Kamis, 16 Juni 2016

KPK Tidak Menemukan “Perbuatan Melawan Hukum” dalam Kasus Sumber Waras?


Sisi Kompleks RS Sumber Waras (Kompas.com)
Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Agus Rahardjo menyatakan tidak menemukan adanya tindak pidana korupsi dalam kasus pembelian lahan milik Rumah Sakit Sumber Waras oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, Selasa lalu (14/6/2016).

Sebagaimana dalam pemberitaan Kompas.com, KPK menyatakan: 
Pertama, penyidik KPK tidak menemukan adanya "perbuatan melawan hukum".
Kedua, KPK sudah mengundang para ahli seputar kasus itu yang hasilnya tidak ada kerugian negara dalam hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan.
Ketiga, menyikapi hasi kerja penyidik, KPK akan bertemu BPK.

Tulisan ini tidak membahas kerugian negara maupun rencana pertemuan antara KPK dan BPK. Hal yang jauh lebih penting adalah menguraikan apa makna perbuatan melawan hukum sebagai ajaran penting dalam hukum pidana, sehingga dapat digunakan untuk menilai fakta-fakta hukum di seputar kasus itu. Sementara mengenai kebenaran fakta-fakta hukum adalah sangat menentukan, apakah perbuatan memenuhi unsur perbuatan melawan hukum, padahal hasil audit, hasil pemeriksaan saksi/ahli, dan alat-alat bukti lain berada di KPK. Sehingga kritik yang mengemuka di media hanya di permukaannya kasus semata.

Dengan menghormati penilaian KPK itu, menurut saya kesimpulan KPK masih perlu diperjelas maksudnya soal tidak menemukan adanya ”perbuatan melawan hukum” dalam kasus Sumber Waras. 

Apakah dalam proses penyelidikan itu KPK sedang menggunakan Pasal 2 ayat (1) UU PTPK (UU 31/1999 yang telah diubah dengan UU 20/ 2001) di mana perbuatan melawan hukum merupakan inti delik (bestanddeel)?

Apakah KPK memakai perbuatan melawan hukum sebagai unsur yang selalu melekat (inhaerent) dalam setiap rumusan delik korupsi, sehingga KPK menyatakan tidak memenuhi perbuatan melawan hukum?

Apakah KPK mendasarkan "tiadanya perbuatan melawan hukum secara meteriil" sehingga menjadi alasan tidak menaikkan status penyelidikan menjadi penyidikan?

Untuk itulah  pentingnya pertanggungjawaban KPK kepada publik alasan dan dasar sebuah kasus tidak dinaikkan ke penyidikan. Sedangkan untuk perkara dalam penyidikan tidak perlu dikhawatirkan karena minimal KPK sudah ada yang mengontrol, yaitu tersangka.
 
Apabila KPK menggunakan Pasal 2 ayat (1) UU PTPK sebagai titik tolak dan kemudian menilai tidak terpenuhinya unsur perbuatan melawan hukum, kesimpulan KPK dapat diuji berdasarkan ukuran dan standar ilmu hukum pidana yang lazim ketika menilai “terpenuhinya” perbuatan melawan hukum berdasarkan peraturan perundang-undangan, yurisprudensi Mahkamah Agung, putusan Mahkamah Konstitusi, dan pendapat para ahli hukum pidana.

Unsur perbuatan melawan hukum sebagai inti delik dalam Pasal 2 ayat (1) memiliki konsekuensi unsur tersebut harus dirumuskan dalam dakwaan dan dibuktikan di pengadilan. Hal berbeda apabila KPK menggunakan pasal-pasal lain yang tidak memuat unsur melawan hukum dan menggunakan alasan unsur perbuatan melawan hukum sebagai unsur yang melekat pada pada tiap delik pidana (inheren), maka unsur demikian tidak perlu dirumuskan dalam dakwaan dan dibuktikan di depan pengadilan. Karena setiap rumusan delik pada dasarnya sebagai pengejawantahan perbuatan melawan hukum.

“Perbuatan melawan hukum” menurut UU PTPK

Sebagaimana perbuatan melawan hukum termuat dalam Pasal 2 ayat (1) UU PTPK yang menyatakan, “Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian Negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000,00 (satu milyar rupiah)”. Sebagaimana kita tahu, dengan rumusan delik demikian menegaskan bahwa perbuatan melawan hukum harus dibuktikan. Memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi harus dibuktikan tidak melalui jalan legal, tetapi dengan cara-cara melawan hukum.

Lebih jauh perbuatan melawan hukum dijelaskan dalam Penjelasan Pasal 2 ayat (1) UU PTPK yang menyatakan ”Yang dimaksud dengan ’secara melawan hukum’ dalam Pasal ini mencakup perbuatan melawan hukum dalam arti formil maupun dalam arti materiil, yakni meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan, namun apabila perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan sosial dalam masyarakat, maka perbuatan tersebut dapat dipidana”

Berdasarkan ketentuan tersebut di atas dapat dikatakan, perbuatan melawan hukum tidak hanya dalam arti formil tetapi juga materiil. Dengan demikian UU PTPK menganut dua ajaran sekaligus, yaitu melawan hukum yang formil (formeele wederrechtelijk) dan melawan hukum yang materiil (materiele wederrechtelijk). Apa makna perbuatan melawan hukum dalam kedua arti itu?

Menurut Domein Vermunt mengacu kepada Von Lizt, dikatakan perbuatan memiliki sifat melawan hukum formil adalah perbuatan yang bertentangan dengan suatu norma yang ditetapkan negara berupa perintah dan larangan. Sedangkan sifat melawan hukum materiil adalah pelanggaran terhadap kepentingan-kepentingan sosial yang dilindungi oleh norma-norma hukum perorangan atau masyarakat termasuk perusakan atau membahayakan suatu kepentingan hukum (Sapardjaja, 2002). Untuk memperdalam hal ini dapat ditemukan dalam buku Tresna, Azas-Azas Hukum Pidana (1959), Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana (1987), maupun Roeslan Saleh, Ajaran Melawan Hukum daripada Perbuatan Pidana (1962).

Tegasnya bahwa perbuatan melawan hukum dalam arti formil merupakan perbuatan yang bertentangan dan melawan undang-undang. Adapun mengacu pendapat Vos, perbuatan melawan hukum materiil merupakan perbuatan yang bertentangan dengan dengan asas-asas umum/norma hukum tidak tertulis. Melanggar norma hukum tidak tertulis yakni seperti melanggar kepatutan, kelaziman didalam pergaulan mayarakat yang dipandang perbutam melawan hukum (Poernomo, 1994; Hamzah, 2008).

Perbuatan melawan hukum secara materiil dirumuskan dalam Penjelasan Pasal 2 ayat (1) UU PTPK yaitu “apabila perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan sosial dalam masyarakat, maka perbuatan tersebut dapat dipidana”, sehingga pelanggaran tidak sebatas perbuatan yang melanggar norma hukum negara (peraturan perundang-undangan) untuk dipidananya seseorang atau badan hukum.

UU PTPK juga menganut ajaran perbuatan melawan hukum dalam arti materiil yang diterapkan secara negatif dan positif. Perbuatan melawan hukum dengan fungsi positif memiliki makna  bahwa seseorang dapat dituntut, diadili dan dipidana berdasarkan ukuran melawan hukum yang bersifat materiil, yakni "perbuatan yang dianggap tercela karena  tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan sosial dalam masyarakat".

Artinya, dengan menganut positif itu KPK (dan penyidik dan penuntut umum lain) dapat menuntut seseorang hanya bermodalkan perbuatan itu dianggap tercela di masyarakat, meskipun tidak ada satu pasal pun dalam peraturan perundang-undangan yang melarang. Dengan perbuatan melawan hukum bergandengan dengan kata kerja “memperkaya diri sendiri ..dst”, maka cara memperkaya itu tidak hanya melanggar norma-norma yang tertulis, dapat pula  melanggar norma-norma tidak tertulis.

Sebaliknya apabila diterapkan secara negatif, dengan tidak adanya sifat melawan hukum materiil dapat  menjadi "dasar peniadaan pidana atau alasan penghapus pidana”. Artinya, walaupun perbuatan seseorang memenuhi rumusan pasal dalam delik korupsi, apabila perbuatan dianggap tidak tercela oleh norma-norma tidak tertulis, seseorang tidak dipidana.

“Perbuatan melawan hukum” pasca putusan MK

Berlakunya ukuran perbuatan korupsi yang serba tidak pasti itu tidak berlangsung lama. Dalam putusan No. 03/PUU-IV/2006, 25 Juli 2006, MK menyatakan inkonstitusional dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat Penjelasan Pasal 2 ayat (1) UU PTPK sepanjang frasa yang berbunyi, ”Yang dimaksud dengan ’secara melawan hukum’ dalam Pasal ini mencakup perbuatan melawan hukum dalam arti formil maupun dalam arti materiil, yakni meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan, namun apabila perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan sosial dalam masyarakat, maka perbuatan tersebut dapat dipidana”.

Timbul berbagai penafsiran atas putusan ini. Saya sendiri menilai, dari pertimbangan MK dapat ditarik ratio decidendi bahwa Penjelasan Pasal 2 ayat (1) UU PTPK yang memperluas sifat melawan hukum materiil tidak hanya secara negatif tetapi juga positif bertentangan dengan asas legalitas. Artinya yang dimasalahkan MK adalah penerapan positif perbuatan melawan hukum secara materiil. Dengan kata lain, seseorang dapat dituntut, diadili, dan dipidana menggunakan ukuran-ukuran norma tidak tertulis itu yang tentunya melanggar asas legalitas yang ketat dalam hukum pidana. 

Sehingga dari putusan MK pada dasarnya sifat melawan hukum materiil yang difungsikan negatif dikuatkan oleh MK. Sebelumnya, penerapan sifat melawan hukum secara negatif sudah menjadi yurisprudensi tetap MA. Bahwa apabila ditemukan fakta-fakta antara lain, “negara tidak dirugikan, kepentingan umum dilayani, dan terdakwa tidak mendapatkan untung dari perbuatan yang dilakukannya”, maka meniadakan sifat melawan hukum perbuatan korupsi, meskipun memenuhi rumusan pasal-pasal dalam delik korupsi. Selama ini hanya hakim yang menilai tiadanya perbuatan melawan hukum secara materiil yang akan selalu diungkap terdakwa sebagai pembelaannya.

Bahwa putusan MK itu menyatakan inkonstitusional dan mengikat atas penerapan perbuatan melawan hukum materiil secara positif. Konsekuensinya, pasca putusan MK dibacakan di muka umum, semestinya KPK dan penegak hukum lain (polisi, jaksa, dan hakim) tidak dapat menuntut, mengadili, dan memidana seseorang hanya berdasarkan ukuran-ukuran norma-norma tidak tertulis, antara lain perbuatan yang dianggap tercela yang bisa berbeda-beda ukurannya di tiap daerah. Contoh nyata, polisi dapat menangkap seseorang hanya karena anggapan bahwa orang tersebut dianggap tidak sopan, tidak patut, tidak senonoh, tidak santun, dan sebagainya. Contoh yang demikianlah yang dianggap MK melanggar asas legalitas, karena sepanjang peraturan tertulis tidak melarang tidak boleh polisi menangkap seseorang atas dasar ukuran yang tidak pasti itu.

Dari pertimbangan putusan MK, tampaknya lembaga ini dalam hukum pidana menjaga ketat asas legalitas, di mana seseorang baru dapat dipidana apabila perbuatan telah dilarang dalam undang-undang. Sebaliknya seseorang tidak dapat dipidana jika sebelumnya perbuatan itu belum dilarang dalam undang-undang. Memang serba tidak pasti juga apabila menggunakan norma-norma tidak tertulis, padahal hukuman pidana mempunyai nilai pembalasan dan penderitaan yang tentunya menghilangkan hak-hak asasi seseorang, padahal norma yang dilanggar bisa jadi merupakan norma yang belum pasti dan dan benar-benar hidup. 

Ukuran terpenuhinya "perbuatan melawan hukum secara formil" dalam kasus Sumber Waras

Berdasarkan uraian di atas, apabila unsur perbuatan melawan hukum dikaitkan dengan kasus pembelian lahan miliki RS Sumber Waras oleh Pemprov DKI Jakarta, maka KPK setidaknya hanya perlu menemukan dan membuktikan, apakah terdapat atau tidaknya unsur perbuatan melawan secara formil. Apa ukuran perbuatan melawan hukum secara formil?

Pada pokoknya untuk mengukur apakah ada perbuatan hukum secara formil yaitu dengan dasar peraturan perundang-undangan. Apabila seseorang melanggar peraturan tersebut, yang tentunya berisi norma-norma larangan dan perintah dan sebagainya, sehingga seseorang dapat dinilai memenuhi unsur melawan hukum dalam Pasal 2 ayat (1) tersebut.

Sebagaimana menurut Domein Vermunt mengacu kepada Von Lizt, dikatakan sifat melawan hukum formil adalah perbuatan yang bertentangan dengan suatu norma yang ditetapkan negara berupa perintah dan larangan (Sapardjaja, 2002). Ukuran perbuatan melawan hukum yaitu perbuatan-perbuatan dilarang oleh undang-undang atau perbuatan yang melanggar perintah di dalam undang-undang (Tresna, 1959: 66). 

Terkait perbuatan melawan hukum formil, pertimbangan MK juga menyatakan:
Hal demikian menuntut bahwa suatu tindak pidana memiliki unsur melawan hukum, yang harus secara tertulis lebih dahulu telah berlaku, yang merumuskan perbuatan apa atau akibat apa dari perbuatan manusia secara jelas dan ketat yang dilarang sehingga karenanya dapat dituntut dan dipidana, sesuai dengan prinsip nullum crimen sine lege stricta;
Konsep melawan hukum yang secara formil tertulis (formele wederrechtelijk), yang mewajibkan pembuat undang-undang untuk merumuskan secermat dan serinci mungkin (vide Jan Remmelink, Hukum Pidana, 2003:358) merupakan syarat untuk menjamin kepastian hukum (lex certa) atau yang dikenal juga dengan istilah Bestimmheitsgebot;(Putusan MK No. 03/PUU-IV/2006, 25 Juli 2006).

Dengan berdasar undang-undang, putusan MK dan berbagai pendapat ahli hukum pidana diatas, ukuran memenuhi perbuatan melawan hukum formil adalah terpenuhinya pelanggaran terhadap larangan dan kewajiban yang diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan (peraturan tertulis). Pelanggaran peraturan tertulis itu untuk tujuan “memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi”.

Mengukur terpenuhinya unsur ini sangat mudah. Sekali lagi sangat mudah. Yang sulit yaitu membuktikan sebaliknya tidak ada peraturan tertulis yang dilanggar yang biasanya kepentingan tersangka atau terdakwa untuk melakukan dan membantah dakwaan. Selama ini tidak ada ceritanya di pengadilan tipikor, KPK mendakwa dan menuntut agar terdakwa bebas atau tidak dipidana. Karena pada dasarnya tugas penyidik dan penuntut umum adalah mempertahankan sangkaan, dakwaan, tuntutannya bahwa perbuatan-perbuatan yang ada memenuhi rumusan delik. Apabila tidak memenuhi unsur-unsur delik, maka tidak memenuhi perbuatan pidana, sehingga proses penyelidikan tidak perlu dinaikkan statusnya menjadi penyidikan.

Untuk terpenuhinya unsur perbuatan melawan hukum secara formil, langkah yang bisa dilakukan berdasarkan fakta-fakta hukum yang ada dicocokkan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, mulai dari UUD 1945, UU, Perppu, PP, Peraturan Presiden, dan peraturan lainnya. Apabila terdapat peraturan tertulis yang dilanggar untuk memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi maka terpenuhilah unsur inti delik dalam Pasal 2 ayat (1) ini.

Contohnya, mengenai tahapan-tahapan pembelian lahan RS Sumber Waras. Apakah tahapan-tahapan yang dilakukan sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku?  Fakta-fakta hukum mengenai tahapan-tahapan ini dicocokkan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Mengenai pengadaan tanah untuk kepentingan umum diatur dalam peraturan perundang-undangan (kronologi) sebagai berikut:

14 Januari 2012
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum

7 Agustus 2012
Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 71 Tahun 2012 tentang  Penyelenggaraan Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum

30 Oktober 2012
Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2012 tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan Pengadaan Tanah

24 April 2014
Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 71 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum

28 April 2015
Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2015 tentang Perubahan atas Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2012 tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan Pengadaan Tanah

30 Juni 2015
Surat Edaran Gubernur DKI Jakarta Nomor 41/Se/2015 tentang Pelaksanaan Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum

11 April 2016
Surat Edaran Gubernur DKI Jakarta Nomor 12/Se/2016 tentang Pelaksanaan Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum

Terhadap Peraturan Kepala BPN 6/2015 dan dua Surat Edaran Gubernur DKI Jakarta, dalam pembahasan ini harus diabaikan karena peraturan dan Surat Edaran ini dikeluarkan pasca tahapan-tahapan pengadaan tanah dan tidak menyatakan pula berlaku surut (retroaktif). Dua Surat Edaran itu penting dikeluarkan lebih dini pasca keluarnya Perpres, sebab regulasi menjadi kebutuhan utama saat sebuah institusi pemerintah membutuhkan lahan. Dua Surat Edaran ini memiliki arti penting dalam pengadaan skala kecil pasca pasca ditetapkan (30 Juni 2015 dan 11 April 2016) dan bukan sebagai legitimasi bahwa proses pengadaan sebelumnya sebagai benar menurut Surat Edaran itu.

Ketentuan penting mengenai pengadaan tanah untuk kepentingan umum adalah Perpes 71/2012. Perpres tersebut sampai sekarang masih memiliki kekuatan hukum mengikat meski beberapa pasal telah diubah dengan Perpres 20/2014. Perpres 20/2014 hanya mengubah beberapa pasal dalam Perpres 71/2012, sehingga pasal-pasal yang tidak diubah masih berlaku mengikat layaknya peraturan perundang-undangan. Sehingga tidak tepat pendapat yang menyatakan bahwa dengan berlakunya Perpres 20/2014 maka ketentuan lama yang diubah tidak berlaku.

Dalam Perpres 71/2012 antara lain mengatur tahapan-tahapan pengadaan tanah untuk kepentingan umum serta lembaga-lembaga terkai dan memuat perintah dan larangan, siapa melakukan apa. Pengadaan tanah itu diselenggarakan dengan tahapan-tahapan secara umum, yaitu:
a. perencanaan;
b. persiapan;
c. pelaksanaan; dan
d. penyerahan hasil. 
Diatur pula dalam bab tersendiri soal pengadaan tanah dalam skala kecil. Dalam Pasal 121 menyatakan,  Dalam rangka efisiensi dan efektifitas, pengadaan tanah untuk Kepentingan Umum yang luasnya tidak lebih dari 1 (satu) hektar, dapat langsung oleh Instansi yang memerlukan tanah dengan para pemegang hak atas tanah, dengan cara jual beli atau tukar menukar atau cara lain yang disepakati kedua belah pihak”.

Lebih jauh Peraturan Kepala BPN 5/2012 menentukan sebagai berikut:
Pasal 53
(1) Dalam rangka efisiensi dan efektifitas, pengadaan tanah untuk Kepentingan Umum yang luasnya tidak lebih dari 1 (satu) hektar, dapat dilakukan langsung oleh Instansi yang memerlukan tanah dengan Pihak yang Berhak, dengan cara jual beli atau tukar menukar atau cara lain yang disepakati kedua belah pihak.
(2) Pengadaan Tanah untuk kepentingan umum yang luasnya tidak lebih dari 1 (satu) hektar sebagaimana dimaksud pada ayat (1), merupakan:
a. satu hamparan; dan
b. satu tahun anggaran.
(3) Pengadaan tanah yang dilakukan langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat dilakukan tanpa melalui tahapan penyelenggaraan pengadaan tanah yang diatur dalam Undang-undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum, dan peraturan pelaksanaannya.
(4) Instansi yang memerlukan tanah dapat menggunakan hasil penilaian jasa penilai dalam menentukan nilai jual beli atau tukar menukar atau cara lain yang disepakati kedua belah pihak.
(5) Pengadaan tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilaksanakan sesuai dengan tata ruang wilayah.

Berdasarkan dua ketentuan tersebut, pertanyaan hukumnya adalah:
1.     Apakah dalam pengadaan tanah kurang dari 1 hektar tidak perlu melakukan tahapan: perencanaan, persiapan, pelaksanaan, dan penyerahan hasil?
2.      Apakah pengadaan tanah kurang dari 1 hektar tidak perlu membuat dasar rencana pengadaan tanah sesuai rencana tata ruang wilayah dan prioritas pembangunan dan menyusun dokumen perencanaan?
3.     Apakah dalam pengadaan tanah kurang dari 1 hektar tidak perlu membentuk tim persiapan, siapa anggota dan tugas-tugasnya apa, siapa yang bertanggung jawab? Apakah tidak perlu adanya pemberitahuan rencana pembangunan tersebut kepada masyarakat di lokasi yang direncanakan yang dilaksanakan oleh tim persiapan? Apakah tidak perlu pendataan awal sesuai rencana, yaitu pendataan subjek dan objek tanah? Apakah tidak perlu konsultasi publik? Apakah tidak perlu menetapkan lokasi pembangunan dan mengumumkan lokasi pembangunan? Bagaimana jika ada keberatan? dst
4.     Bagaimana terkait penganggaran? Bagaimana menilai harga tanah? Dst

Menurut saya, semua tahapan-tahapan pengadaan tanah menurut Undang-Undang dan Perpres 71/2012 tetap berlaku untuk pengadaan tanah skala kecil, kecuali tahapan itu diatur secara berbeda (khusus) untuk pengadaan skala kecil terutama dilakukan secara langsung oleh Instansi yang memerlukan tanah (misalkan Pemprov DKI Jakarta) dengan para pemegang hak atas tanah (misalkan RS Sumber Waras) dan sesuai ketentuan Peraturan Kepala BPN tersebut.

Dengan kata lain bahwa adanya pengaturan berbada dalam pengadaan dengan skala kecil tidak memerlukan pelaksanaan pengadaan yang diselenggarakan oleh Kepala BPN, dengan ketua pelaksana dan susunan anggota, pembentukan satgas dsb sebagaimana pengadaan tanah skala besar. Perbedaan pengadaan skala kecil dengan besar sebenarnya terletak pada satu tahap penting, yaitu: pelaksanaan dengan tidak melibatkan BPN tersebut.

Tetapi yang perlu digaris bawahi,  dengan proses secara langsung itu tidak kemudian bahwa, ketentuan-ketentuan di luar yang diistimewakan itu tidak berlaku untuk pengadaan dengan skala kecil. Termasuk dalam menentukan nilai ganti rugi/jual beli, apa dasarnya, apabila pengadaan skala kecil merasa tidak wajib mengindahkan proses dan tahapan yang lazim dalam pengadaan tanah. Pengadaan tanah skala kecil oleh pemerintah tidak dapat disamakan ketika seseorang berprofesi guru membeli tanah dari tetangganya tanpa perlu proses akuntabilitas, yang penting adanya kesapakatan dan para pihak cakap, nila tanah selangit apabila disepakati tidak menjadi persoalan, karena itu uang-uang mereka sendiri.

Yang patut diketahui, dengan keluarnya Perpres 40/2014 hanya mengubah pengadaan tanah skala kecil dari kurang 1 hektar menjadi kurang dari 5 hektar. Artinya, sejak diberlakukan Perpres sejak 24 April 2014, membawa implikasi hukum bahwa pengadaan skala kecil menjadi 5 hektar. Dengan demikian semula proses yang berlaku untuk pengadaan kurang dari 1 hektar berlaku untuk pengadaan kurang dari 5 hektar. 

Bagaimana apabila tahapan-tahapan pengadaan tanah kurang 1 hektar sudah berjalan, sementara Perspres perubahan berlaku? Hal demikian tidak berpengaruh signifikan, karena dengan berubah menjadi 5 hektar, 1 hektar masih dalam kategori skala kecil, sehingga untuk pengadaan 1 hektar tetap sesuai kaidah-kaidah sebelumnya.

Yang jadi persoalan adalah bagaimana pengadaan tanah yang luasnya lebih 1 hektar s/d 5 hektar yang sudah berjalan dengan tahapan-tahapan menurut  UU dan Perpres 71/2012, sementara Perpres berlaku? 

Menurut saya, semestinya Perpres baru yang mengatur memperluas menjadi 5 hektar (yang mempengaruhi tahapan pengadaan langsung) hanya dapat diberlakukan untuk pengadaan ke depan, bukan pengadaan 1-5 hektar yang sedang berjalan yang sebenarnya perbuatan ini tunduk pada rezim pengadaan skala besar. Artinya, untuk pengadaan yang belum berjalan, dengan perubahan aturan itu baru dapat menerapkan tahapan secara langsung antara instansi yang memerlukan tanah dengan pemegang hak atas tanah (melalui BPN) dengan tetap mengikuti tahapan-tahapan lainnya yang tidak diatur dalam Perpres perubahan.

Segala uraian diatas hanya mengenai tahapan-tahapan pengadaan tanah. Bisa disimpulkan sendiri, apakah dari fakta-fakta yang ada itu terdapat pelanggaran terhadap UU, Perpres, Peraturan Kepala BPN di sana. Adanya pelanggaran peraturan perundang-undangan sangat menentukan terpenuhi atau tidak unsur melawan hukum untuk memperkaya diri sendiri dst dalam Pasal 2 ayat 1 UU PTPK. Tahapan-tahapan ini seolah-olah sebagai formalitas semata, padahal kegiatan-kegiatan yang dilakukan di dalam tahapan itu ada persoalan substansial yang natinya akan mempengaruhi ada atau tidaknya kerugian negara. Mengenai persoalan-persoalan substansial ini perlu dibahas lebih lanjut.
 
Selanjutnya silakan menilai sendiri dari kesimpulan BPK mengenai adanya enam penyimpangan dalam pembelian lahan Sumber Waras oleh Pemprov DKi Jakarta, termasuk juga menilai pula kesimpulan KPK bahwa tiada perbuatan melawan hukum dalam kasus ini.

Mengenai unsur melawan hukum sebagai unsur yang terbenih (inhaerent) dalam setiap delik korupsi akan diuraikan di lain waktu. Termasuk mengenai pertanyaan, dapatkah KPK mendasarkan "tidak adanya perbuatan melawan hukum secara meteriil" sehingga menjadi alasan dan dasar tidak menaikkan status penyelidikan menjadi penyidikan. 

Baca:KPK Tidak Menemukan "Perbuatan Melawan Hukum" dalam Kasus Sumber Waras? (Lanjutan)
Baca:Kekuatan dan Implikasi Hasil Audit BPK terhadap Penyelidikan KPK Kasus Sumber Waras
 
Semoga berbagi pendapat dan urun rembuk ini dapat bermanfaat dan mendapatkan masukan.

Salam,


Miftakhul Huda