Selasa, 21 Juni 2016

Kekuatan dan Implikasi Hukum Hasil Audit BPK terhadap Penyelidikan KPK Kasus Sumber Waras



RS Sumber Waras (tempo.co)
Dalam tulisan ringan ini saya ingin mendiskusikan beberapa isu hukum terkait kasus Sumber Waras yang sebelumnya dinyatakan Komisi Pemberantasan Korupsi "tiada perbuatan melawan hukum", yaitu:  
Pertama, apakah adanya "kerugian negara" merupakan unsur yang harus ada dalam kejahatan korupsi? 
Kedua, bagaimana praktik penyelidikan dan penyidikan dan posisi hasil audit BPK? 
Ketiga, bagaimana kekuatan dan implikasi hukum hasil audit BPK terhadap proses penyelidikan serta bagaimana tindak lanjut penyelesaian kerugian negara?



Beberapa isu hukum itu perlu didiskusikan kembali sehubungan dalam penyelidikan kasus Sumber Waras, sesuatu tidak lazim terjadi yakni hasil audit oleh BPK mengenai kerugian negara dimentahkan oleh para ahli sesuai keterangan Ketua KPK Agus Rahardjo sebagaimana dimuat di Kompas. Pihaknya sudah mengundang para ahli dari Universitas Gadjah Mada, Universitas Indonesia, dan Masyarakat Profesi Penilai Indonesia (MAPPI). Menurutnya, tidak ada indikasi kerugian negara dalam hasil audit BPK terkait pembelian lahan Sumber Waras. Terkesan bahwa hasil audit lembaga BPK dapat dianulir oleh ahli yang dihadirkan oleh KPK.

Pada Senin lalu, 20 Juni, dalam kesepakatan antara KPK dengan BPK, selain menyepakati bahwa kedua lembaga saling menghormati kewenangan masing-masing, salah satu kesepakatan lainnya yaitu BPK tetap menyatakan terjadi penyimpangan dalam permasalahan RS Sumber Waras. Berdasarkan amanat UUD 1945, Pasal 23E ayat (3), Pemprov. DKI Jakarta tetap harus menindaklanjuti Laporan Hasil Pemeriksaan atas Laporan Keuangan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta Tahun 2014 yang telah diterbitkan, Kompas (21/06/2016). Dalam pernyataan sebelumnya, Ketua BPK Harry Azhar Azis juga menegaskah hal sama bahwa LHP BPK tetap harus ditindaklanjuti. 

Sebaliknya, Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) menegaskan dana itu tidak dapat dikembalikan karena menurutnya bukan kerugian negara. Dia menyatakan memilih temuan itu tidak dilanjuti dan uang itu tidak bisa dikembalikan. "Sanksi juga administrasi palingan. Paling tetap WDP atau tidak wajar, ya terserah saja, " ujar Ahok, Kompas (21/06/2016).

Adanya "kerugian negara" bukan unsur mutlak delik korupsi

Harus diakui, ada atau tidaknya unsur kerugian negara bukan unsur mutlak adanya korupsi. Dapat dikatakan bahwa adanya temuan kerugian negara oleh BPK tidak selalu membuktikan terjadi kejahatan korupsi. Tidak adanya kerugian negara juga belum dapat disimpulkan tidak ada kejahatan korupsi.

Faktor penentu ada atau tidaknya kejahatan korupsi adalah terpenuhinya unsur-unsur dalam rumusan delik dan tidak ada keharusan terjadinya kerugian negara nyata. Sebagaimana dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (PTPK) yang memuat unsur kerugian negara menyebut kata “dapat” merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. 

Sebagaimana Pasal 2 ayat (1) memuat unsur inti delik dalam pasal tersebut yaitu ”Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah)”. 

Adapun Pasal 3 menyatakan, ”Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah)”. 

Hal demikian berkesesuaian dengan pertimbangan putusan Mahkamah Konstitusi yang menyatakan, ”... bahwa kata “dapat” dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU PTPK menyebabkan perbuatan yang akan dituntut di depan pengadilan, bukan saja karena perbuatan tersebut “merugikan keuangan negara atau perekonomian negara secara nyata”, akan tetapi hanya “dapat” menimbulkan kerugian saja pun sebagai kemungkinan atau potential loss, jika unsur perbuatan tindak pidana korupsi dipenuhi, sudah dapat diajukan ke depan pengadilan. Kata “dapat” tersebut harus dinilai pengertiannya menurut Penjelasan Pasal 2 ayat (1) tersebut di atas, yang menyatakan bahwa kata ”dapat” tersebut sebelum frasa ”merugikan keuangan negara atau perekonomian negara”, menunjukkan bahwa tindak pidana tersebut merupakan delik formil, yaitu adanya tindak pidana korupsi, cukup dengan dipenuhinya unsur perbuatan yang dirumuskan, bukan dengan timbulnya akibat.” (Vide pertimbangan putusan MK No.003/PUU-IV/2006) 

Kata dapat sebenarnya untuk mengantisipasi kejahatan yang mengakibatkan kerugian dalam skala besar yang sulit untuk membuktikannya. Dengan kata lain tiadanya bukti yang akurat mengenai kerugian nyata sementara kejahatan sangat membahayakan negara membuat lolosnya pelaku karena sulitnya proses pembuktian. Dengan tindak pidana menjadi delik formil, dalam hal semua unsur delik terpenuhi seseorang dapat terbukti melakukan kejahatan korupsi yang tidak mensyaratkan akibat kerugian negara. 

Kata ”dapat” sebelum ”kerugian negara” dalam delik formil mempunyai implikasi unsur kerugian negara harus dibuktikan dan harus dapat dihitung, meskipun sebagai perkiraan atau meskipun belum terjadi. Menurut pertimbangan putusan MK bahwa ”Kesimpulan demikian harus ditentukan oleh seorang ahli di bidangnya. Faktor kerugian, baik secara nyata atau berupa kemungkinan, dilihat sebagai hal yang memberatkan atau meringankan dalam penjatuhan pidana”. 

Proses penyelidikan dan penyidikan menggunakan LHP BPK  

Sebagaimana pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan oleh BPK dalam menjalankan tugas konstitusional menurut Pasal 23E UUD 1945 hasilnya diserahkan kepada DPR, DPD, dan DPRD. Lembaga wakil rakyat di pusat maupun di daerah harus menindaklanjuti hasil pemeriksaan BPK menurut Pasal 7 ayat (2) UU 15/2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan, yakni: "DPR, DPD, dan DPRD menindaklanjuti hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai dengan Peraturan Tata Tertib masing-masing lembaga perwakilan". 

Untuk keperluan tindak lanjut itu, sehingga Pasal 8 ayat (1) dan (2) menyatakan bahwa BPK menyerahkan hasil pemeriksaan secara tertulis kepada presiden, gubernur, bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya. Tindak lanjut hasil pemeriksaan BPK diberitahukan secara tertulis oleh presiden, gubernur, dan bupati/walikota kepada BPK. Ketentuan tersebut ditegaskan pula dalam UU
15/2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan Keuangan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara, bahkan menyatakan selengkapnya berikut ini.

Pasal 20
(1) Pejabat wajib menindaklanjuti rekomendasi dalam laporan hasil pemeriksaan.

(2) Pejabat wajib memberikan jawaban atau penjelasan kepada BPK tentang tindak lanjut atas rekomendasi dalam laporan hasil pemeriksaan.

(3) Jawaban atau penjelasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan kepada BPK selambatlambatnya 60 (enam puluh) hari setelah laporan hasil pemeriksaan diterima.

(4) BPK memantau pelaksanaan tindak lanjut hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

(5) Pejabat yang diketahui tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikenai sanksi administratif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang kepegawaian.

(6) BPK memberitahukan hasil pemantauan tindak lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (4) kepada lembaga perwakilan dalam hasil pemeriksaan semester.

Sesuai dengan kewenangan yang diberikan undang-undang, apabila dalam pemeriksaan ditemukan adanya tindak pidana BPK dapat melaporkan hal tersebut kepada instansi yang berwenang (Pasal 8 ayat (3) UU 15/2006, Pasal 62 ayat (2) UU 1/2004 tentang Perbendaharaan Negara, Pasal 14 ayat (1) UU 15/2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan Keuangan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara). Laporan BPK tersebut ditegaskan dalam UU 15/2006 dijadikan "dasar penyidikan" yang berwenang sesuai dengan peraturan perundang-undangan (Pasal 8 ayat (4).

Meskipun dalam fungsi pengawasan lembaga wakil rakyat tidak menindaklanjuti temuan-temuan dalam Laporan Hasil Pemeriksaan BPK, temuan kerugian negara yang disebabkan tindakan seseorang melanggar hukum dan kelalaian selama ini LHP sering kali menjadi data dan bukti awal penegak hukum dalam memulai proses penyelidikan dan penuntutan. LHP BPK itu selalu menjadi bukti awal seseorang melaporkan kasus ke penegak hukum. Artinya, tidak selalu dengan adanya temuan kerugian negara yang diduga karena adanya pelanggaran peraturan perundang-undangan dalam LHP BPK, penegak hukum menindaklanjuti atau lembaga wakil rakyat menindaklanjuti sesuai fungsi pengawasannya.

Penegak hukum sendiri tidak menindaklanjuti temuan BPK itu karena menila sebagai berikuti: tidak ada unsur korupsi di sana, tidak cukup bukti, bukan menjadi prioritas penanganan kasus oleh KPK maupun polisi/jaksa, dan tidak adanya permintaan menindaklanjuti dari DPR atau laporan masyarakat terkait itu. Dengan kata lain, penegak hukum tidak berbicara mengenai kerugian negara yang sudah ada berdasarkan temuan itu.

Jadi, pada satu sisi penegak hukum mencari dan membuka kebenaran atas peristiwa yang diduga korupsi banyak berangkat dari LHP BPK dan ketika ingin membuktikan adanya atau indikasi kerugian negara juga meminta BPK untuk melakukan audit investigasi. Pada sisi lain kedua lembaga ini memiliki tugas dan fungsi dan standar berbeda, sehingga dalam proses penegakan hukum pidana penegak hukum tidak selalu menindaklanjuti temuan kerugian negara yang berindikasi korupsi oleh BPK.

Untuk temuan kerugian negara yang disebabkan pelanggaran hukum dan kelalaian oleh gubernur, bupati, dan walikota sebagai pimpinan, fungsi pengawasan lembaga wakil rakyat mendapatkan peran penting disamping penegak hukum terutama KPK. Sebab untuk pelanggaran hukum dan kelalaian oleh kepala daerah, presiden mungkinkah memberikan sanksi administrasi kepada gubernut. Dalam posisi sebagai pemimpin puncak di daerah, kontrol dapat dilakukan oleh cabang kekuasaan lain atau oleh penegak hukum yang lebih independen, meskipun UU 17/2003 tentang Keuangan Negara secara tegas menyatakan,“Setiap pejabat negara dan pegawai negeri bukan bendahara yang melanggar hukum atau melalaikan kewajibannya baik langsung atau tidak langsung yang merugikan keuangan negara diwajibkan mengganti kerugian dimaksud” dan UU 15/2006 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara yaitu: Pejabat yang diketahui tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikenai sanksi administratif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang kepegawaian.

Penyelidikan KPK atas rekomendasi DPR 

Manakala LHP BPK yang dilaporkan kepada DPR, DPD, dan DPRD serta diberitahukan kepada presiden, gubernur, bupati dan walikota tersebut kemudian DPR meminta kepada KPK untuk menindaklanjuti sebagaimana kasus Sumber Waras, KPK sebagai penegak hukum harus melaksanakannya sesuai standar penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan. Hal yang sama manakala masyarakat yang melaporkan ke KPK dengan dasar temuan BPK itu. Dengan kondisi ini KPK harus menyikapi kasus sebagai laporan dan pengaduan yang tidak bisa diabaikan begitu saja.

Terlebih lagi UU 15/2006 memberikan kewenangan kepada BPK untuk memantau pelaksanaan tindak lanjut hasil pemeriksaan yang dilakukan instansi pemerintah pusat dan daerah yang hasilnya diberitahukan secara tertulis kepada DPR, DPD, DPRD, serta Pemerintah. Artinya, kerugian negara sebagai temuan BPK tidak dapat begitu saja diabaikan oleh Pemprov. DKI Jakarta.

Menurut saya, dengan adanya dasar LHP BPK dan DPR meminta menindaklanjuti dugaan korupsi atau tidak pidana, KPK dapat melakukan penyelidikan dengan berkoordinasi dengan BPK dalam rangka pembuktian tindak pidana korupsi. Berdasarkan temuan kerugian negara yang melanggar peraturan perundang-undangan, KPK dapat memeriksa saksi maupun ahli dan lainnya. Untuk memperdalam fakta, dasar hukum, dan nilai kerugian, KPK dapat meminta BPK melakukan audit investigasi. Hasil audit dengan tujuan tertentu dapat memperkuat audit sebelumnya atau bahkan hasilnya berbeda. KPK pun dapat membuktikan sendiri di luar temuan BPK dengan mengundang ahli atau meminta bahan dari dari inspektorat jenderal atau badan yang mempunyai fungsi yang dalam rangka membuktikan kebenaran materiil.

Dalam proses penyelidikan tersebut tidak bisa hindari, KPK membuat terang mengenai fakta-fakta seputar unsur-unsur rumusan delik yang diselidiki yaitu Pasal 2 ayat 1) dan Pasal 3 UU PTPK. Dengan kedua pasal ini sebagai titik tolak, semestinya KPK fokus dengan unsur-unsur dalam rumusan dua delik tersebut sebagai delik formil. 

Dalam kasus Sumber Waras, sesuai pemberitaan di media perbedaan terutama terletak pada perbedaan pendapat terkait tahapan-tahapan pengadaan tanah, apakah pembelian lahan Sumber Waras oleh Pemprov. DKI Jakarta menggunakan Perpres 71/2012 tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum atau Perpres 40/2014 tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 71 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum. Hal ini umumnya dikemukakan para ahli antara lain ahli hukum pidana Eddy OS Hiariej, ”KPK Vs BPK” dalam Harian Kompas, 18 Juni. Umumnya pandangan para ahli menyatakan bahwa dengan ketentuan Pasal 121 Perpres 40/2014, maka norma-norma yang diatur dalam Perpres 71/2012 tidak berlaku untuk seluruhnya untuk pengadaan tanah dalam skala kecil. 

Pandangan umumnya para ahli adalah tidak tepat. Mengenai pengadaaan tanah skala kecil tidak hanya dilaksanakan di Jakarta, tetapi juga dilaksanakan di berbagai daerah. Sehingga kasus Jakarta dapat dibandingkan dengan penerapan ketentuan tersebut pada rentang waktu yang sama. Dalam beberapa kasus korupsi mengenai penerapan pasal itu juga sudah banyak dijatuhkan putusan oleh pengadilan tipikor. Harus diperjelas bahwa keberadaan Perpres 40/2014 bukan menggantikan Perpres 71/2012, tetapi hanya mengubah Pasal 120 dan Pasal 121. Sementara Pasal 121 Perpres 40/2014 hanya menentukan bahwa “Dalam rangka efisiensi dan efektifitas, pengadaan tanah untuk Kepentingan Umum yang luasnya tidak lebih dari 5 (lima) hektar, dapat dilakukan langsung oleh Instansi yang memerlukan tanah dengan para pemegang hak atas tanah, dengan cara jual beli atau tukar menukar atau cara lain yang disepakati kedua belah pihak”. Pasal ini hanya mengubah pengadaan skala kecil yang sebelumnya ukurannya kurang dari 1 hektar menjadi kurang dari 5 hektar. 

Sehingga ketentuan Perpres 71/1012 masih berlaku mengikat kecuali hal-hal yang diatur sebaliknya dalam Perpres 40/2014 yaitu:
- Pengadaan tanah dilakukan langsung oleh Instansi yang memerlukan tanah dengan para pemegang hak atas tanah. 
- Dengan cara jual beli atau tukar menukar atau cara lain yang disepakati kedua belah pihak. 

Artinya, pengadaan tanah yang kurang dari 5 hektar dilakukan langsung oleh Instansi yang memerlukan tanah (Pemprov. DKI Jakarta) dengan para pemegang hak atas tanah (Sumber Waras) tanpa melalui “Pelaksana Pengadaan Tanah” yang diketuai Kepala Kanwil BPN yang susunan anggotanya terdiri atas: 
a. Pejabat yang membidangi urusan Pengadaan Tanah di lingkungan Kantor Pertanahan; 
b. Pejabat pada Kantor Pertanahan setempat pada lokasi Pengadaan Tanah; 
c pejabat satuan kerja perangkat daerah provinsi yang membidangi urusan pertanahan; 
d. Camat setempat pada lokasi Pengadaan Tanah;dan 
e. Lurah/kepala desa atau nama lain pada lokasi Pengadaan Tanah. 

Adapun ketentuan yang mengatur prinsip-prinsip pengadaan tanah dan tahapan perencanaan dan persiapan yang diselenggarakan oleh Instansi yang memerlukan tanah tetap berlaku. Misalkan saja, pengadaan tanah kurang dari 5 hektar masih diperlukan dokumen perencanaan pengadaan tanah yang ditetapkan pimpinan instansi yang memuat survei sosial ekonomi, kelayakan lokasi, analisis biaya dan manfaat pembangunan bagi wilayah dan masyarakat, perkiraan nilai tanah, dampak lingkungan dan dampak sosial yang mungkin timbul akibat dari pengadaan tanah dan pembangunan dan lainnya. 

Dalam pengadaan tanah kurang dari 5 hektar masih memerlukan membentuk Tim Persiapan yang bertugas: 
a. melaksanakan pemberitahuan rencana pembangunan; 
b. melaksanakan pendataan awal lokasi rencana pembangunan; 
c. melaksanakn Konsultasi Publik rencana pembangunan; 
d. menyiapakan Penetapan Lokasi Pembangunan; 
e. mengumumkan Penetapan Lokasi Pembangunan untuk kepentingan Umum; dan 
f. melaksanakan tugas lain yang terkait periapan Pengadaan Tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum. 

Adapun ”Pelaksana Pengadaan Tanah” dapat ditetapkan Instansi yang memerlukan tanah (Pemprov. DKI Jakarta) sendiri dengan susunan anggota dari satuan kerja daerah yang membidangi urusan tanah, hukum, pengadaan dan tentunya camat atau lurah setempat sesuai lokasi pengadaan tanah. Kegiatan-kegiatan dalam penyiapan pelaksanaan, inventarisasi dan identifikasi, penetapan nilai kerugian, musyawarah penetapan bentuk kerugian, pemberian ganti kerugian, pelepasan hak objek dan lainnya dapat mempedomani ketentuan Perpres 71/1012. Instansi yang memerlukan tanah dapat menggunakan hasil penilaian jasa penilai dalam menentukan nilai jual beli atau tukar menukar atau cara lain yang disepakati kedua belah pihak sesuai Peraturan Kepala BPN 5/2012. 

Penilaian KPK atas dasar pengadaan tanah skala kecil ini menentukan terpenuhi atau tidak unsur "perbuatan melawan hukum" dan "penyalahgunaan wewenang". KPK yang menentukan adanya "perbuatan melawan hukum dalam arti formil" dalam pengertian hukum pidana dan menilai "penyalahgunaan wewenang" sebagaimana yurisprudensi tetap Mahkamah Agung seperti konsep hukum administrasi yaitu: menggunakan wewenangnya untuk tujuan lain dari maksud diberikan wewenang tersebut (Putusan MA No.1340 K/Pid/1992 tertanggal 17 februari 1992). 

Sebagaimana dalam tulisan sebelumnya (Baca: KPK Tidak Menemukan "Perbuatan Melawan Hukum" Kasus Sumber Waras? dan KPK Tidak Menemukan "Perbuatan Melawan Hukum" Kasus Sumber Waras?(Lanjutan)) dalam menilai unsur ”perbuatan melawan hukum” dan ”penyalahgunaan wewenang” ini KPK hanya dapat menggunakan sifat melawan hukum dalam arti formil dan positif, bukan sebaliknya dalam arti materiil dan negatif.

Dalam menilai unsur ini kerap bersinggungan dengan kebebasan kebijakan atau beleidsvrijheid/freies ermessen sebagaimana tindakan pemerintah dibutuhkan ruang gerak dan kecepatan dalam fungsi pemerintah yang lebih luas. Dugaan korupsi oleh pejabat negara menyangkut kerugian negara selalu menggunakan argumen ini sebagaimana kasus Akbar Tandjung (Putusan MA No.572 K/Pid/2002). 

Dalam kasus Sumber Waras, dapatkah Pemprov. DKI Jakarta dalam melakukan pengadaan tanah kurang dari 5 hektar kemudian mengabaikan prinsip-prinsip pengadaan tanah secara umum dan mengabaikan tahapan-tahapan persiapan dan perencanaan dan menganggapnya hanya seperti proses pembelian tanah sebagaimana masyarakat umum lakukan? Dapatkah Pemprov. DKI Jakarta mendasarkan pada diskresi pemerintah (freies ermessen)? 

Mengenai jawaban hal ini silakan menilai sendiri berdasarkan fakta-fakta hukum. Dari proses penyelidikan yang serius oleh penegak hukum untuk mengungkap semua fakta-fakta hukum akan tampak apakah terdapat kesengajaan berbagai pelanggaran undang-undang dan peraturan lain apakah untuk memperkaya diri sendiri atau orang lain serta untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain. Misalkan benar adanya pelanggaran hukum sesuai fakta-fakta hukum untuk dapat menyatakan sebagai diskresi yang dibenarkan atau tidak dalam hukum administrasi perlu pembahasan lebih mendalam.

Apabila terbukti unsur perbuatan melawan hukum dalam arti formil termasuk unsur-unsur inti lain dalam rumusan delik, tidak bisa dihindari akhirnya berurusan dengan unsur "kerugian negara" yang tidak terpisahkan. Demikian pula apabila terbukti adanya penggunaan wewenang untuk tujuan lain dari maksud diberikan wewenang tersebut.

Kedudukan ”kerugian negara” menurut LHP dan hasil audit investigasi

Menurut saya, berdasarkan asas hukum administrasi, LHP BPK merupakan produk lembaga negara dalam menjalankan tugas dan wewenang konstitusional yang harus dianggap benar sampai dapat dibuktikan sebaliknya (presumptio juatae causa/vermoeden van rechtmatigheid). Sehingga untuk membuktikan ketidakbenaran hasil audit tersebut selayaknya melalui proses pembuktian dan persidangan di pengadilan. Bahkan, hasil audit dalam LHP BPK menurut yurisprudensi Mahkamah Agung tidak dapat digugat secara perdata di pengadilan negeri.

Artinya, dalam proses penyelidikan maupun penyidikan KPK tidak dapat mengabaikan hasil audit BPK terutama apabila hasil audit investigasi atas permintaan KPK, tentunya standar pemeriksaan yang dilakukan lebih ketat. Kedudukan hasil audit BPK dapat disamakan sebagaimana hasil visum et repertum yang tidak bisa dibantah (untuk sementara) hanya oleh ahli meskipun seorang dokter atau hanya keterangan saksi yang mengetahui peristiwa pidana berlangsung. Kedudukan LHP dan hasil audit investigasi harus dianggap benar oleh KPK dengan penyelidik sendiri menyimpulkan terbuktinya unsur-unsur inti delik lain dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU PTPK. Biarlah hasil audit tersebut dilawan dengan penilaian auditor lain di pengadilan. 

Dari sisi hukum pidana (hukum acara) pun, LHP maupun hasil audit investigasi merupakan ”alat bukti surat” sebagai alat bukti yang sah sebagaimana menurut Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Alat bukti surat tersebut untuk membuktikan adanya kerugian negara, sementara temuan pelanggaran hukum dan kelalaian (tindak pidana) serta fakta-fakta yang lebih lengkapnya adalah sesuai pengungkapan fakta-fakta hukum sesuai kewenangan penyelidik masih dapat diuji kembali dalam proses pembuktian di persidangan.

Dengan putusan MK yang menguji mengenai ketentuan keterangan ahli, saya rasa pengertian keterangan ahli harus dimaknai sebagaimana putusan MK yakni keterangan ahli bukan keterangan pemeriksa BPK yang membuat adanya temuan tindak pidana (Lihat Pertimbangan Putusan MK No. 54/PUU-XII/2014). Pemeriksa BPK yang menemukan tindak pidana hanya memberikan keterangan  dalam pemeriksaan yang semestinya hanya ditempatkan sebagai saksi, yakni saksi yang mengetahui proses penemuan dan pembuatan LHP itu. Sehingga tanpa kesaksian pemeriksa BPK yang menemukan juga tidak menjadi persoalan, karena hasil audit tersebut sudah cukup. Untuk kepentingan pendalaman, dalam proses penyelidikan maupun penyidikan, KPK dapat melengkapi hasil audit tersebut dengan kesaksian auditor yang memeriksa maupun alat bukti lainnya terkait kerugian negara.

Justru yang menarik adalah misalkan dalam kasus tertentu, KPK meminta audit investigasi BPK kemudian misalkan KPK meminta juga kepada BPKP untuk mengaudit ulang dan hasilnya berbeda. Dalam kasus ini, misalkan terjadi, saya rasa tidak terlepas dari standar pemeriksaan mereka. Misalkan hasil audit BPKP selalu menyatakan audit dilakukan berdasarkan dokumen yang diterima. Sedangkan audit BPK memiliki standar berbeda, misalkan sampai kepada cek fisik. Artinya untuk menilai kerugian negara hasil dua lembaga berbeda baru timbul persoalan hasil audit mana yang dikuti. Sedangkan dalam hal LHP dan hasil audit investigasi yang sudah menyatakan hal yang tidak jauh berbeda, semestinya KPK sepanjang terkait kerugian negara harus menganggapnya benar dan menempatnya sebagai alat bukti surat. Adapun penilaian ahli yang tidak melakukan pemeriksaan dan hanya berdasarkan pengetahuan semata, bagaimana dapat menyimpulkan adanya kerugian negara?   

Meskipun hasil audit BPK harus dianggap benar dan sebagai satu alat bukti yang sah, ada atau tidaknya kejahatan korupsi tergantung penilaian penyelidik atas unsur-unsur yang lainnya. Apabila unsur-unsur lain terbukti maka kerugian negaranya menggunakan hasil audit yang telah dilakukan. Apabila terdapat perbedaan dasar yang mengakibatkan perbedaan nilai kerugian, maka KPK dapat meminta audit ulang. Sebaliknya apabila unsur-unsur lain tidak terbukti, otomatis kerugian negara tidak memiliki arti dalam proses pidana karena bukan merupakan kejahatan korupsi.

Sebagaimana uraian di atas, semestinya KPK tidak menguji kualitas hasil audit yang sudah sesuai standar pemeriksaan mereka, terlebih lagi audit yang dilakukan dalam menjalankan tugas dan wewenang konstitusional dan bukan oleh auditor swasta/independen, tidak bisa digugurkan begitu saja dengan keterangan ahli/saksi yang tidak melakukan proses pemeriksaan mendalam sampai cek fisik di lapangan. Dalam hal ini KPK sudah menjadi hakim dalam penyelidikan. Hal ini menjadi preseden buruk terduga koruptor akan setiap saat mempersolkan hasil audit BPK maupun BPKP dalam proses penyelidikan dan penyidikan meskipun sudah sesuai standar pemeriksaan sekalipun. 

Sehingga pernyataan Ketua KPK mengenai tiadanya kerugian negara berdasarkan keterangan ahli yang diundang adalah penilaian sepihak. Semestinya hal ini dibuktikan saja di pengadilan. Sepanjang ahli tersebut membuktikan unsur-unsur lain dalam proses penyelidikan masih dapat diterima, tetapi dari keterangan ahli yang menganulir kerugian negara dalam LHP BPK dan hasil audit investigasi, kemudian KPK berkiblat terhadap ahli tersebut adalah keputusan yang patut dipertanyakan terlebih ahli yang berbeda dapat menyimpulkan hal yang berbeda mengenai persoalan yang sama. Soal keterangan ahli yang berbeda dapat menyatakan hal yang berbeda mengenai persoalan sama terbukti dalam praktik hukum. Apabila kerugian negara hasil audit BPK bisa diuji KPK dengan keterangan ahli, siapa bisa menguji keputusan KPK dibenarkan oleh hukum?

Dengan KPK menyatakan tiada perbuatan melawan hukum dalam kasus Sumber Waras, bagaimana dengan tindak lanjut kerugian negara?  Apabila melalui proses pengadilan dapat dilihat pertimbangan putusan, apakah terjadi pelanggaran hukum atau tidak, atau apakah hanya pelanggaran administrasi semata atau sudah pelanggaran pidana. Hal ini dapat menjadi dasar proses penyelesaian kerugian negara yang ditetapkan BPK. Namun, dengan status KPK mengenai Sumber Waras, akhirnya pada dasarnya tidak ada proses penyelesaian yang final, karena bisa terjadi adanya bukti baru atau KPK ke depan punya penilaian lain.

Dengan kondisi ini, kekuatan dan impikasi hukum temuan adanya kerugian negara yang disebabkan tindakan seseorang yang melanggar hukum atau kelalaian sesuai hasil audit BPK tetap sebagaimana sesuai uraian ketentuan undang-undang di bagian atas bahwa temuan itu wajib ditindaklanjuti oleh pejabat yang terkait. Sebagaimana menurut Pasal 20 (1) UU 15/2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan, yakni "Pejabat wajib menindaklanjuti rekomendasi dalam laporan hasil pemeriksaan". Pasal 20 ayat (5) UU 15/2004  tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara juga menyebutkan, "Pejabat yang diketahui tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikenai sanksi administratif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang kepegawaian". Hal demikian dinyatakan tegas pula dalam Pasal 35 ayat (1) UU 17/2003 tentang Keuangan Negara yang menyatakan, "Setiap pejabat negara dan pegawai negeri bukan bendahara yang melanggar hukum atau melalaikan kewajibannya baik langsung atau tidak langsung yang merugikan keuangan negara diwajibkan mengganti kerugian dimaksud".

Dengan dasar ketiga undang-undang tersebut mewajibkan kepada pejabat untuk menindaklanjuti hasil pemeriksaan BPK. Apabila tidak ditindaklanjuti membawa implikasi hukum dikenakannya sanksi administratif kepada pejabat tersebut. Dalam kasus Sumber Waras, sehingga apabila tindak lanjut itu tidak dilaksanakan maka benar apa yang dikemukakan Gubernur Ahok bahwa sanksinya adalah sanksi administrasi.

Namun, yang kurang diperhatikan bahwa, undang-undang juga memberikan kewenangan melaporkan adanya tindak pidana dan temuan BPK yang diposisikan sebagai "dasar penyidikan".  Konsekuensinya BPK secara kelembagaan masih dapat melaporkan kasus tersebut kepada penegak hukum lain (kejaksaan maupun kepolisian) baik dalam pemerintahan saat ini atau pada saat pemerintahan mendatang. Jika KPK saat ini dapat menilai kerugian negara, barangkali KPK periode mendatang punya pandangan lazimnya dalam hukum acara pidana. Lembaga perwakilan secara kelembagaan juga dapat menjalankan pengawasan untuk memenuhi kerugian negara. Adapun mengenai sanksi administratif menjadi domain eksekutif. 

Semua hal tersebut tidak akan terjadi jika dalam ketentuan undang-undang menetapkan mekanisme keberatan terhadap hasil audit BPK dan ada mekanisme pula untuk menguji keputusan KPK saat tidak menaikkan status penyelidikan ke penyidikan. Artinya, pada kedua lembaga tersebut sangat terbuka adanya penyimpangan. Sehingga ketika sudah melalui proses itu, sudah tertutup upaya "ngeles" dari pihak manapun. 

Selama ini pemberitaan sangat menyudutkan BPK dengan pernyataan KPK bahwa tiada kerugian negara yang selama ini hampir tidak pernah dilakukan oleh penegak hukum, karena hal ini selalu dilakukan penasehat hukum tersangka korupsi. KPK dalam hal ini ditempatkan selalu benar, padahal penyelidikan yang menjadi otoritas penuh KPK dengan tiada kontrol dan keberataan juga menyimpan bara potensi penyimpangan.


Semoga bermanfaat. 

Salam, 

Jakarta, 21 Juni 2016 

Miftakhul Huda