Jumat, 10 Juni 2016

Ahli Hukum Konstitusi dan “Pelurusan” Sejarah Hari Lahir Pancasila

Buku "Lahirnya Pancasila" terbit 1947 (Repro buku)
Ahli-ahli hukum terutama ahli hukum konstitusi (tata negara) punya andil besar dalam perjalanan sejarah bangsa khususnya saat proses lahirnya dasar Negara Indonesia: Pancasila.

Tidak sedikit dari mereka merupakan bagian dari pelaku sejarah. Selain sebagai saksi berbagai peristiwa penting, dari karya-karya mereka kerap menimbulkan kontroversi panjang. Dari merekalah sejarah dapat terungkap dan tercatat, tetapi dari mereka pula sejarah tetap dalam lorong gelap.

Yamin

Saya sebutkan yang pertama yaitu Muh. Yamin. Yamin memiliki segudang julukan mulai dari sejarawan sampai ahli hukum konstitusi ternama yang dimiliki bangsa ini. Yamin adalah salah satu anggota Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan atau BPUPK/BPUPKI yang menyampaikan pidato pada 29 Mei 1945 yang diminta oleh Ketua BPUPK Radjiman Wedyodiningrat mengenai dasar negara Indonesia merdeka.

Selain Yamin yang menyampaikan pidatonya, pada sidang pertama tercatat pidato penting lain dikemukakan oleh Soepomo pada 31 Mei dan Soekarno pada 1 Juni. Semua proses perdebatan dan perumusan dasar negara terekam dalam buku Yamin yakni Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945, Djilid I. Karya guru besar hukum konstitusi dari Universitas Padjadjaran, Bandung ini yang paling kontroversial diantara buku yang lain. Buku ini menjadi rujukan tertulis dan satu-satunya mengenai pembahasan UUD 1945 termasuk pembahasan mengenai dasar negara Indonesia yang mau dibentuk. Sejak penerbitan pertama kali bukunya pada 1959 sampai sekitar 1960-an, bukunya tidak pernah dipersoalkan orang sebagai dokumen yang terpercaya. (Baca: Pelajaran dari Kontroversi Buku Yamin)

Dalam bukunya ini Yamin memuat naskah pidatonya yang “mirip” dengan Pancasila. Ia menyampaikan pidatonya sebelum Soekarno maupun Soepomo. Kenapa mirip? Karena dalam buku itu memuat outline berisi lima sila (dalam Pancasila) sebagaimana disampaikan Soekarno sesudahnya, meskipun tidak sama persis. Naksh pidato itu juga memuat sub judul dengan nama dan istilah sebagaimana lima sila (dalam Pancasila) untuk menunjukkan pembabakan uraiannya mengenai dasar negara yang diminta. Yamin sama sekali tidak menyebut bahwa pidatonya sebagai ajaran Pancasila. Hal kontroversial lainnya dalam pidatonya ia mengatakan melampirkan naskah UUD yang isinya mirip dengan Pembukaan dan UUD 1945 yang ditetapkan oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) pada 18 Agustus.
Muh Yamin (Repro buku)

Setelah sekian lamanya Soekarno mempublikasikan bukunya berjudul "Lahirnya Pancasila" yang memuat pidato pada 1 Juni dengan pengantarKetua BPUPK Radjiman pada 1947 (Baca: Pidato Soekarno untuk Indonesia), kelahiran Pancasila yang semula hampir diterima semua orang termasuk pelaku sejarah digugat sejarawan dari Universitas Indonesia, Nugroho Notosusanto. Kalau tidak salah judulnya Proses Perumusan Pancasila Dasar Negara yang diterbitkan pertama kali oleh Balai Pustaka pada 1981 yang secara gamblang mempersoalkan 1 Juni sebagai hari lahirnya Pancasila. Dalam buku sebelumnya, ia juga menunjukkan Pancasila yang otentik adalah yang ditetapkan oleh PPKI, 18 Agustus itu.

Dalam buku Proses Perumusan Pancasila Dasar Negara, Nugroho menganggap Soekarno “bukanlah orang pertama dan bukan orang satu-satunya” yang mengetengahkan suatu konsepsi mengenai dasar Indonesia merdeka. Menurutnya hanya pidato Soekarno memiliki keistiwaan yakni selain berisi pandangan mengenai dasar Negara Indonesia merdeka, juga berisi usul nama dasar negara itu: Pancasila.

Berdasarkan sumber buku Yamin di atas Nugroho menilai penggali utama dasar Negara Republik Indonesia adalah Muh Yamin (29 Mei), Soepomo (31 Mei), dan Soekarno (1 Juni). Soekarno, menurutnya, hanya salah seorang penggali Pancasila dasar Negara selain Yamin dan Soepomo. “Jadi kalau ada orang yang mengatakan, bahwa tanggal 1 Juni 1945 adalah hari lahirnya Pancasila, maka kita harus menanyakan terlebih dulu: Pancasila yang mana?” tulis Nugroho.

Serangan Nugroho atas kelahiran Pancasila yang tiap tahun diperingati ditanggapi beragam oleh elemen di masyarakat tidak terkecuali para pelaku sejarah langsung. Bahkan, rezim Orde Baru sempat melarang 1 Juni diperingati sebagai hari lahirnya Pancasila. Semua kontroversi yang berlangsung cukup panjang ini bersumber dari buku Yamin sebagai satu-satunya sumber tertulis di tengah pendokumentasian pembahasan konstitusi yang masih minim dilakukan. Sampai saat sekarang pun belum ada sumber tertulis lain yang dapat “meruntuhkan” buku Yamin. Meskipun ditemukan “Arsip Pringgodigdo” dan “Koleksi Yamin”, dua arsip yang ditemukan belakangan ini hanya memuat laporan notulis (singkat) pidato Yamin 29 Mei, bukan laporan stenografis yang memuat kata per kata pidatonya. Sementara dalam buku Yamin memuat secara lengkap kata per kata yang di-endorse langsung Soekarno dengan tulisan tangan.

Temuan laporan notulis pidato Yamin pada 29 Mei itu dimuat dalam bukunya Ananda B. Kusuma pada 2004 dan direvisi pada 2009. Kusuma adalah ahli sejarah konstitusi dari Universitas Indonesia. Buku Kusuma diterbitkan Fakultas Hukum Universitas Indonesia dengan kata pengantar Dekan Fakultas Hukum saat itu dan Ketua MK, Jimly Asshiddiqie. Pakar sejarah konstitusi ini “spartan” dalam meluruskan sejarah. Ia termasuk paling kencang memburu dokumen-dokumen sampai ke Belanda.

Sedangkan Risalah Sidang BPUPKI-PPKI yang diterbitkan Sekretariat Negara dengan temuan dua arsip tersebut tetap memuat naskah pidato Yamin seperti semula dengan alasan temuan dua arsip itu tidak ditemukan naskah pidato Yamin 29 Mei. Sebelum ditemukannya naskah pidato Yamin memang belum dapat menggantikan naskah pidato Yamin. Catatan notulis yang ditemukan belum bisa mengambarkan sesuatu yang disampaikan tiap kata seseorang.
Outline pidato Yamin (Repro buku)

Terhadap buku Yamin itu, sampai saat ini saya percaya buku itu benar, meskipun sangat ragu pada bagian-bagian yang ada di dalamnya, misalkan adanya judul pidato dan adanya sub-sub judul sebagai pembabakan  naskah pidato. Misalkan saat berbicara “permusyawaratan”, “perwakilan”, dan “kebijaksanaan” diberikan judul “Peri Kerakyatan”. Juga ia pada saat membahas “daerah Negara”, “penduduk dan putera Negara”, dan “bentuk Negara” diberikan sub judul “V. Kesejahteraan Rakyat”. Adanya outline atau kerangka isi pidato patut diragukan, apakah dibuat pada saat Yamin akan menyampaikan pidatonya pada 29 Mei atau justru dibuat saat buku Yamin diterbitkan. Atau justru outline dalam naskah itu dibacakan saja dari naskah tertulis yang sudah dipersiapkan sebelumnya.

Sangat mungkin terjadi juga misalkan ada yang diutak-atik dari naskah Yamin itu dengan pemberian judul yang seolah-olah materinya sama dengan Soekarno atau justru malah sebaliknya tidak ada niatan sejauh itu. Soal melampirkan naskah UUD patut diragukan semata-mata karena Hatta meragukannya, walaupun bisa memang benar demikian adanya karena pelaku sejarah, Hatta justru tidak mengetahui Yamin menyiapkan bahan teks tertulis disamping pidato secara lisan.

Secara gamblang pidato Yamin merupakan pidato tanpa teks. Sesuai pengetahuan umum dan kasat mata, buku Yamin janggal memuat judul dan sub-sub judul dalam masing-masing pokok pikiran dalam naskahnya yang sama dengan lima sila Pancasila , karena judul-judul itu hanya lazim ketika seseorang menulis makalah atau naskah tertulis. Karena pidato dilakukan tanpa teks tidak mungkin adanya judul-judul pada tiap-tiap pokok pemiran yang disampaikan, kecuali Yamin membaca teks tertulis.
Outline lanjutan pidato Yamin (Repro buku) 

Meskipun naskahnya ada yang janggal disampaikan secara lisan, dari temuan dua arsip terutama dari Arsip Pringgodigdo dapat diketahui bahwa temuan laporan notulis pidato Yamin 29 Mei yang ada di Arsip Nasional menunjukkan adanya kemiripan dengan outline pidato Yamin yang ada di bukunya. Artinya, isi pidatonya sesuai kebenaran, cuma adanya judul pidato, outline, sub-sub judul sebagai pidato lisan yang otentik patut diragukan. Di luar soal pidato Yamin, dari temuan dua arsip baru menunjukkan banyak perbedaan antara dokumen otentik yang baru dengan buku Yamin.

Meskipun saya menganggap buku Yamin benar adanya (dengan keraguan bagian-bagian tertentu), saya menilai bahwa Pancasila lahir pada 1 Juni. Kenapa? 

Ada beberapa dasar bahwa 1 Juni adalah hari lahirnya Pancasila dengan tetap menggunakan sumber buku Yamin dengan mempertimbangkan kesaksian pelaku sejarah saat masih hidup. Kesaksian para pelaku sejarah dapat diketahui dari buku-bukunya Hatta, yakni Momoir, Pengertian Pancasila, Menuju Negara Hukum, dan lainnya. “Uraian Pancasila” oleh Panitia Lima beserta notulen sidang-sidang para pelaku sejarah dapat ditemukan dalam buku Sejarah Lahirnya Undang-Undang Dasar 1945 (1984) dan Republik Indonesia Menggugat (1997). Kesaksian pelaku sejarah lain dapat dibaca dari sumber-sumber lainnya.

Berdasarkan buku Yamin yang memuat naskah pidato 29 Mei itu, pidato Yamin menjadi mirip Pancasila hanya karena adanya outline dan sub-sub judul yang menunjukkan pembabakan uraian pidatonya. Seandainya tiada bagian-bagian itu, pidato Yamin sama sekali tidak mirip dengan Soekarno. Seandainya pun benar adanya sub judul sekalipun, ia tidak menyampaikan nama dan isi dari Pancasila. Pidato Yamin isinya berbeda jauh dengan Soekarno. Memang ada kesamaan dalam hal-hal tertentu, tetapi pada pokoknya berbeda.

Adanya kesamaan isi pidato satu dengan lainnya dalam istilah atau substansi tidak menunjukkan dan dapat menyimpulkan adanya kesamaan gagasan. Sebagaimana Soepomo juga menyampaikan asas persatuan, musyawarah, dan keadilan sosial, tetapi tidak dapat dikatakan dengan mudah bahwa Soepomo juga mengemukakan ajaran Pancasila karena pada dasarnya ia mengemukakan cita negara integralistik. Demikian pula dengan Yamin dan lainnya.

Pidato yang diucapkan Yamin mendapatkan sanggahan berulang kali dari Wakil Soeroso karena pidatonya keluar konteks dan tujuan sidang saat itu yang sebenarnya fokus membahas: Indonesia merdeka, dasarnya apa ya?  Nah, Yamin ngomong soal yang teknis-teknis yang lebih tepatnya berbicara materi undang-undang dasar. Artinya pidato Yamin selain bukan  mengenai “dasar negara” yang dimaksudkan, juga bukan Pancasila yang disetujui bersama sebagai ”philosofische grondslag” dan “”weltanschauung”. Yamin tampak tetap “ngeyel” bahwa yang disampaikan soal yang dasar-dasar, bukan soal pasal-pasal.

Menurut buku Yamin, Hatta, dan lainnya pada saat Soekarno menyampaikan pidato yang lamanya kira-kira 1 jam disambut dengan hampir seluruh anggota BPUPK dengan tepuk tangan. Tepuk tangan yang riuh merupakan sebagai ekspresi persetujuan peserta sidang terlebih saat pembahasan ada kekhawatiran pembicaraan menjadi perdebatan filosofis sementara undang-undang dasar harus segera dibentuk. Ekspresi persetujuan tidak tampak pada pidato sebelumnya, baik Yamin maupun Soepomo.
 
Selain itu, seluruh pelaku sejarah yang masih hidup pun mengakui bahwa Pancasila yang dikemukakan Soekarno pada 1 Juni itu adalah Pancasila. Pancasila bukan hanya sebagai istilah semata, tetapi Pancasila sebagai ”philosofische grondslag” dan “”weltanschauung”. Pidato-pidato yang hanya menyebut kata “dasar” belum dapat dianggap berbicara mengenai dasar negara, apalagi dasar Negara Pancasila.
Hatta secara tegas menyatakan apabila Yamin menyatakan terlebih dulu soal Pancasila tentunya ia dan yang lain akan ingat bahwa yang disampaikan Soekarno hanya pengulangan semata. Kira-kira begitu kalau baca notulen-notulen rapat Panitia Lima yang dipimpin Hatta dan ketiga anggotanya yang merupakan anggota Panitia Sembilan yang menyusun Piagam Jakarta.

Alasan lain lagi yaitu Panitia Kecil (Panitia Sembilan) saat menyusun Piagam Jakarta bahan-bahanya berasal dari pidato Soekarno 1 Juni itu, bukan dari pidato Yamin atau pidato Soepomo atau pidato lainnya. Artinya yang diterima adalah pidato Sokarno, bukan lainnya. Panitia Lima termasuk Hatta menyatakan, "Sebelum sidang pertama itu berakhir, dibentuk suatu panitia kecil untuk: a. merumuskan kembali Pancasila sebagai dasar negara berdasarkan pidato yang diucapkan Bung Karno pada tanggal 1 Juni 1945. b. menjadikan dokumen itu sebagai teks untuk memproklamasikan Indonesia Merdeka". 

Yamin sendiri semasa hidupnya (yang bukunya jadi sumber utama dan satu-satunya Nugroho dengan mengesampingkan kesaksian pelaku sejarah) menyatakan Soekarno adalah penggali Pancasila yang disampaikan pada 1 Juni. Dia tidak membantah kebijakan negara menetapkan 1 Juni sebagai hari lahirnya Pancasila itu. Dengan demikian tidak ada alasan lagi orang-orang yang mendasarkan pada Yamin, sementara Yamin menyatakan Pancasila lahir 1 Juni. Yamin terkenal gigih dengan pendapatnya, sehingga jika ia yang menyampaikan ajaran Pancasila ia adalah orang pertama yang akan protes. Pandangan Yamin dapat dibaca dari buku-bukunya, yakni Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945, Jilid II dan Pembahasan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia, keduanya terbit pada 1960, setahun sesudah jilid pertama banyak jadi rujukan yang kontroversial.

Dalam urutan penyusunan naskah pidato dalam bukunya, Yamin tidak meletakkan pidato sesuai urutan kronologis, yakni 29 Mei, 31 Mei, dan 1 Juni di mana ia yang pertama dan Soekarno yang terakhir. Tetapi pidato Soekarno diletakkan di bagian depan, kemudian baru memuat pidato Yamin dan Soepomo. Artinya pidato dari 1 Juni, 29 Mei, dan 31 Mei. Tidak jelas alasan kenapa Soepomo diletakkan setelah Yamin, tetapi yang jelas penyusun buku menunjukkan bahwa pidato Soekarno adalah pidato terpenting dalam sejarah dengan meletakkan di muka. 

Dengan demikian, dari seluruh pelaku sejarah pada dasarnya menyetujui bahwa 1 Juni sebagai hari lahir Pancasila. Semua mengakui Pancasila yang menyampaikan pertama kali adalah Soekarno, bukan Yamin atau yang lain. Termasuk pelaku sejarah AG Pringgodigdo dalam Panitia Lima yang merumuskan naskah "Uraian Pancasila".

Apakah Soekarno hanya sebatas penggali utama? Saya kok menilai Soekarno sebagai “pencipta” atau minimal melahirkan ajaran Pancasila yang pertama kalinya dengan lima sila beserta isinya meskipun Soekarno saat dikasih gelar doktor ilmu hukum menolak predikat yang diberikan Notonagoro itu. Ia menegaskan hanya sebatas “penggali” sesuatu yang sudah ada dalam bumi Nusantara.

Kalau mengikuti jalan pikiran Soekarno sebatas penggali akhirnya tidak akan ada gagasan baru atau gagasan pertama. Karena setiap gagasan baru berangkat dari gagasan sebelumnya. Perumpamaannya yaitu adanya penemuan sebuah kursi dengan bahan kayu. Kayu bisa digunakan untuk pintu dll tetapi berbentuk kursi baru ditemukan. Meskipun bahan kayunya dari Jepara, kursi itu bukan ciptaan petani yang ada di Jepara. Begitu pula paku yang digunakan meskipun dibeli dari toko bangunan Z, tetapi Z bukan pencipta kursi. Kayu dan paku hanya bahan. Penemu kayu menjadi kursi adalah penciptanya walaupun bahannya dari kakayaan alam Indonesia. Sehingga kita tidak dapat menyimpulkan sebab bahannya dari budaya dan falsafah yang terpendam dalam bumi Nusantara, maka penciptanya adalah seluruh rakyat Indonesia. 

Hal yang sama pula sebagai analogi tidak ada penciptaan undang-undang, karena pasal-pasalnya pada dasarnya hanya merumuskan norma-norma yang tidak tertulis, artinya pasal-pasal dari sesuatu yang telah ada. Tidak ada pula gagasan soal judicial review, karena Yamin hanya menyampaikan sistem yang sudah ada di negara lain (Amerika Serikat). Tidak ada cita Negara Negara integralistik, lah Soepomo hanya menyampaikan gambaran dari masyarakat yang sudah ada. Singkatnya adalah setiap ide itu pasti ada penciptanya atau minimal ada yang melahirkannya.

Saya rasa dalam budaya Jawa kalau terlalu disanjung-sanjung ia akan menolak dan justru merendah. Nah, Soekarno adalah orang Jawa.  Apakah karena ini? Kita hanya bisa main tebak-tebakan kalau soal ini.

Bukan berarti dia yang pertama yang menyampaikan dan kemudian dia menolak, kemudian sebutan itu kita sematkan ke orang lain yang bersedia atau memberikan penghargaan yang dia tidak mau disebut sebagai “penggali”. Saya rasa semua berpendapat Soekarno sebagai penggali karena ia yang menghendaki julukan itu daripada julukan yang mencerminkan kondisi sebenarnya. Kalaupun istilah penggali dianggap lebih tepat, Soekarno adalah yang menggali yang ternyata dianggap bernilai emas: Pancasila.

Pringgodigdo
AG Pringgodigdo (http://arsip.unair.ac.id/)

Yang tidak banyak diulas banyak orang bahwa dalam buku Nugrohoho yang kontroversial itu ia menyertakan tulisan seseorang bernama Pringgodigdo atau lengkapnya Abdoel Gaffar Pringgodigdo berjudul “Sekitar Pancasila” yang tertulis pada 1970. Artinya tulisan itu dibuat jauh hari sebelum Nugroho menulis bukunya.

Pringgodigdo merupakan pelaku sejarah dan seorang guru besar ilmu hukum dari Universitas Airlangga, Surabaya dan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta yang tulisannya dibuat untuk legitimasi Nugroho. Dalam buku Santiaji Pancasila yang terbit pada 1970-an, ia juga telah berpendapat  yang sama persis dengan “Sekitar Pancasila” yang disertakan dalam buku Nugoroho.

Dalam “Sekitar Pancasila”, Pringgodigdo lebih tajam dari pendapat Nugroho. Ia menyatakan bahwa dengan tiga pidato berturut-turut disampaikan oleh Yamin, Soepomo, dan Soekarno, ia menyimpulkan bahwa perumusan-perumusan lima dasar dari Yamin, Soepomo, dan Soekarno dalam kata-katanya berbeda, tetapi pokok-pokoknya sama, yakni Ketuhanan Yang Maha Esa, Perikemanusiaan atau Internasionalisme, Kebangsaan Indonesia atau Persatuan Bangsa Indonesia, Kerakyatan atau Demokrasi, dan Keadilan Sosial. 
Akhirnya Pringgodigdo mendasarkan berbagai pendapat tokoh nasional mengenai hari lahir Pancasila, ia menyimpulkan 1 Juni bukan hari lahir Pancasila. Tetapi hanya lahirnya pemakaian istilah Pancasila. Apabila Nugroho hanya menyebut bahwa Yamin dan Soepomo sebagai penggali dasar negara juga, Pringgodigdo secara tegas menyatakan tidak perlu diragukan lagi bahwa Yamin dan Soepomo juga penggali dari dasar negara Pancasila. Ia bahkan menyarankan 1 Juni tidak perlu dilakukan peringatan.

Tetapi belakangan Pringgodigdo kemudian bergabung dalam Panitia Lima yang terbentuk pada 1975. Panitia Lima ini beranggotakan para pelaku sejarah yang diketuai Moh. Hatta beranggotakan Ahmad Soebardjo, Sunario, AG Pringgodigdo, dan AA Maramis di mana tiga diantaranya adalah anggota Panitia Sembilan yang merumuskan dan menetapkan Piagam Jakarta. Panitia Lima ini meluruskan berbagai hal seputar Pancasila.

Tercatat pula Pringgodigdo pernah diprotes Sunario sebab tulisan “Sekitar Pancasila”, tetapi pada sisi lain Pringgodigdo sebagai bagian dari Panitia Lima yang punya pandangan berbeda dengan Nugroho. Panitia Lima memang menegaskan Soekarno yang mampu menjawab pertanyaan Radjiman dengan uraian tentang lima sila. Pidato itu kemudian diterbitkan dengan judul ”Lahirnya Pancasila”. Pidato inilah yang bersifat kompromis dan meneduhkan pertentangan tajam saat itu. Pidato 1 Juni ini pula yang jadi bahan Panitia Kecil merumuskan kembali Pancasila sebagai dasar negara. 

Protes Sunario sebagai sesama anggota Panitia Lima dilakukan pada 1983 sehingga pasca terbitnya buku Nugroho. Padahal “Uraian Pancasila” sebenarnya ringkasan dari pendapatnya yang sudah dikemukakan dalam tulisan lain jauh sebelum Nugroho menerbitkan bukunya. Artinya tulisan itu sebelum adanya Panitia Sembilan. Menjadi misteri apakah penerbitan tulisan atas persetujuan Pringgodigdo ataukah persetujuan diberikan sebelum atau sesudah tergabung dalam Panitia Lima.

Dalam Panitia Lima sendiri, seperti tampak dalam notulensi sidang-sidangnya, ia termasuk meragukan buku Yamin. Malah yang bilang Yamin adalah “tukang sulap” itu beliaunya. Perlu dingat bahwa dari pandangan Pringgodigdo inilah jadi rujukan para sejarawan mempersolkan hari kelahiran Pancasila termasuk Nugroho itu. Padahal Presiden Unair Surabaya ini belakangan tergabung dalam Panitia Lima yang meluruskan bahwa Pancasila lahir 1 Juni.

Notonagoro
Notonagoro (http://arsip.ugm.ac.id/)

Selain tokoh-tokoh di atas adalah Notonagoro, ahli hukum yang terkenal dengan julukan begawan Pancasila. Ia guru besar dari Unair, Surabaya dan UGM, Yogyakarta. Ia sekitar 1950-an merupakan promotor pemberian gelar doctor honoris causa dalam ilmu hukum kepada Soekarno dari UGM.  Ia yang menganggap Soekarno sebagai “pencipta” Pancasila yang ditolak Soekarno karena dirinya hanya sebagai “penggali”.

Kontribusi besar Notonagoro adalah memperkenalkan pertama kalinya Pancasila sebagai pokok kaidah negara yang fundamental  atau norma fundamental negara (staatsfundamentalnorm). Apakah itu?

Secara teoritis banyak yang bisa dijelaskan dari konsep ini, tetapi pada intinya staatsfundamentalnorm adalah teori soal tata susunan norma yang menunjukkan hakikat Pancasila terpisah dari undang-undang dasar. Meskipun undang-undang dasar berganti-ganti, hakikat dan kedudukan Pancasila: tetap, kuat, dan tidak berubah.

Dengan kata lain, Pancasila tidak dapat diubah oleh siapapun. Makanya dulu waktu SD membaca buku yang menyatakan mengubah Pancasila maka bubarlah negara adalah benar adanya. Negara akan mulai dari nol lagi. Secara teoritis negara akhirnya gak punya dasar, cita-cita, dan alasan berdirinya sebagai sebuah negara. Bukankah ini sama saja dengan Negara bubar? Karena bukan saja undang-undang dasar ganti, tetapi dasarnya dari undang-undang dasar yang berubah atau berganti.

Sehingga ketika Nugroho menyatakan dasar negara Pancasila yang otentik adalah yang ditetapkan pada 18 Agustus 1945 sebenarnya jauh hari Notonagoro sudah jelas menyatakan itu dengan teori itu. Tidak ada kaitan antara rumusan dasar negara yang otentik dengan usulan dasar negara pertama kali disampaikan. Yang pertama berbicara dasar negara Pancasila yang otentik, sedangkan yang kedua usulan dasar negara disampaikan pertama kali yang diterima sebagai konsensus bersama. Malah Notonagoro menyebutkan, 1 Juni merupakan calon dasar negara yang pertama, bukan yang lainnya.

Praktisnya konsep staatsfundamentalnorm tujuannya membentengi Pancasila dari pergantian dasar negara pada saat Konstitutuante yang mau menetapkan undang-undang dasar yang tetap untuk menggantikan Undang-Undang Dasar Sementara yang berlaku sementara saat itu. Saya rasa pandangan Notogoro ini banyak jadi rujukan anggota Konstituante saat itu.

Dengan berganti-gantinya undang-undang dasar, dasar negara akhirnya tetap dan tidak berubah, yaitu Pancasila yang diusulkan Soekarno yang diterima peserta sidang BPUPK, dirumuskan dan ditetapkan dalam Panitia Sembilan, terus ditetapkannya dalam Pembukaan UUD 1945 oleh PPKI pada 18 Agustus 1945. Soal isi Pancasila dalam konstitusi yang pernah berlaku pada dasarnya dasar falsafahnya tetap sama, yaitu Pancasila. Begitulah landasan teoritis yang dibangun Notonagoro untuk memagari Pancasila dengan ilmu pengetahuan
Soekarno dan Hatta (news.liputan6.com)

Soekarno-Hatta

Soekarno sendiri sebagaimana terurai diatas yang menyampaikan Pancasila 1 Juni mendapatkan gelar doktor honoris causa ilmu hukum dari UGM dengan promotor Notonagoro. Alasan pemberian gelar dari UGM sebagaimana dikemukakan Notonagoro pada 19 September 1951 karena jasanya sebagai pencipta Pancasila itu terhadap masyarakat, bangsa, Negara, pendidikan dan pengajaran serta ilmu pengetahuan (Notonagoro, 1974).

Dengan Soekarno yang pertama mengemukakan Pancasila, isi pidatonya pada 1 Juni itu menjadi penting disamping penjelasan pelaku sejarah lain sebagai bahan untuk memahami ajaran Pancasila yang telah ditetapkan bersama sebagai dasar negara Indonesia. Secara khusus Soekarno pernah menjelaskan sebab Indonesia berdasarkan Pancasila dan menjelaskan makna kelima sila dalam Pancasila untuk memahami makna sila-sila dalam Pancasila langsung dari penggalinya.(Baca: Sebab Indonesia Berdasarkan Pancasila)

Hatta sebagai pelaku sejarah dan tokoh yang meluruskan sejarah mendapatkan gelar doktor honoris causa dalam ilmu hukum dari UI, Jakarta dengan promotornya, Dekan Fakultas Hukum, UI, Padmo Wahjono. Alasan pemberian gelar kepadanya, kata Padmo,  karena Hatta banyak menggali bidang-bidang ilmu hukum serta mengemukakan masalah dengan solusi hukum. Kegiatan Hatta yang dianggap berkaitan hukum saat menempuh pendidikan doktoralnya yang mengkaji ilmu tata Negara dan admninistrasi, ilmu keuangan Negara, dan hukum internasional. Selain itu mempertimbangkan pula karya pembelaannya berjudul “Indonesie Vrij” pada 1928 dan karyanya “Dari Politiestaat ke ‘Rechts’-staat dan kembali lagi ke Politiestaat” pada 1931 (Hatta, 1980).

Saat menerima gelar pada 30 Agustus 1975, Hatta menegaskan bahwa Pancasila lahir pada 1 Juni. “Seperti diketahui, Pancasila lahir pada 1 Juni 1945, dalam sidang Panitia Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan, sebagai intisari pidato Bung Karno, yang diucapkannya sebagai jawaban atas pertanyaan Ketua Panitia itu dr. K.R.T. Radjiman Wedioningrat. Pertanyaan itu ialah: Negara Indonesia merdeka yang akan dibentuk, apa dasarnya?”, katanya.

Mereka semua di atas merupakan ahli-ahli hukum yang berkontribusi besar dalam peristiwa bersejarah di seputar 1 Juni sebagai Hari Lahir Pancasila. Tidak semua dibahas di sini, karena tulisan ini asalnya dari keinginan  “nyetatus” di FB saja terus lanjut menulis sampai agak panjang. Biar tidak hilang disimpan di blog.

Akhirnya Selamat Hari Lahir Pancasila pada 1 Juni. Terima kasih Bung Karno atas pidatonya untuk Indonesia.

10 Juni 2016


Miftakhul Huda