan Anak secara utuh.

Di bawah ini point-point penting substansi Perppu 1/2016 disertai catatan pendek penulis sebagai berikut:

PERTAMA. Sebagaimana diketahui bahwa UU 23/ 2002 tentang Perlindungan Anak yang diubah dengan UU 35/2014 telah mengatur antara lain dua kejahatan seksual yang utama, yaitu:

Pasal 76D menyebutkan, “Setiap Orang dilarang melakukan Kekerasan atau ancaman Kekerasan memaksa Anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain”.

Adapun Pasal 76E berbunyi, “Setiap Orang dilarang melakukan Kekerasan atau ancaman Kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, melakukan serangkaian kebohongan, atau membujuk Anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul”.

KEDUA. Keberadaan Perppu 1/2016 menyempurnakan ketentuan UU Perlindungan Anak yang berlaku sebelumnya dengan mengatur ulang mengenai pemberatan ancaman sanksi pidana (punishment), adanya pidana tambahan, dan mengenalkan adanya tindakan (treatment) baru terhadap dua kejahatan seksual terhadap anak tersebut di atas.

Dilihat dari bunyi Pasal 81, Perppu 1/2016 tidak mengubah ancaman pidana perkosaan anak secara umum, tetapi tetap mengancam pidana yang sama pelakunya dengan pidana penjara (5-15 tahun) dan denda (maksimal 5 milyar). 

Banyak penyempurnaan dilakukan dalam rumusan pasal-pasal sehingga Perppu ini mestinya membuat pelaku harus berpikir panjang melakukan kejahatan tersebut kalau tidak ingin sepanjang hidup di penjara atau dihukum pidana mati. Atau, kalaupun dipidana penjara ringan dengan mendekam di penjara antara 5-15 tahun, untuk dua tahunnya akan dikebiri dan/atau identitasnya sebagai pelaku diumumkan kepada publik. 

KETIGA. Perppu 1/2016 memperluas jangkauan pelaku yang memiliki hubungan dengan korban dengan pidana diperberat ditambah 1/3 ancaman pidananya. Orang-orang yang memiliki hubungan-hubungan tertentu yang diperberat, yaitu: orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga, aparat yang menangani perlindungan anak, atau dilakukan oleh lebih dari satu orang secara bersama-sama.

Sebelumnya, UU 35/2014 hanya terbatas memperberat  pelaku orang tua, wali, pengasuh anak, pendidik, atau tenaga kependidikan.

Pemberatan ditambah 1/3 ancaman pidananya juga berlaku bagi residivis kejahatan seksual.

Soal pidana ditambah 1/3 ancaman pidana karena terjadi pengulangan pidana tersebut sesuai dengan sistem kita yang menganut peraturan pengulangan bahwa apabila melakukan kejahatan yang sama, bukan sebelumnya melakukan kejahatan berbeda (Lihat Pasal 486 s/d Pasal 487 KUHP).

KEEMPAT. Apabila kejahatan menimbulkan korban lebih dari 1 orang, mengakibatkan luka berat, gangguan jiwa, penyakit menular, terganggu atau hilangnya fungsi reproduksi, dan/atau korban meninggal dunia, pelaku perkosaan terhadap anak akan diancam dengan pidana mati, seumur hidup, atau pidana penjara 10-20 tahun.

Perlu dipahami bahwa perkosaan secara umum ancaman pidananya penjara 5-15 tahun dan denda maksimal 5 milyar dan hanya dengan kondisi dan akibat tersebut dipidana lebih berat tidak hanya pidana penjara 5-10 tahun, tetapi diancam pidana mati, seumur hidup, atau penjara 10-20 tahun.

Dibandingkan dengan UU KDRT, kekerasan seksual secara umum diancam pidana penjara maksimal 12 tahun atau denda maksimal 36 juta. Apabila kekerasan seksual tersebut mengakibatkan korban luka yang tidak memberi harapan sembuh kembali, mengalami gangguan daya pikir atau kejiwaan sekurang-kurangnya selama 4 minggu terus menerus atau 1 tahun tidak berturut-turut, gugur atau matinya janin dalam kandungan, atau mengakibatkan tidak berfungsinya alat reproduksi, dipidana dengan pidana penjara 5-20 tahun atau denda Rp25.Juta-Rp500 juta. 

Sehingga pemberatan dari 5-15 tahun untuk perkosaan terhadap anak secara umum menjadi pidana mati, penjara seumur hidup, atau pidana penjara 10-20 tahun karena kondisi tersebut dalam batas kewajaran, terlebih tujuan diubahnya UU Perlindungan Anak dengan Perppu adalah memperberat ancaman sanksi yang dikenakan.

Apakah pidana mati dibenarkan oleh konstitusi?  
Berdasarkan putusan MK Nomor 2-3/PUU-V/2007 tanggal 30 Oktober 2007, pidana mati konstitusional dengan pertimbangan yang intinya hak untuk hidup (right to life) tidak berlaku mutlak tetai dapat dibatasi menurut undang-undang sesuai penafsiran sistematis pengaturan HAM dalam UUD 1945, sejarah perkembanga konstitusionalisme Indonesia, Ketetapan MPR No. XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia yang dijabarkan lebih lanjut dalam UU HAM. Sejumlah instrumen hukum internasional juga memperbolehkan pidana mati dengan pembatasan-pembatasan tertentu ataupun adanya pengaturan mengenai penghilangan nyawa secara absah.

Mahkamah memang dalam pertimbangannya memberikan arah bahwa ke depan, dalam rangka pembaruan hukum pidana nasional dan harmonisasi peraturan perundang-undangan yang terkait dengan pidana mati, maka perumusan, penerapan, maupun pelaksanaan pidana mati dalam sistem peradilan pidana di Indonesia hendaklah memperhatikan dengan sungguh-sungguh hal-hal berikut:
a. pidana mati bukan lagi merupakan pidana pokok, melainkan sebagai pidana yang bersifat khusus dan alternatif;
b. pidana mati dapat dijatuhkan dengan masa percobaan selama sepuluh tahun yang apabila terpidana berkelakuan terpuji dapat diubah dengan pidana penjara seumur hidup atau selama 20 tahun;
c. pidana mati tidak dapat dijatuhkan terhadap anak-anak yang belum dewasa;
d. eksekusi pidana mati terhadap perempuan hamil dan seseorang yang sakit jiwa ditangguhkan sampai perempuan hamil tersebut melahirkan dan terpidana
yang sakit jiwa tersebut sembuh;

Dengan adanya pidana mati sebagai alternatif pidana bersama-sama pidana penjara seumur hidup menunjukkan bahwa Perppu 1/2016 mempertimbangkan keadilan bagi korban sekaligus perlindungan kepentingan masyarakat sehingga wajar pidana mati dan pidana penjara seumur hidup dipertahankan. Bagaimana keadilan bagi korban perkosaan yang  meninggal dunia atau sakit jiwa sementara pelaku hanya dipenjara dalam waktu pendek yang setiap saat melakukan kembali pada saat keluar? Jika ini terjadi justru negara berperan besar hanya memproduksi kejahatan, memfasilitasi kejahatan yang berulang serta pidana penjara hanya menghentikan sementara penjahat seksual dalam penjara tidak melakukan kejahatan.

Pidana mati yang sudah dihapus dalam KUHP Belanda tidak berarti membenarkan bahwa hukum pidana kita mesti menghapus pidana mati, kecuali kita memilih selamanya berkiblat pada Belanda, baik sebelum dan sesudah penjajahan. “Di sana diatur, di sini diatur. Di sana dihapus, di sini dihapus”.  Apa harus begitu cara berpikirnya? Sebelum KUHP Belanda mengenalkan pidana mati, di bumi pertiwi ini sudah mengenal pidana mati. Apabila dalam sejarah nenek moyang sanksi pidana zaman kita menunjukkan politik hukum pidana yang digunakan untuk kejahatan-kejahatan yang sifatnya politik, untuk kepentingan korban dan perlindungan masyarakat, kenapa tidak tetap menggunakan pidana mati untuk melindungi kehidupan seluruh umat manusia.

Belum ditetapkannya pembaruan menyeluruh dalam RUU KUHP dengan masih mengatur jenis-jenis pidana pokok saat ini memang pengaturan sanksi pidana dalam berbagai peraturan perundang-undangan (termasuk Perppu ini) masih harus mengikuti sistem pidana dan pemidanaan yang ada. Pengaturan dalam peraturan perundang-undangan tanpa mempertimbangkan jenis pidana pokok menurut Pasal 10 KUHP akan mengacaukan sistem hukum pidana kita. Hal yang memungkinkan mengenalkan pidana tambahan atau tindakan baru.

KELIMA. Selain dikenakan pidana penjara dan denda serta pemberatan berhubung adanya hubungan antara korban dengan pelaku serta kondisi dan akibat yang berat bagi korban tersebut, pelaku perkosaan terhadap anak  dapat dikenai dengan pidana tambahan berupa pengumuman identitas pelaku.

Perpu 1/2016 mengenalkan pidana tambahan baru dalam sistem hukum pidana yaitu pengumuman identitas pelaku kejahatan perkosaan terhadap anak.

Ditempatnya pengumuman identitas pelaku sebagai pidana tambahan ini berarti sifatnya fakultatif. Pidana pokok tetap harus dijatuhkan pada pelaku kejahatan dan hakim bebas memberikan pidana tambahan tersebut sesuai pertimbangan fakta-fakta di persidangan.

KEENAM. Pelaku dapat dikenai tindakan kebiri kimia dan pemasangan cip untuk perkosaan anak dengan jumlah korban lebih dari seorang atau akibat yang berat bagi korban, yaitu:  korban lebih dari 1 orang, mengakibatkan luka berat, gangguan jiwa, penyakit menular, terganggu atau hilangnya fungsi reproduksi, dan/atau korban meninggal dunia; serta residivis.

Dari ketentuan ini tidak semua perkosaan terhadap anak dapat dikenakan tindakan kebiri kimia dan pemasangan cip, tetapi hanya perkosaan yang korbannya lebih dari seorang dan akibat kejahatan korban mengalami luka berat, gangguan jiwa, penyakit menular, terganggu atau hilangnya fungsi reproduksi dan/atau korban meninggal dunia; serta tindakan dapat dikenakan bagi residivis.

Jadi, selain pelaku diancam pidana mati, seumur hidup, dan pidana penjara 10-20 tahun atau adanya tambahan 1/3 pidana (untuk residivis), pelaku dapat dikenakan sanksi tindakan kebiri kimia dan pemasangan cip. Tindakan ini otomatis hanya mungkin terjadi apabila pidana pokok yang dijatuhkan hakim adalah pidana 10-20 tahun karena dalam Perppu 1/2016 menyatakan bahwa tindakan ini dikenakan setelah pelaku menjalani pidana pokok artinya setelah pelaku dibebaskan dari penjara. Sedangkan pidana mati dan penjara seumur hidup tidak memungkinkan pelaku menjalani kehidupan kembali setelah bebas dari penjara. Sehingga pelaku apabila dihukum mati atau penjara seumur hidup tidak mungkin ada tambahan tindakan terhadapnya, kecuali tindakan itu dapat dilakukan saat pelaku menjalani pidana.

KETUJUH. Pidana tambahan berupa pengumuman identitas pelaku dan tindakan kebiri kimia dan pemasangan cip tidak berlaku bagi pelaku anak dalam perkosaan terhadap anak.

Pidana tambahan tidak dikenakan bagi pelaku yang masih usia anak merupakan kebijakan pemidanaan yang tepat yang semata-mata untuk kepentingan yang terbaik bagi anak sebagai bentuk perlindungan khusus bagi anak yang berhadapan hukum yang dilindungi oleh UU Perlindungan Anak. 

KEDELAPAN. Untuk kekerasan seksual menurut Pasal 76E, dalam Perppu 1/2016 mengatur hal yang sama sebagaimana perkosaan anak dalam hal pemberatan pidana ditambah 1/3 ancaman pidana bagi pelaku yang memiliki hubungan dengan korban dan pelaku residivis serta adanya pidana tambahan pengumuman identitas pelaku. Bedanya untuk kekerasan seksual jenis ini, pelaku tidak diancam pidana mati, seumur hidup, atau pidana penjara 10-20 tahun tetapi pidananya hanya diperberat ditambah 1/3 ancaman pidana, yaitu apabila kejahatan tersebut menimbulkan korban lebih dari 1 orang, mengakibatkan luka berat, gangguan jiwa, penyakit menular, terganggu atau hilangnya fungsi reproduksi, dan/atau korban meninggal dunia.

Untuk kekerasan seksual jenis ini tidak ada tindakan kebiri kimia, tetapi berupa tindakan rehabilitasi dan pemasangan cip.

KESEMBILAN. Apabila kekerasan seksual terhadap anak yang pelakunya juga masih anak, pidana tambahan berupa pengumuman identitas pelaku tidak berlaku.

Sebagaimana perkosaan yang pelakunya anak demi kepentingan terbaik bagi anak sudah tepat Perppu tersebut menetapkan pengumuman identitas pelaku ini tidak diberlakukan bagi pelaku anak.

Jombang, 27 Mei 2016

Miftakhul Huda


Foto: sindonews.net