Selasa, 29 September 2020

APA PERBEDAAN PERBUATAN MELAWAN HUKUM DENGAN WANPRESTASI DALAM HUKUM PERDATA?

Oleh Miftakhul Huda*

Memahami perbedaan Perbuatan Melawan Hukum (PMH) atau
Onrechtmatige Daad dengan Wanprestasi dalam hukum perdata harus dipahami terlebih dahulu pengertian keduanya.

Istilah PMH pengertiannya tidak dapat dilepaskan dari ketentuan Pasal 1365 KUH Perdata (Pasal 1401 BW Belanda) yang menyatakan: “Tiap perbuatan yang melanggar hukum dan membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang menimbulkan kerugian itu karena kesalahannya untuk menggantikan kerugian tersebut”.

Semula pasal ini dimaknai secara sempit sebagai perbuatan yang melanggar suatu peraturan hukum (onrechtmatige). Atau lebih tegasnya hanya meliputi perbuatan yang melanggar peraturan yang tertulis (onwetmatige daad).

Namun sejak tahun 1919, di Belanda dalam Putusan Hoge Raad tanggal 31 Januari 1919  (Kasus Lindenbaum versus Cohen), istilah PMH diartikan secara luas, sehingga meliputi perbuatan yang bertentangan dengan kesusilaan (goede zeden) atau dengan suatu keputusan dalam masyarakat perihal memperhatikan kepentingan orang lain (indruist tegen de zorgvuldigheid, welke in het maatschappelijk verkeer betaamt ten aanzien van anders person of goed).

Perkembangan ini juga terjadi di Indonesia. Bahkan, dalam hukum adat yang sebagian besar tidak tertulis, hakim tidak terlalu terpaku dengan hukum tertulis. Dalam perkembangan praktik yurisprudensi MA RI menunjukkan penerapan yang sama hingga kini. 

Namun, penerapan perluasan terhadap pelanggaran norma-norma kesusilaan dan kepatutan ini tetap harus digunakan secara hati-hati karena hakim sudah membentuk hukum. Hukum tidak tertulis yang diberlakukan dalam praktik harus benar-benar sebagai hukum yang hidup dan tumbuh dalam pergaulan masyarakat dan bukan sema-mata karena didasari kepentingan pribadi, tekanan, atau pengetahuan terbatas dari hakim mengenai "hukum yang hidup" tersebut. 

Sedangkan pengertian Wanprestasi singkatnya adalah ketiadaan suatu prestasi. Dan, prestasi dalam hukum perjanjian berarti suatu hal yang harus dilaksanakan sebagai isi dari perjanjian. (Wirjono Prodjodikoro, 1989: 44).

Terdapat tiga macam Wanprestasi, yaitu: seseorang sama sekali tidak memenuhi janjinya, terlambat dalam memenuhi atau melaksanakan janjinya, atau memenuhi/melaksanakan janji tapi tidak secara semestinya dan atau sebaik-baiknya (tidak seperti yang telah diperjanjikan). (Subekti, 1987: 146-147; Wirjono Prodjodikoro, 1989: 44, 51)

Dari pengertian diatas, ada yang berpendapat bahwa Wanprestasi merupakan genus spesifik dari PMH dengan alasan bahwa seseorang debitur yang lalai atau ingkar janji misalkan terlambat dalam memenuhi janjinya jelas merupakan pelanggaran hak dari kreditur. Sehingga Wanprestasi dipersamakan dengan PMH.   

Terlepas dari persamaan-persamaan antara PMH dengan Wanprestasi, keduanya terdapat perbedaan yang bersifat prinsipil selain pengertian berbeda, yaitu:

Pertama, berdasarkan sumber hukum yang menjadi pokok sengketa, PMH menurut Pasal 1365 KUH Perdata lahir akibat perbuatan orang yang merupakan pelanggaran hukum (onrechtmatig/unlawful), bisa pelanggaran pidana (factum delictum) atau kesalahan perdata (law of tort) atau mengandung keduanya. Dalam perbuatan yang mengandung keduanya dapat dimintai pertanggungjawaban secara perdata maupun pidana.

Sedangkan dalam Wanprestasi menurut Pasal 1243 KUH Perdata timbul dari persetujuan (agreement) dimana berdasarkan Pasal 1320 KUH Perdata harus terdapat perjanjian antara kedua pihak sebagaimana salah satu asasnya yaitu yaitu apa yang telah disepakati harus dipenuhi (promise must be kept).

Dengan demikian seseorang dikatakan Wanprestasi dalam hal seseorang sama sekali tidak memenuhi janjinya, terlambat dalam memenuhi atau melaksanakan janjinya, atau memenuhi/melaksanakan janji tapi tidak secara semestinya dan atau sebaik-baiknya (tidak seperti yang telah diperjanjikan).

Kedua, ditinjau dari segi timbulnya hak menuntut, dalam PMH tidak memerlukan somasi/teguran untuk menuntut hak terhadap orang lain. Kapan saja pihak yang dirugikan atas perbuatan melawan hukum orang lain dapat mengajukan gugatan.

Sedangkan dalam Wanprestasi, hak menuntut baru lahir yang pada prinsipnya diperlukan proses pernyataan lalai (in mora stelling/interpellation) dengan somasi/teguran. Namun, dalam perjanjian dapat mencantumkan klausul seseorang berada dalam keadaan Wanprestasi tanpa perlu somasi. Penentuan waktu ini penting artinya bagi batas akhir atau jatuh tempo pembayaran/prestasi (verval termijn).

Ketiga, dari sisi tuntutan ganti rugi, dalam PMH menurut Pasal 1365 KUH Perdata tidak diatur bagaimana bentuk dan rincian ganti rugi dalam hal terjadi PMH.

Dalam praktik kerugian (schade) dalam PMH muncul dan dikenal pembedaan adanya kerugian materiil dan immaterial.

Kerugian materiil diartikan oleh Yahya Harahap dalam bukunya Hukum Acara Perdata tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan (2012), hal 455 sebagai ganti rugi yang nyata (actual loss) yang dapat diperhitungkan secara rinci, objektif, dan konkret. 

Sedangkan ganti rugi immateriil sebagai ganti rugi pemulihan kepada keadaan semula atau restoration to original condition.

Dalam berbagai buku dan artikel mengenai ganti rugi dalam PMH banyak yang mengartikan berbeda-beda mengenai ganti rugi materiil dan immateriil, bahkan terdapat pula yang menyamakan/mencampuradukkan ganti rugi PMH dengan Wanprestasi ini. Perbedaan pengertian ini menjadi sangat luas sampai pengertian yang sesungguhnya sudah masuk ganti rugi berbeda. Materiil masuk immateriil dan sebaliknya. Demikian pula ganti rugi immateriil banyak disalahgunakan dengan menuntut jumlah kerugian seenaknya tanpa ukuran yang jelas sesuai kepantasan dan kewajaran, serta tidak rasional.

Menurut Yurisprudensi MA Belanda, pasal-pasal yang mengatur ganti rugi dalam Wanprestasi tidak dapat diterapkan secara langsung di dalam PMH, melainkan dibuka kemungkinan penerapan secara analogis.

MA RI dalam Putusan Peninjauan Kembali Perkara No. 650/PK/Pdt/1994 secara tegas menentukan: “Berdasarkan Pasal 1370, 1371, 1372 KUHPerdata ganti kerugian immateriil hanya dapat diberikan dalam hal-hal tertentu saja seperti perkara kematian, luka berat dan penghinaan”.

Dalam praktik, dapat saja ganti rugi immateriil berkembang sesuai kondisi masyarakat berdasarkan kasus konkret yang terjadi. Tetapi, segala bentuk Wanprestasi tidak serta merta dapat diberlakukan untuk PMH. Semua praktik berlebihan ini seharusnya dikoreksi oleh MA dalam berbagai putusannya.

Sedangkan dalam Wanprestasi, sebagaimana Pasal 1237 KUH Perdata mengatur jangka waktu perhitungan ganti rugi yang dapat dituntut adalah terhitung sejak saat terjadinya kelalaian/Wanprestasi dan Pasal 1236 dan Pasal 1243  KUH Perdata yang mengatur jenis-jenis kerugian yang dapat dituntut, yaitu: biaya, rugi, dan bunga (kosten, schaden en interessen).

Biaya adalah biaya-biaya yang sungguh telah dikeluarkan, rugi adalah kerugian yang sungguh-sungguh menimpa harta benda si berpiutang, dan bunga adalah kehilangan keuntungan seandainya si berhutang tidak lalai (winstderving). (Subekti, 1987: 148)

Tetapi tidak semua kerugian dapat dapat dimintakan penggantian. Undang-undang mengadakan pembatasan hanya kerugian yang dapat diperkirakan pada waktu dibuat perjanjian dan sungguh-sungguh dapat dianggap sebagai akibat langsung dari kelalaian/Wanprestasi dari si berhutang saja dapat dimintakan ganti rugi. Selanjutnya mengenai prestasi berupa uang tunai maka yang dapat dimintakan ganti rugi adalah bunga uang menurut undang-undang (moratoire interessen).

*Praktisi Hukum, Pemerhati Hukum Tata Negara

Sumber:

·    Prof. Dr. Wirjono Prodjodikoro, SH, Asas-Asas Hukum Perjanjian, PT. Bale Bandung, Bandung, 1989.

·    Prof. Dr. Wirjono Prodjodikoro, SH, Perbuatan Melanggar Hukum Dipandang dari Sudut Hukum Perdata, Mandar Maju, Bandung, 2000.

·    Prof. Subekti, SH, Pokok-Pokok Hukum Perdata, PT. Intermasa, Jakarta, 1987.

·    Yahya Harahap, SH, Hukum Acara Perdata tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan, Sinar Grafika, Jakarta, cet ke-12, 2012.

·    R. Setiawan, SH, Pokok-Pokok Hukum Perikatan, Bandung, Binacipta, 1994

·    Miftakhul Huda, Onrechtmatige Overheidsdaad, Majalah Konstitusi No. 44-September 2010