Buku "Lahirnya Pancasila" terbit 1947 (Repro buku) |
Ahli-ahli
hukum terutama ahli hukum konstitusi (tata negara) punya andil besar dalam perjalanan
sejarah bangsa khususnya saat proses lahirnya dasar Negara Indonesia: Pancasila.
Tidak
sedikit dari mereka merupakan bagian dari pelaku sejarah.
Selain sebagai saksi berbagai peristiwa penting, dari karya-karya mereka kerap menimbulkan
kontroversi panjang. Dari merekalah sejarah dapat terungkap dan tercatat, tetapi dari
mereka pula sejarah tetap dalam lorong gelap.
Yamin
Saya
sebutkan yang pertama yaitu Muh. Yamin. Yamin memiliki segudang julukan mulai
dari sejarawan sampai ahli hukum konstitusi ternama yang dimiliki bangsa ini. Yamin
adalah salah satu anggota Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan atau
BPUPK/BPUPKI yang menyampaikan pidato pada 29 Mei 1945 yang diminta oleh Ketua
BPUPK Radjiman Wedyodiningrat mengenai dasar negara Indonesia merdeka.
Selain Yamin yang menyampaikan pidatonya, pada sidang pertama tercatat pidato penting lain dikemukakan oleh Soepomo pada 31 Mei dan Soekarno pada 1 Juni. Semua proses perdebatan dan perumusan dasar negara terekam dalam buku Yamin yakni Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945, Djilid I. Karya guru besar hukum konstitusi dari Universitas Padjadjaran, Bandung ini yang paling kontroversial diantara buku yang lain. Buku ini menjadi rujukan tertulis dan satu-satunya mengenai pembahasan UUD 1945 termasuk pembahasan mengenai dasar negara Indonesia yang mau dibentuk. Sejak penerbitan pertama kali bukunya pada 1959 sampai sekitar 1960-an, bukunya tidak pernah dipersoalkan orang sebagai dokumen yang terpercaya. (Baca: Pelajaran dari Kontroversi Buku Yamin)
Dalam
bukunya ini Yamin memuat naskah pidatonya yang “mirip” dengan Pancasila. Ia
menyampaikan pidatonya sebelum Soekarno maupun Soepomo. Kenapa mirip? Karena dalam buku itu
memuat outline berisi lima sila (dalam
Pancasila) sebagaimana disampaikan Soekarno sesudahnya, meskipun tidak sama
persis. Naksh pidato itu juga memuat sub judul dengan nama dan istilah sebagaimana lima sila (dalam Pancasila) untuk menunjukkan pembabakan uraiannya mengenai
dasar negara yang diminta. Yamin sama sekali tidak menyebut bahwa pidatonya sebagai ajaran Pancasila. Hal kontroversial lainnya dalam pidatonya ia mengatakan
melampirkan naskah UUD yang isinya mirip dengan Pembukaan dan UUD 1945 yang
ditetapkan oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) pada 18 Agustus.
Muh Yamin (Repro buku) |
Setelah sekian lamanya Soekarno mempublikasikan bukunya berjudul "Lahirnya Pancasila" yang memuat pidato pada 1 Juni dengan pengantarKetua BPUPK Radjiman pada 1947 (Baca: Pidato Soekarno untuk Indonesia), kelahiran
Pancasila yang semula hampir diterima semua orang termasuk pelaku sejarah digugat sejarawan dari Universitas Indonesia, Nugroho
Notosusanto. Kalau tidak salah judulnya Proses
Perumusan Pancasila Dasar Negara yang diterbitkan pertama kali oleh Balai Pustaka pada 1981 yang secara gamblang mempersoalkan 1 Juni sebagai hari
lahirnya Pancasila. Dalam buku sebelumnya, ia juga menunjukkan Pancasila
yang otentik adalah yang ditetapkan oleh PPKI, 18
Agustus itu.
Dalam
buku Proses Perumusan Pancasila Dasar
Negara, Nugroho menganggap Soekarno “bukanlah orang pertama dan bukan orang
satu-satunya” yang mengetengahkan suatu konsepsi mengenai dasar Indonesia
merdeka. Menurutnya hanya pidato Soekarno memiliki keistiwaan yakni selain berisi
pandangan mengenai dasar Negara Indonesia merdeka, juga berisi usul nama dasar
negara itu: Pancasila.
Berdasarkan
sumber buku Yamin di atas Nugroho menilai penggali utama dasar Negara Republik
Indonesia adalah Muh Yamin (29 Mei), Soepomo (31 Mei), dan Soekarno (1 Juni).
Soekarno, menurutnya, hanya salah seorang penggali Pancasila dasar Negara selain Yamin dan
Soepomo. “Jadi kalau ada orang yang mengatakan, bahwa tanggal 1 Juni 1945
adalah hari lahirnya Pancasila, maka kita harus menanyakan terlebih dulu:
Pancasila yang mana?” tulis Nugroho.
Serangan Nugroho atas kelahiran Pancasila yang tiap tahun diperingati ditanggapi beragam oleh elemen di masyarakat tidak terkecuali para pelaku sejarah langsung. Bahkan, rezim Orde Baru sempat melarang 1 Juni diperingati sebagai hari lahirnya Pancasila. Semua
kontroversi yang berlangsung cukup panjang ini bersumber dari buku Yamin sebagai satu-satunya sumber tertulis
di tengah pendokumentasian pembahasan konstitusi yang masih minim dilakukan. Sampai saat sekarang pun belum ada
sumber tertulis lain yang dapat “meruntuhkan” buku Yamin. Meskipun ditemukan
“Arsip Pringgodigdo” dan “Koleksi Yamin”, dua arsip yang ditemukan belakangan
ini hanya memuat laporan notulis (singkat) pidato Yamin 29 Mei, bukan laporan
stenografis yang memuat kata per kata pidatonya. Sementara dalam buku Yamin
memuat secara lengkap kata per kata yang di-endorse
langsung Soekarno dengan tulisan tangan.
Temuan laporan
notulis pidato Yamin pada 29 Mei itu dimuat dalam bukunya Ananda B. Kusuma pada 2004 dan direvisi
pada 2009. Kusuma adalah ahli sejarah konstitusi dari Universitas Indonesia. Buku Kusuma
diterbitkan Fakultas Hukum Universitas Indonesia dengan kata pengantar
Dekan Fakultas Hukum saat itu dan Ketua MK, Jimly Asshiddiqie. Pakar sejarah
konstitusi ini “spartan” dalam meluruskan sejarah. Ia termasuk paling kencang
memburu dokumen-dokumen sampai ke Belanda.
Sedangkan
Risalah Sidang BPUPKI-PPKI yang diterbitkan Sekretariat Negara dengan temuan dua
arsip tersebut tetap memuat naskah pidato Yamin seperti semula dengan alasan temuan dua
arsip itu tidak ditemukan naskah pidato Yamin 29 Mei. Sebelum ditemukannya naskah
pidato Yamin memang belum dapat menggantikan naskah pidato Yamin. Catatan
notulis yang ditemukan belum bisa mengambarkan sesuatu yang disampaikan tiap
kata seseorang.
Terhadap buku Yamin itu, sampai
saat ini saya percaya buku itu benar, meskipun sangat ragu pada bagian-bagian
yang ada di dalamnya, misalkan adanya judul pidato dan adanya sub-sub judul sebagai
pembabakan naskah pidato. Misalkan saat berbicara “permusyawaratan”,
“perwakilan”, dan “kebijaksanaan” diberikan judul “Peri Kerakyatan”. Juga ia
pada saat membahas “daerah Negara”, “penduduk dan putera Negara”, dan “bentuk
Negara” diberikan sub judul “V. Kesejahteraan Rakyat”. Adanya outline atau
kerangka isi pidato patut diragukan, apakah dibuat pada saat Yamin akan
menyampaikan pidatonya pada 29 Mei atau justru dibuat saat buku Yamin
diterbitkan. Atau justru outline dalam naskah itu dibacakan saja dari naskah tertulis yang sudah dipersiapkan sebelumnya.
Sangat mungkin terjadi juga misalkan ada yang diutak-atik dari naskah Yamin itu
dengan pemberian judul yang seolah-olah materinya sama dengan Soekarno atau
justru malah sebaliknya tidak ada niatan sejauh itu. Soal melampirkan naskah
UUD patut diragukan semata-mata karena Hatta meragukannya, walaupun bisa
memang benar demikian adanya karena pelaku sejarah, Hatta justru tidak mengetahui Yamin menyiapkan bahan teks tertulis disamping pidato secara lisan.
Secara
gamblang pidato Yamin merupakan pidato tanpa teks. Sesuai pengetahuan umum dan kasat mata, buku Yamin
janggal memuat judul dan sub-sub judul dalam masing-masing pokok pikiran dalam
naskahnya yang sama dengan lima sila Pancasila , karena judul-judul itu hanya lazim
ketika seseorang menulis makalah atau naskah tertulis. Karena pidato dilakukan tanpa teks tidak
mungkin adanya judul-judul pada tiap-tiap pokok pemiran yang disampaikan, kecuali Yamin membaca teks tertulis.
Meskipun naskahnya ada yang janggal disampaikan secara lisan, dari temuan dua arsip terutama dari Arsip
Pringgodigdo dapat diketahui bahwa temuan laporan notulis pidato Yamin 29 Mei yang ada di Arsip Nasional
menunjukkan adanya kemiripan dengan outline pidato Yamin
yang ada di bukunya. Artinya, isi pidatonya sesuai kebenaran, cuma adanya judul pidato, outline, sub-sub judul sebagai pidato lisan yang otentik patut diragukan. Di luar soal pidato Yamin,
dari temuan dua arsip baru menunjukkan banyak perbedaan antara dokumen otentik yang baru dengan buku Yamin.
Meskipun
saya menganggap buku Yamin benar adanya (dengan keraguan bagian-bagian tertentu), saya menilai bahwa Pancasila
lahir pada 1 Juni. Kenapa?
Ada beberapa dasar bahwa 1 Juni adalah hari lahirnya Pancasila dengan tetap menggunakan sumber buku Yamin dengan mempertimbangkan kesaksian pelaku sejarah saat masih hidup. Kesaksian para pelaku sejarah dapat diketahui dari buku-bukunya Hatta, yakni Momoir, Pengertian Pancasila, Menuju Negara Hukum, dan lainnya. “Uraian Pancasila” oleh Panitia Lima beserta notulen sidang-sidang para pelaku sejarah dapat ditemukan dalam buku Sejarah Lahirnya Undang-Undang Dasar 1945 (1984) dan Republik Indonesia Menggugat (1997). Kesaksian pelaku sejarah lain dapat dibaca dari sumber-sumber lainnya.
Ada beberapa dasar bahwa 1 Juni adalah hari lahirnya Pancasila dengan tetap menggunakan sumber buku Yamin dengan mempertimbangkan kesaksian pelaku sejarah saat masih hidup. Kesaksian para pelaku sejarah dapat diketahui dari buku-bukunya Hatta, yakni Momoir, Pengertian Pancasila, Menuju Negara Hukum, dan lainnya. “Uraian Pancasila” oleh Panitia Lima beserta notulen sidang-sidang para pelaku sejarah dapat ditemukan dalam buku Sejarah Lahirnya Undang-Undang Dasar 1945 (1984) dan Republik Indonesia Menggugat (1997). Kesaksian pelaku sejarah lain dapat dibaca dari sumber-sumber lainnya.
Berdasarkan
buku Yamin yang memuat naskah pidato 29 Mei itu, pidato Yamin menjadi mirip
Pancasila hanya karena adanya outline dan sub-sub judul yang menunjukkan pembabakan uraian pidatonya. Seandainya tiada bagian-bagian itu, pidato Yamin sama sekali tidak mirip dengan Soekarno. Seandainya pun benar adanya
sub judul sekalipun, ia tidak menyampaikan nama dan isi dari Pancasila. Pidato
Yamin isinya berbeda jauh dengan Soekarno. Memang ada kesamaan dalam hal-hal
tertentu, tetapi pada pokoknya berbeda.
Adanya
kesamaan isi pidato satu dengan lainnya dalam istilah atau substansi tidak menunjukkan
dan dapat menyimpulkan adanya kesamaan gagasan. Sebagaimana Soepomo juga menyampaikan asas persatuan,
musyawarah, dan keadilan sosial, tetapi tidak dapat dikatakan dengan mudah bahwa
Soepomo juga mengemukakan ajaran Pancasila karena pada dasarnya ia mengemukakan
cita negara integralistik. Demikian pula dengan Yamin dan lainnya.
Pidato yang diucapkan Yamin mendapatkan sanggahan berulang kali
dari Wakil Soeroso karena pidatonya keluar konteks dan tujuan sidang saat
itu yang sebenarnya fokus membahas: Indonesia merdeka, dasarnya apa ya? Nah, Yamin ngomong soal yang teknis-teknis
yang lebih tepatnya berbicara materi undang-undang dasar. Artinya pidato Yamin
selain bukan mengenai “dasar negara” yang dimaksudkan, juga bukan Pancasila yang disetujui
bersama sebagai ”philosofische grondslag” dan
“”weltanschauung”. Yamin tampak tetap “ngeyel” bahwa yang disampaikan soal yang
dasar-dasar, bukan soal pasal-pasal.
Menurut buku Yamin, Hatta, dan lainnya pada saat Soekarno menyampaikan pidato yang lamanya kira-kira 1 jam disambut dengan hampir seluruh anggota BPUPK dengan tepuk tangan. Tepuk tangan yang riuh merupakan sebagai ekspresi persetujuan peserta sidang terlebih saat pembahasan ada kekhawatiran pembicaraan menjadi perdebatan filosofis sementara undang-undang dasar harus segera dibentuk. Ekspresi persetujuan tidak tampak pada pidato sebelumnya, baik Yamin maupun Soepomo.
Selain itu, seluruh pelaku sejarah yang masih hidup pun mengakui bahwa Pancasila yang dikemukakan Soekarno pada 1 Juni itu adalah Pancasila. Pancasila bukan hanya sebagai istilah semata, tetapi Pancasila sebagai ”philosofische grondslag” dan “”weltanschauung”. Pidato-pidato yang hanya menyebut kata “dasar” belum dapat dianggap berbicara mengenai dasar negara, apalagi dasar Negara Pancasila.
Selain itu, seluruh pelaku sejarah yang masih hidup pun mengakui bahwa Pancasila yang dikemukakan Soekarno pada 1 Juni itu adalah Pancasila. Pancasila bukan hanya sebagai istilah semata, tetapi Pancasila sebagai ”philosofische grondslag” dan “”weltanschauung”. Pidato-pidato yang hanya menyebut kata “dasar” belum dapat dianggap berbicara mengenai dasar negara, apalagi dasar Negara Pancasila.
Hatta
secara tegas menyatakan apabila Yamin menyatakan terlebih dulu soal Pancasila tentunya
ia dan yang lain akan ingat bahwa yang disampaikan Soekarno hanya pengulangan semata.
Kira-kira begitu kalau baca notulen-notulen rapat Panitia Lima yang dipimpin
Hatta dan ketiga anggotanya yang merupakan anggota Panitia Sembilan yang
menyusun Piagam Jakarta.
Alasan
lain lagi yaitu Panitia Kecil (Panitia Sembilan) saat menyusun Piagam
Jakarta bahan-bahanya berasal dari pidato Soekarno 1 Juni itu, bukan dari
pidato Yamin atau pidato Soepomo atau pidato lainnya. Artinya yang diterima
adalah pidato Sokarno, bukan lainnya. Panitia Lima termasuk Hatta menyatakan, "Sebelum sidang pertama itu berakhir, dibentuk suatu panitia kecil untuk: a. merumuskan kembali Pancasila sebagai dasar negara berdasarkan pidato yang diucapkan Bung Karno pada tanggal 1 Juni 1945. b. menjadikan dokumen itu sebagai teks untuk memproklamasikan Indonesia Merdeka".
Yamin sendiri semasa hidupnya (yang bukunya jadi sumber utama dan satu-satunya Nugroho dengan mengesampingkan kesaksian pelaku sejarah) menyatakan Soekarno adalah penggali Pancasila yang disampaikan pada 1 Juni. Dia tidak membantah kebijakan negara menetapkan 1 Juni sebagai hari lahirnya Pancasila itu. Dengan demikian tidak ada alasan lagi orang-orang yang mendasarkan pada Yamin, sementara Yamin menyatakan Pancasila lahir 1 Juni. Yamin terkenal gigih dengan pendapatnya, sehingga jika ia yang menyampaikan ajaran Pancasila ia adalah orang pertama yang akan protes. Pandangan Yamin dapat dibaca dari buku-bukunya, yakni Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945, Jilid II dan Pembahasan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia, keduanya terbit pada 1960, setahun sesudah jilid pertama banyak jadi rujukan yang kontroversial.
Dalam urutan penyusunan naskah pidato dalam bukunya, Yamin tidak meletakkan pidato sesuai urutan kronologis, yakni 29 Mei, 31 Mei, dan 1 Juni di mana ia yang pertama dan Soekarno yang terakhir. Tetapi pidato Soekarno diletakkan di bagian depan, kemudian baru memuat pidato Yamin dan Soepomo. Artinya pidato dari 1 Juni, 29 Mei, dan 31 Mei. Tidak jelas alasan kenapa Soepomo diletakkan setelah Yamin, tetapi yang jelas penyusun buku menunjukkan bahwa pidato Soekarno adalah pidato terpenting dalam sejarah dengan meletakkan di muka.
Yamin sendiri semasa hidupnya (yang bukunya jadi sumber utama dan satu-satunya Nugroho dengan mengesampingkan kesaksian pelaku sejarah) menyatakan Soekarno adalah penggali Pancasila yang disampaikan pada 1 Juni. Dia tidak membantah kebijakan negara menetapkan 1 Juni sebagai hari lahirnya Pancasila itu. Dengan demikian tidak ada alasan lagi orang-orang yang mendasarkan pada Yamin, sementara Yamin menyatakan Pancasila lahir 1 Juni. Yamin terkenal gigih dengan pendapatnya, sehingga jika ia yang menyampaikan ajaran Pancasila ia adalah orang pertama yang akan protes. Pandangan Yamin dapat dibaca dari buku-bukunya, yakni Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945, Jilid II dan Pembahasan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia, keduanya terbit pada 1960, setahun sesudah jilid pertama banyak jadi rujukan yang kontroversial.
Dalam urutan penyusunan naskah pidato dalam bukunya, Yamin tidak meletakkan pidato sesuai urutan kronologis, yakni 29 Mei, 31 Mei, dan 1 Juni di mana ia yang pertama dan Soekarno yang terakhir. Tetapi pidato Soekarno diletakkan di bagian depan, kemudian baru memuat pidato Yamin dan Soepomo. Artinya pidato dari 1 Juni, 29 Mei, dan 31 Mei. Tidak jelas alasan kenapa Soepomo diletakkan setelah Yamin, tetapi yang jelas penyusun buku menunjukkan bahwa pidato Soekarno adalah pidato terpenting dalam sejarah dengan meletakkan di muka.
Dengan demikian, dari
seluruh pelaku sejarah pada dasarnya menyetujui bahwa 1 Juni sebagai hari lahir
Pancasila. Semua mengakui Pancasila yang menyampaikan pertama kali adalah
Soekarno, bukan Yamin atau yang lain. Termasuk pelaku sejarah AG Pringgodigdo dalam Panitia Lima yang merumuskan naskah "Uraian Pancasila".
Apakah Soekarno hanya sebatas penggali utama? Saya kok menilai Soekarno sebagai “pencipta”
atau minimal melahirkan ajaran Pancasila yang pertama kalinya dengan lima sila
beserta isinya meskipun Soekarno saat dikasih gelar doktor ilmu hukum menolak
predikat yang diberikan Notonagoro itu. Ia menegaskan hanya sebatas “penggali”
sesuatu yang sudah ada dalam bumi Nusantara.
Kalau
mengikuti jalan pikiran Soekarno sebatas penggali akhirnya tidak akan ada gagasan baru atau gagasan
pertama. Karena setiap gagasan baru berangkat dari gagasan sebelumnya. Perumpamaannya
yaitu adanya penemuan sebuah kursi dengan bahan kayu. Kayu bisa digunakan untuk
pintu dll tetapi berbentuk kursi baru ditemukan. Meskipun bahan kayunya dari Jepara, kursi itu bukan ciptaan petani yang ada di Jepara. Begitu pula paku yang
digunakan meskipun dibeli dari toko bangunan Z, tetapi Z bukan pencipta
kursi. Kayu dan paku hanya bahan. Penemu kayu menjadi kursi adalah penciptanya walaupun bahannya dari kakayaan alam Indonesia. Sehingga kita tidak dapat menyimpulkan sebab bahannya dari budaya dan falsafah yang terpendam dalam bumi Nusantara, maka penciptanya adalah seluruh rakyat Indonesia.
Hal
yang sama pula sebagai analogi tidak ada penciptaan undang-undang, karena pasal-pasalnya pada dasarnya hanya merumuskan norma-norma yang tidak tertulis, artinya pasal-pasal dari sesuatu yang telah ada. Tidak ada pula
gagasan soal judicial review, karena
Yamin hanya menyampaikan sistem yang sudah ada di negara lain (Amerika
Serikat). Tidak ada cita Negara Negara integralistik, lah Soepomo hanya
menyampaikan gambaran dari masyarakat yang sudah ada. Singkatnya adalah setiap ide itu pasti
ada penciptanya atau minimal ada yang melahirkannya.
Saya
rasa dalam budaya Jawa kalau terlalu disanjung-sanjung ia akan menolak dan justru
merendah. Nah, Soekarno adalah orang Jawa. Apakah karena ini? Kita hanya bisa main
tebak-tebakan kalau soal ini.
Bukan berarti dia yang pertama yang menyampaikan dan kemudian dia menolak, kemudian sebutan itu kita
sematkan ke orang lain yang bersedia atau memberikan penghargaan yang
dia tidak mau disebut sebagai “penggali”. Saya rasa semua berpendapat Soekarno sebagai penggali karena ia yang menghendaki julukan itu daripada julukan yang mencerminkan kondisi sebenarnya. Kalaupun istilah penggali dianggap lebih tepat, Soekarno adalah
yang menggali yang ternyata dianggap bernilai emas: Pancasila.
Pringgodigdo
AG Pringgodigdo (http://arsip.unair.ac.id/) |
Yang
tidak banyak diulas banyak orang bahwa dalam buku Nugrohoho yang kontroversial itu
ia menyertakan tulisan seseorang bernama Pringgodigdo atau lengkapnya Abdoel
Gaffar Pringgodigdo berjudul “Sekitar Pancasila” yang tertulis pada
1970. Artinya tulisan itu dibuat jauh hari sebelum Nugroho menulis bukunya.
Pringgodigdo merupakan pelaku sejarah dan seorang guru besar ilmu hukum dari Universitas Airlangga,
Surabaya dan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta yang tulisannya dibuat untuk
legitimasi Nugroho. Dalam buku Santiaji
Pancasila yang terbit pada 1970-an, ia juga telah berpendapat yang sama
persis dengan “Sekitar Pancasila” yang disertakan dalam buku Nugoroho.
Dalam
“Sekitar Pancasila”, Pringgodigdo lebih tajam dari pendapat Nugroho. Ia menyatakan bahwa
dengan tiga pidato berturut-turut disampaikan oleh Yamin, Soepomo, dan
Soekarno, ia menyimpulkan bahwa perumusan-perumusan lima dasar dari Yamin,
Soepomo, dan Soekarno dalam kata-katanya berbeda, tetapi pokok-pokoknya sama,
yakni Ketuhanan Yang Maha Esa, Perikemanusiaan atau Internasionalisme,
Kebangsaan Indonesia atau Persatuan Bangsa Indonesia, Kerakyatan atau
Demokrasi, dan Keadilan Sosial.
Akhirnya
Pringgodigdo mendasarkan berbagai pendapat tokoh nasional mengenai hari
lahir Pancasila, ia menyimpulkan 1 Juni bukan hari lahir Pancasila. Tetapi
hanya lahirnya pemakaian istilah Pancasila. Apabila Nugroho hanya menyebut
bahwa Yamin dan Soepomo sebagai penggali dasar negara juga, Pringgodigdo secara
tegas menyatakan tidak perlu diragukan lagi bahwa Yamin dan Soepomo juga
penggali dari dasar negara Pancasila. Ia bahkan menyarankan 1 Juni tidak perlu dilakukan
peringatan.
Tetapi
belakangan Pringgodigdo kemudian bergabung dalam Panitia Lima yang terbentuk pada 1975.
Panitia Lima ini beranggotakan para pelaku sejarah yang diketuai Moh. Hatta
beranggotakan Ahmad Soebardjo, Sunario, AG Pringgodigdo, dan AA Maramis di mana
tiga diantaranya adalah anggota Panitia Sembilan yang merumuskan dan menetapkan
Piagam Jakarta. Panitia Lima ini meluruskan berbagai hal seputar Pancasila.
Tercatat
pula Pringgodigdo pernah diprotes Sunario sebab tulisan “Sekitar Pancasila”, tetapi
pada sisi lain Pringgodigdo sebagai bagian dari Panitia Lima yang punya pandangan
berbeda dengan Nugroho. Panitia Lima memang menegaskan Soekarno yang mampu
menjawab pertanyaan Radjiman dengan uraian tentang lima sila. Pidato itu
kemudian diterbitkan dengan judul ”Lahirnya Pancasila”. Pidato inilah yang
bersifat kompromis dan meneduhkan pertentangan tajam saat itu. Pidato 1 Juni
ini pula yang jadi bahan Panitia Kecil merumuskan kembali Pancasila sebagai
dasar negara.
Protes
Sunario sebagai sesama anggota Panitia Lima dilakukan pada 1983 sehingga
pasca terbitnya buku Nugroho. Padahal “Uraian Pancasila” sebenarnya ringkasan dari pendapatnya yang sudah dikemukakan dalam
tulisan lain jauh sebelum Nugroho menerbitkan bukunya. Artinya tulisan itu sebelum adanya Panitia Sembilan. Menjadi misteri apakah penerbitan tulisan atas persetujuan Pringgodigdo
ataukah persetujuan diberikan sebelum atau sesudah tergabung dalam Panitia
Lima.
Dalam
Panitia Lima sendiri, seperti tampak dalam notulensi sidang-sidangnya, ia
termasuk meragukan buku Yamin. Malah yang bilang Yamin adalah “tukang sulap” itu beliaunya. Perlu
dingat bahwa dari pandangan Pringgodigdo inilah jadi rujukan para sejarawan
mempersolkan hari kelahiran Pancasila termasuk Nugroho itu. Padahal Presiden Unair Surabaya ini belakangan tergabung dalam Panitia Lima yang meluruskan bahwa Pancasila lahir 1 Juni.
Notonagoro
Notonagoro (http://arsip.ugm.ac.id/) |
Selain
tokoh-tokoh di atas adalah Notonagoro, ahli hukum yang terkenal dengan julukan
begawan Pancasila. Ia guru besar dari Unair, Surabaya dan UGM, Yogyakarta. Ia sekitar
1950-an merupakan promotor pemberian gelar doctor honoris causa dalam ilmu
hukum kepada Soekarno dari UGM. Ia yang
menganggap Soekarno sebagai “pencipta” Pancasila yang ditolak Soekarno karena
dirinya hanya sebagai “penggali”.
Kontribusi
besar Notonagoro adalah memperkenalkan pertama kalinya Pancasila sebagai pokok
kaidah negara yang fundamental atau norma fundamental negara (staatsfundamentalnorm).
Apakah itu?
Secara
teoritis banyak yang bisa dijelaskan dari konsep ini, tetapi pada intinya staatsfundamentalnorm adalah teori soal tata susunan norma yang
menunjukkan hakikat Pancasila terpisah dari undang-undang dasar. Meskipun
undang-undang dasar berganti-ganti, hakikat dan kedudukan Pancasila: tetap,
kuat, dan tidak berubah.
Dengan
kata lain, Pancasila tidak dapat diubah oleh siapapun. Makanya dulu waktu SD membaca
buku yang menyatakan mengubah Pancasila maka bubarlah negara adalah benar
adanya. Negara akan mulai dari nol lagi. Secara teoritis negara akhirnya gak
punya dasar, cita-cita, dan alasan berdirinya sebagai sebuah negara. Bukankah ini sama saja dengan
Negara bubar? Karena bukan saja undang-undang dasar ganti, tetapi dasarnya dari
undang-undang dasar yang berubah atau berganti.
Sehingga
ketika Nugroho menyatakan dasar negara Pancasila yang otentik adalah yang
ditetapkan pada 18 Agustus 1945 sebenarnya jauh hari Notonagoro sudah jelas
menyatakan itu dengan teori itu. Tidak ada kaitan antara rumusan dasar negara yang otentik dengan usulan
dasar negara pertama kali disampaikan. Yang pertama berbicara dasar negara Pancasila yang otentik, sedangkan yang kedua usulan dasar negara disampaikan pertama kali yang diterima sebagai konsensus bersama. Malah Notonagoro menyebutkan, 1 Juni
merupakan calon dasar negara yang pertama, bukan yang lainnya.
Praktisnya
konsep staatsfundamentalnorm tujuannya
membentengi Pancasila dari pergantian dasar negara pada saat Konstitutuante yang
mau menetapkan undang-undang dasar yang tetap untuk menggantikan Undang-Undang Dasar
Sementara yang berlaku sementara saat itu. Saya rasa pandangan Notogoro ini banyak jadi rujukan anggota
Konstituante saat itu.
Dengan
berganti-gantinya undang-undang dasar, dasar negara akhirnya tetap dan tidak berubah, yaitu
Pancasila yang diusulkan Soekarno yang diterima peserta sidang BPUPK, dirumuskan dan ditetapkan dalam
Panitia Sembilan, terus ditetapkannya dalam Pembukaan UUD 1945 oleh PPKI pada 18 Agustus 1945. Soal
isi Pancasila dalam konstitusi yang pernah berlaku pada dasarnya dasar
falsafahnya tetap sama, yaitu Pancasila. Begitulah landasan teoritis yang dibangun Notonagoro untuk memagari Pancasila dengan ilmu pengetahuan.
Soekarno dan Hatta (news.liputan6.com) |
Soekarno-Hatta
Soekarno
sendiri sebagaimana terurai diatas yang menyampaikan Pancasila 1 Juni mendapatkan gelar doktor honoris causa ilmu
hukum dari UGM dengan promotor Notonagoro. Alasan pemberian gelar dari
UGM sebagaimana dikemukakan Notonagoro pada 19 September 1951 karena jasanya
sebagai pencipta Pancasila itu terhadap masyarakat, bangsa, Negara, pendidikan
dan pengajaran serta ilmu pengetahuan (Notonagoro, 1974).
Dengan Soekarno yang pertama mengemukakan Pancasila, isi pidatonya pada 1 Juni itu menjadi penting disamping penjelasan pelaku sejarah lain sebagai bahan untuk memahami ajaran Pancasila yang telah ditetapkan bersama sebagai dasar negara Indonesia. Secara khusus Soekarno pernah menjelaskan sebab Indonesia berdasarkan Pancasila dan menjelaskan makna kelima sila dalam Pancasila untuk memahami makna sila-sila dalam Pancasila langsung dari penggalinya.(Baca: Sebab Indonesia Berdasarkan Pancasila)
Hatta sebagai pelaku sejarah dan tokoh yang meluruskan sejarah mendapatkan gelar doktor honoris causa dalam ilmu hukum dari UI, Jakarta dengan promotornya, Dekan Fakultas Hukum, UI, Padmo Wahjono. Alasan pemberian gelar kepadanya, kata Padmo, karena Hatta banyak menggali bidang-bidang ilmu hukum serta mengemukakan masalah dengan solusi hukum. Kegiatan Hatta yang dianggap berkaitan hukum saat menempuh pendidikan doktoralnya yang mengkaji ilmu tata Negara dan admninistrasi, ilmu keuangan Negara, dan hukum internasional. Selain itu mempertimbangkan pula karya pembelaannya berjudul “Indonesie Vrij” pada 1928 dan karyanya “Dari Politiestaat ke ‘Rechts’-staat dan kembali lagi ke Politiestaat” pada 1931 (Hatta, 1980).
Dengan Soekarno yang pertama mengemukakan Pancasila, isi pidatonya pada 1 Juni itu menjadi penting disamping penjelasan pelaku sejarah lain sebagai bahan untuk memahami ajaran Pancasila yang telah ditetapkan bersama sebagai dasar negara Indonesia. Secara khusus Soekarno pernah menjelaskan sebab Indonesia berdasarkan Pancasila dan menjelaskan makna kelima sila dalam Pancasila untuk memahami makna sila-sila dalam Pancasila langsung dari penggalinya.(Baca: Sebab Indonesia Berdasarkan Pancasila)
Hatta sebagai pelaku sejarah dan tokoh yang meluruskan sejarah mendapatkan gelar doktor honoris causa dalam ilmu hukum dari UI, Jakarta dengan promotornya, Dekan Fakultas Hukum, UI, Padmo Wahjono. Alasan pemberian gelar kepadanya, kata Padmo, karena Hatta banyak menggali bidang-bidang ilmu hukum serta mengemukakan masalah dengan solusi hukum. Kegiatan Hatta yang dianggap berkaitan hukum saat menempuh pendidikan doktoralnya yang mengkaji ilmu tata Negara dan admninistrasi, ilmu keuangan Negara, dan hukum internasional. Selain itu mempertimbangkan pula karya pembelaannya berjudul “Indonesie Vrij” pada 1928 dan karyanya “Dari Politiestaat ke ‘Rechts’-staat dan kembali lagi ke Politiestaat” pada 1931 (Hatta, 1980).
Saat
menerima gelar pada 30 Agustus 1975, Hatta menegaskan bahwa Pancasila
lahir pada 1 Juni. “Seperti diketahui, Pancasila lahir pada 1 Juni 1945, dalam
sidang Panitia Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan, sebagai intisari
pidato Bung Karno, yang diucapkannya sebagai jawaban atas pertanyaan Ketua
Panitia itu dr. K.R.T. Radjiman Wedioningrat. Pertanyaan itu ialah: Negara
Indonesia merdeka yang akan dibentuk, apa dasarnya?”, katanya.
Mereka
semua di atas merupakan ahli-ahli hukum yang berkontribusi besar dalam
peristiwa bersejarah di seputar 1 Juni sebagai Hari Lahir Pancasila. Tidak
semua dibahas di sini, karena tulisan ini asalnya dari keinginan “nyetatus” di FB saja terus lanjut menulis sampai agak panjang. Biar tidak hilang disimpan di blog.
Akhirnya
Selamat Hari Lahir Pancasila pada 1 Juni. Terima kasih Bung Karno atas
pidatonya untuk Indonesia.
10 Juni 2016
Miftakhul Huda