Substansi Perppu 1/2016 (baca: Perppu Kebiri Pelaku Perkosaan
terhadap Anak) terkait langsung dengan keseluruhan pasal dalam UU Perlindungan
Anak sebagai satu kesatuan.
Mencari ketentuan hak korban atas rehabilitasi dan upaya
perlindungan secara integral dalam Perppu tersebut dijamin gak ketemu di sana.
Karena soal hak dan kewajiban anak, kewajiban dan
tanggung jawab negara/pemerintah/masyarakat/orang tua, penyelenggaraan
perlindungan anak dalam berbagai aspek (agama, kesehatan, pendidikan, sosial,
dan perlindungan khusus) dan ketentuan lainnya, semuanya sudah diatur dan
dijamin dalam pasal-pasal UU Peradilan Anak.
Materi perubahan yang dituangkan dalam Perppu hanya berbicara
dua jenis kejahatan seksual terhadap anak dan perubahan ancaman sanksi terhadap
pelakunya. Perppu tersebut hanya bicara soal
sanksi pidana bagi pelaku kejahatan seksual terhadap anak. Sehingga tidak pada
tempatnya menyoal masalah-masalah di luar sanksi pidana dan pemidanaan tanpa
memahami isi UU Perlindungan Anak secara utuh.
Di bawah ini point-point penting substansi Perppu 1/2016 disertai catatan pendek penulis sebagai berikut:
PERTAMA.
Sebagaimana diketahui bahwa UU 23/ 2002 tentang Perlindungan Anak yang diubah
dengan UU 35/2014 telah mengatur antara lain dua kejahatan seksual yang utama,
yaitu:
Pasal 76D menyebutkan, “Setiap Orang dilarang melakukan Kekerasan atau ancaman Kekerasan memaksa Anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain”.
Adapun Pasal 76E berbunyi, “Setiap Orang dilarang melakukan Kekerasan atau ancaman Kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, melakukan serangkaian kebohongan, atau membujuk Anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul”.
KEDUA. Keberadaan Perppu 1/2016 menyempurnakan ketentuan UU Perlindungan Anak yang berlaku sebelumnya dengan mengatur ulang mengenai pemberatan ancaman sanksi pidana (punishment), adanya pidana tambahan, dan mengenalkan adanya tindakan (treatment) baru terhadap dua kejahatan seksual terhadap anak tersebut di atas.
Dilihat dari bunyi Pasal 81, Perppu 1/2016 tidak mengubah ancaman pidana perkosaan anak secara umum, tetapi tetap mengancam pidana yang sama pelakunya dengan pidana penjara (5-15 tahun) dan denda (maksimal 5 milyar).
Banyak
penyempurnaan dilakukan dalam rumusan pasal-pasal sehingga Perppu ini mestinya
membuat pelaku harus berpikir panjang melakukan kejahatan tersebut kalau tidak
ingin sepanjang hidup di penjara atau dihukum pidana mati. Atau, kalaupun
dipidana penjara ringan dengan mendekam di penjara antara 5-15
tahun, untuk dua tahunnya akan dikebiri dan/atau identitasnya sebagai
pelaku diumumkan kepada publik.
KETIGA. Perppu 1/2016 memperluas jangkauan pelaku yang memiliki hubungan dengan korban dengan pidana diperberat ditambah 1/3 ancaman pidananya. Orang-orang yang memiliki hubungan-hubungan tertentu yang diperberat, yaitu: orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga, aparat yang menangani perlindungan anak, atau dilakukan oleh lebih dari satu orang secara bersama-sama.
Sebelumnya, UU 35/2014 hanya terbatas memperberat pelaku orang tua, wali,
pengasuh anak, pendidik, atau tenaga kependidikan.
Pemberatan
ditambah 1/3 ancaman pidananya juga berlaku bagi residivis kejahatan seksual.
Soal
pidana ditambah 1/3 ancaman pidana karena terjadi pengulangan pidana tersebut
sesuai dengan sistem kita yang menganut peraturan pengulangan bahwa apabila
melakukan kejahatan yang sama, bukan sebelumnya melakukan kejahatan berbeda
(Lihat Pasal 486 s/d Pasal 487 KUHP).
KEEMPAT. Apabila
kejahatan menimbulkan korban lebih dari 1 orang, mengakibatkan luka berat,
gangguan jiwa, penyakit menular, terganggu atau hilangnya fungsi reproduksi,
dan/atau korban meninggal dunia, pelaku perkosaan terhadap anak akan diancam
dengan pidana mati, seumur hidup, atau pidana penjara 10-20 tahun.
Perlu dipahami bahwa perkosaan secara umum ancaman pidananya penjara 5-15 tahun
dan denda maksimal 5 milyar dan hanya dengan kondisi dan akibat tersebut
dipidana lebih berat tidak hanya pidana penjara 5-10 tahun, tetapi diancam
pidana mati, seumur hidup, atau penjara 10-20 tahun.
Dibandingkan dengan UU KDRT, kekerasan seksual secara umum diancam pidana penjara maksimal 12 tahun atau denda maksimal 36 juta. Apabila kekerasan seksual tersebut mengakibatkan korban luka yang tidak memberi harapan sembuh kembali, mengalami gangguan daya pikir atau kejiwaan sekurang-kurangnya selama 4 minggu terus menerus atau 1 tahun tidak berturut-turut, gugur atau matinya janin dalam kandungan, atau mengakibatkan tidak berfungsinya alat reproduksi, dipidana dengan pidana penjara 5-20 tahun atau denda Rp25.Juta-Rp500 juta.
Sehingga pemberatan dari 5-15 tahun untuk perkosaan terhadap anak secara umum menjadi pidana mati, penjara seumur hidup, atau pidana penjara 10-20 tahun karena kondisi tersebut dalam batas kewajaran, terlebih tujuan diubahnya UU Perlindungan Anak dengan Perppu adalah memperberat ancaman sanksi yang dikenakan.
Berdasarkan putusan MK Nomor 2-3/PUU-V/2007 tanggal 30 Oktober 2007, pidana mati konstitusional
dengan pertimbangan yang intinya hak untuk hidup (right to life) tidak
berlaku mutlak tetai dapat dibatasi menurut undang-undang sesuai penafsiran
sistematis pengaturan HAM dalam UUD 1945, sejarah perkembanga
konstitusionalisme Indonesia, Ketetapan MPR No. XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi
Manusia yang dijabarkan lebih lanjut dalam UU HAM. Sejumlah instrumen hukum
internasional juga memperbolehkan pidana mati dengan pembatasan-pembatasan
tertentu ataupun adanya pengaturan mengenai penghilangan nyawa secara absah.
Mahkamah
memang dalam pertimbangannya memberikan arah bahwa ke depan, dalam rangka
pembaruan hukum pidana nasional dan harmonisasi peraturan perundang-undangan
yang terkait dengan pidana mati, maka perumusan, penerapan, maupun pelaksanaan
pidana mati dalam sistem peradilan pidana di Indonesia hendaklah memperhatikan
dengan sungguh-sungguh hal-hal berikut:
a.
pidana mati bukan lagi merupakan pidana pokok, melainkan sebagai pidana yang
bersifat khusus dan alternatif;
b.
pidana mati dapat dijatuhkan dengan masa percobaan selama sepuluh tahun yang
apabila terpidana berkelakuan terpuji dapat diubah dengan pidana penjara seumur
hidup atau selama 20 tahun;
c.
pidana mati tidak dapat dijatuhkan terhadap anak-anak yang belum dewasa;
d.
eksekusi pidana mati terhadap perempuan hamil dan seseorang yang sakit jiwa
ditangguhkan sampai perempuan hamil tersebut melahirkan dan terpidana
yang
sakit jiwa tersebut sembuh;
Dengan
adanya pidana mati sebagai alternatif pidana bersama-sama pidana penjara seumur
hidup menunjukkan bahwa Perppu 1/2016 mempertimbangkan keadilan bagi korban
sekaligus perlindungan kepentingan masyarakat sehingga wajar pidana mati dan
pidana penjara seumur hidup dipertahankan. Bagaimana keadilan bagi korban
perkosaan yang meninggal dunia atau sakit jiwa sementara pelaku hanya
dipenjara dalam waktu pendek yang setiap saat melakukan kembali pada saat
keluar? Jika ini terjadi justru negara berperan besar hanya memproduksi
kejahatan, memfasilitasi kejahatan yang berulang serta pidana penjara hanya
menghentikan sementara penjahat seksual dalam penjara tidak melakukan kejahatan.
Pidana
mati yang sudah dihapus dalam KUHP Belanda tidak berarti membenarkan bahwa
hukum pidana kita mesti menghapus pidana mati, kecuali kita memilih selamanya
berkiblat pada Belanda, baik sebelum dan sesudah penjajahan. “Di sana diatur,
di sini diatur. Di sana dihapus, di sini dihapus”. Apa harus begitu cara
berpikirnya? Sebelum KUHP Belanda mengenalkan pidana mati, di bumi pertiwi ini
sudah mengenal pidana mati. Apabila dalam sejarah nenek moyang sanksi pidana
zaman kita menunjukkan politik hukum pidana yang digunakan untuk
kejahatan-kejahatan yang sifatnya politik, untuk kepentingan korban dan
perlindungan masyarakat, kenapa tidak tetap menggunakan pidana mati untuk
melindungi kehidupan seluruh umat manusia.
Belum
ditetapkannya pembaruan menyeluruh dalam RUU KUHP dengan masih
mengatur jenis-jenis pidana pokok saat ini memang pengaturan sanksi pidana
dalam berbagai peraturan perundang-undangan (termasuk Perppu ini) masih harus
mengikuti sistem pidana dan pemidanaan yang ada. Pengaturan dalam peraturan
perundang-undangan tanpa mempertimbangkan jenis pidana pokok menurut Pasal 10
KUHP akan mengacaukan sistem hukum pidana kita. Hal yang memungkinkan
mengenalkan pidana tambahan atau tindakan baru.
KELIMA. Selain
dikenakan pidana penjara dan denda serta pemberatan berhubung adanya hubungan
antara korban dengan pelaku serta kondisi dan akibat yang berat bagi korban
tersebut, pelaku perkosaan terhadap anak dapat dikenai dengan pidana
tambahan berupa pengumuman identitas pelaku.
Perpu 1/2016 mengenalkan pidana tambahan
baru dalam sistem hukum pidana yaitu pengumuman identitas pelaku kejahatan
perkosaan terhadap anak.
Ditempatnya pengumuman identitas pelaku
sebagai pidana tambahan ini berarti sifatnya fakultatif. Pidana pokok tetap
harus dijatuhkan pada pelaku kejahatan dan hakim bebas memberikan pidana
tambahan tersebut sesuai pertimbangan fakta-fakta di persidangan.
KEENAM. Pelaku dapat
dikenai tindakan kebiri kimia dan pemasangan cip untuk perkosaan anak dengan
jumlah korban lebih dari seorang atau akibat yang berat bagi korban, yaitu:
korban lebih dari 1 orang, mengakibatkan luka berat, gangguan jiwa,
penyakit menular, terganggu atau hilangnya fungsi reproduksi, dan/atau korban
meninggal dunia; serta residivis.
Dari ketentuan ini tidak semua perkosaan
terhadap anak dapat dikenakan tindakan kebiri kimia dan pemasangan cip, tetapi
hanya perkosaan yang korbannya lebih dari seorang dan akibat kejahatan korban
mengalami luka berat, gangguan jiwa, penyakit menular, terganggu atau hilangnya
fungsi reproduksi dan/atau korban meninggal dunia; serta tindakan dapat
dikenakan bagi residivis.
Jadi, selain pelaku diancam pidana mati,
seumur hidup, dan pidana penjara 10-20 tahun atau adanya tambahan 1/3 pidana
(untuk residivis), pelaku dapat dikenakan sanksi tindakan kebiri kimia dan
pemasangan cip. Tindakan ini otomatis hanya mungkin terjadi apabila pidana
pokok yang dijatuhkan hakim adalah pidana 10-20 tahun karena dalam Perppu
1/2016 menyatakan bahwa tindakan ini dikenakan setelah pelaku menjalani pidana
pokok artinya setelah pelaku dibebaskan dari penjara. Sedangkan pidana mati dan
penjara seumur hidup tidak memungkinkan pelaku menjalani kehidupan kembali
setelah bebas dari penjara. Sehingga pelaku apabila dihukum mati atau penjara
seumur hidup tidak mungkin ada tambahan tindakan terhadapnya, kecuali tindakan
itu dapat dilakukan saat pelaku menjalani pidana.
KETUJUH. Pidana
tambahan berupa pengumuman identitas pelaku dan tindakan kebiri
kimia dan pemasangan cip tidak berlaku bagi pelaku anak dalam perkosaan
terhadap anak.
Pidana tambahan tidak dikenakan bagi pelaku
yang masih usia anak merupakan kebijakan
pemidanaan yang tepat yang semata-mata untuk kepentingan yang terbaik bagi anak
sebagai bentuk perlindungan khusus bagi anak yang berhadapan hukum yang
dilindungi oleh UU Perlindungan Anak.
KEDELAPAN.
Untuk kekerasan seksual menurut Pasal 76E, dalam Perppu 1/2016 mengatur hal
yang sama sebagaimana perkosaan anak dalam hal pemberatan pidana ditambah 1/3
ancaman pidana bagi pelaku yang memiliki hubungan dengan korban dan pelaku
residivis serta adanya pidana tambahan pengumuman identitas pelaku. Bedanya untuk kekerasan seksual jenis
ini, pelaku tidak diancam pidana mati, seumur hidup, atau
pidana penjara 10-20 tahun tetapi pidananya hanya
diperberat ditambah 1/3 ancaman pidana, yaitu apabila kejahatan tersebut menimbulkan
korban lebih dari 1 orang, mengakibatkan luka berat, gangguan jiwa, penyakit
menular, terganggu atau hilangnya fungsi reproduksi, dan/atau korban meninggal
dunia.
Untuk kekerasan seksual jenis ini tidak
ada tindakan kebiri
kimia, tetapi berupa tindakan rehabilitasi dan pemasangan cip.
KESEMBILAN. Apabila kekerasan
seksual terhadap anak yang pelakunya juga masih anak, pidana tambahan berupa pengumuman identitas
pelaku tidak berlaku.
Sebagaimana perkosaan yang pelakunya anak
demi kepentingan terbaik bagi anak sudah tepat Perppu tersebut menetapkan pengumuman
identitas pelaku ini tidak diberlakukan bagi pelaku anak.
Jombang,
27 Mei 2016
Miftakhul Huda
Foto:
sindonews.net