Istilah PMH pengertiannya tidak dapat dilepaskan dari ketentuan Pasal 1365 KUH Perdata (Pasal 1401 BW Belanda) yang menyatakan: “Tiap
perbuatan yang melanggar hukum dan membawa kerugian kepada orang lain,
mewajibkan orang yang menimbulkan kerugian itu karena kesalahannya untuk
menggantikan kerugian tersebut”.
Semula pasal ini dimaknai secara sempit sebagai
perbuatan yang melanggar suatu peraturan hukum (onrechtmatige). Atau
lebih tegasnya hanya meliputi perbuatan yang melanggar peraturan yang tertulis (onwetmatige
daad).
Namun sejak tahun 1919, di Belanda dalam Putusan Hoge Raad
tanggal 31 Januari 1919 (Kasus Lindenbaum versus Cohen),
istilah PMH diartikan secara luas, sehingga meliputi perbuatan yang
bertentangan dengan kesusilaan (goede zeden) atau dengan suatu keputusan
dalam masyarakat perihal memperhatikan kepentingan orang lain (indruist tegen
de zorgvuldigheid, welke in het maatschappelijk verkeer betaamt ten aanzien van
anders person of goed).
Perkembangan ini juga terjadi di Indonesia. Bahkan, dalam hukum adat yang sebagian besar tidak tertulis, hakim tidak terlalu terpaku dengan hukum tertulis. Dalam perkembangan praktik yurisprudensi MA RI menunjukkan penerapan yang sama hingga kini.
Namun, penerapan perluasan terhadap pelanggaran norma-norma kesusilaan dan
kepatutan ini tetap harus digunakan secara hati-hati karena hakim sudah membentuk
hukum. Hukum tidak tertulis yang diberlakukan dalam praktik harus benar-benar sebagai hukum yang hidup dan
tumbuh dalam pergaulan masyarakat dan bukan sema-mata karena didasari kepentingan pribadi, tekanan, atau pengetahuan terbatas dari hakim mengenai "hukum yang hidup" tersebut.
Sedangkan pengertian Wanprestasi singkatnya adalah
ketiadaan suatu prestasi. Dan, prestasi dalam hukum perjanjian berarti suatu
hal yang harus dilaksanakan sebagai isi dari perjanjian. (Wirjono Prodjodikoro, 1989: 44).
Terdapat tiga macam Wanprestasi, yaitu: seseorang sama sekali tidak memenuhi janjinya, terlambat
dalam memenuhi atau melaksanakan janjinya, atau memenuhi/melaksanakan janji tapi
tidak secara semestinya dan atau sebaik-baiknya (tidak seperti yang telah
diperjanjikan).
(Subekti, 1987: 146-147; Wirjono Prodjodikoro, 1989: 44, 51)
Dari pengertian diatas,
ada yang berpendapat bahwa Wanprestasi merupakan genus spesifik dari PMH dengan
alasan bahwa seseorang debitur yang lalai atau ingkar janji misalkan terlambat
dalam memenuhi janjinya jelas merupakan pelanggaran hak dari kreditur. Sehingga
Wanprestasi dipersamakan dengan PMH.
Terlepas dari persamaan-persamaan
antara PMH dengan Wanprestasi, keduanya terdapat perbedaan yang bersifat
prinsipil selain pengertian berbeda, yaitu:
Pertama, berdasarkan sumber hukum yang menjadi pokok sengketa,
PMH menurut Pasal 1365 KUH Perdata lahir akibat perbuatan orang yang merupakan pelanggaran
hukum (onrechtmatig/unlawful), bisa pelanggaran
pidana (factum delictum) atau kesalahan perdata (law of tort)
atau mengandung keduanya. Dalam perbuatan yang mengandung keduanya dapat
dimintai pertanggungjawaban secara perdata maupun pidana.
Sedangkan dalam Wanprestasi
menurut Pasal 1243 KUH Perdata timbul dari persetujuan (agreement) dimana
berdasarkan Pasal 1320 KUH Perdata harus terdapat perjanjian antara kedua pihak
sebagaimana salah satu asasnya yaitu yaitu apa yang telah
disepakati harus dipenuhi (promise must be kept).
Dengan demikian seseorang dikatakan
Wanprestasi dalam hal seseorang sama
sekali tidak memenuhi janjinya, terlambat dalam memenuhi atau melaksanakan janjinya,
atau memenuhi/melaksanakan janji tapi tidak secara semestinya dan atau
sebaik-baiknya (tidak seperti yang telah diperjanjikan).
Kedua, ditinjau
dari segi timbulnya hak menuntut, dalam PMH tidak memerlukan somasi/teguran
untuk menuntut hak terhadap orang lain. Kapan saja pihak yang dirugikan atas
perbuatan melawan hukum orang lain dapat mengajukan gugatan.
Sedangkan dalam Wanprestasi, hak menuntut
baru lahir yang pada prinsipnya diperlukan proses pernyataan lalai (in mora
stelling/interpellation) dengan somasi/teguran. Namun, dalam perjanjian
dapat mencantumkan klausul seseorang berada dalam keadaan Wanprestasi tanpa
perlu somasi. Penentuan waktu ini penting artinya bagi batas akhir atau jatuh
tempo pembayaran/prestasi (verval
termijn).
Ketiga, dari sisi tuntutan ganti rugi, dalam PMH menurut
Pasal 1365 KUH Perdata tidak diatur bagaimana bentuk
dan rincian ganti rugi dalam hal terjadi PMH.
Dalam praktik kerugian
(schade) dalam PMH muncul dan dikenal pembedaan adanya kerugian
materiil dan immaterial.
Kerugian materiil diartikan oleh Yahya Harahap dalam bukunya Hukum Acara Perdata tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan (2012), hal 455 sebagai ganti rugi yang nyata (actual loss) yang dapat diperhitungkan secara rinci, objektif, dan konkret.
Sedangkan ganti
rugi immateriil sebagai ganti rugi pemulihan kepada keadaan semula atau restoration
to original condition.
Dalam berbagai buku dan artikel mengenai ganti rugi dalam PMH banyak yang mengartikan berbeda-beda mengenai ganti rugi materiil dan immateriil, bahkan terdapat pula yang menyamakan/mencampuradukkan ganti rugi PMH dengan Wanprestasi ini. Perbedaan pengertian ini menjadi sangat luas sampai pengertian yang sesungguhnya sudah masuk ganti rugi berbeda. Materiil masuk immateriil dan sebaliknya. Demikian pula ganti rugi immateriil banyak disalahgunakan dengan menuntut jumlah kerugian seenaknya tanpa ukuran yang jelas sesuai kepantasan dan kewajaran, serta tidak rasional.
Menurut Yurisprudensi
MA Belanda, pasal-pasal yang mengatur ganti rugi dalam Wanprestasi tidak dapat
diterapkan secara langsung di dalam PMH, melainkan dibuka kemungkinan penerapan
secara analogis.
MA RI dalam Putusan
Peninjauan Kembali Perkara No. 650/PK/Pdt/1994 secara tegas menentukan: “Berdasarkan Pasal 1370, 1371, 1372
KUHPerdata ganti kerugian immateriil hanya dapat diberikan dalam hal-hal
tertentu saja seperti perkara kematian, luka berat dan penghinaan”.
Dalam praktik,
dapat saja ganti rugi immateriil berkembang sesuai kondisi masyarakat
berdasarkan kasus konkret yang terjadi. Tetapi, segala bentuk Wanprestasi tidak serta merta dapat diberlakukan untuk PMH. Semua praktik berlebihan ini seharusnya
dikoreksi oleh MA dalam berbagai putusannya.
Sedangkan dalam
Wanprestasi, sebagaimana Pasal 1237 KUH Perdata mengatur jangka waktu
perhitungan ganti rugi yang dapat dituntut adalah terhitung sejak saat
terjadinya kelalaian/Wanprestasi dan Pasal 1236 dan Pasal 1243 KUH Perdata yang mengatur jenis-jenis kerugian
yang dapat dituntut, yaitu: biaya, rugi, dan bunga (kosten, schaden en
interessen).
Biaya adalah
biaya-biaya yang sungguh telah dikeluarkan, rugi adalah kerugian yang
sungguh-sungguh menimpa harta benda si berpiutang, dan bunga adalah kehilangan
keuntungan seandainya si berhutang tidak lalai (winstderving). (Subekti,
1987: 148)
Tetapi tidak semua kerugian dapat dapat dimintakan penggantian. Undang-undang mengadakan pembatasan hanya kerugian yang dapat diperkirakan pada waktu dibuat perjanjian dan sungguh-sungguh dapat dianggap sebagai akibat langsung dari kelalaian/Wanprestasi dari si berhutang saja dapat dimintakan ganti rugi. Selanjutnya mengenai prestasi berupa uang tunai maka yang dapat dimintakan ganti rugi adalah bunga uang menurut undang-undang (moratoire interessen).
*Praktisi Hukum, Pemerhati Hukum Tata Negara
Sumber:
· Prof. Dr. Wirjono
Prodjodikoro, SH, Asas-Asas Hukum Perjanjian, PT. Bale Bandung, Bandung,
1989.
· Prof. Dr. Wirjono
Prodjodikoro, SH, Perbuatan Melanggar Hukum Dipandang dari Sudut Hukum
Perdata, Mandar Maju, Bandung, 2000.
· Prof. Subekti, SH,
Pokok-Pokok Hukum Perdata, PT. Intermasa, Jakarta, 1987.
· Yahya Harahap, SH,
Hukum Acara Perdata tentang Gugatan,
Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan, Sinar Grafika,
Jakarta, cet ke-12, 2012.
· R. Setiawan, SH, Pokok-Pokok
Hukum Perikatan, Bandung, Binacipta, 1994
· Miftakhul Huda, Onrechtmatige Overheidsdaad, Majalah Konstitusi No. 44-September 2010