Selasa, 12 Januari 2010

"audi et alteram partem"

Audi et alteram partem merupakan kalimat dari bahasa latin yang berarti: “Dengarkan sisi lain”. Kalimat ini dikenal sebagai asas hukum dalam hukum acara atau hukum prosesuil. Agar sebuah proses persidangan berjalan seimbang, maka kedua belah pihak harus di dengar dan diberikan kesempatan yang sama demi keadilan. Hakim tidak boleh menerima keterangan hanya dari satu pihak saja, tanpa terlebih dahulu mendengar dan memberikan kesempatan pihak lain mengajukan pendapatnya. Konsekwensi asas ini jika salah satu pihak memberikan dan mengajukan alat bukti di persidangan, maka pihak lawan harus mengetahui dan hadir di persidangan.

Azas Audi et Lateram Partem dikenal sebagai azas keseimbangan dalam hukum acara oidana, yakni seorang hakim wajib untuk mendengarkan pembelaan dari pihak yang disangka atau didakwa melakukan suatu tindakan yang melanggar hukum guna menemukan kebenaran materiil suatu perkara yang diadilinya. Hak untuk didengar pendapatnya sebagai perwujudan asas audi et alteram partem ini juga adalah merupakan hak yang dijamin dan dilindungi oleh UUD 1945.

Di dalam hukum acara perdata, asas ini memberikan kedudukan sama kepada para pihak di muka hakim dengan beban pembuktian yang seimbang. Hakim harus membagi beban pembuktian berdasarkan kesamaan kedudukannya. Asas ini membawa akibat kemungkinan untuk menang bagi para pihak dengan kesempatan sama. Pada asanya dalam hukum perdata secara umum, siapa yang mendalilkan sesuatu, maka dialah yang harus membuktikannya sebagaimana ditentukan dalam HIR. Namun dalam prakteknya pembagian beban pembuktian dirasakan adil yang dibebani pembuktian adalah pihak yang paling sedikit dirugikan jika disuruh membuktikan.

Terkait dengan asas ini, jika pihak Tergugat/Termohon telah dipanggil secara patut akan tetapi tidak hadir, maka pengadilan dapat mengabulkan gugatan dengan putusan tanpa kehadiran Tergugat (verstek), kecuali kalau gugatan melawan hak atau tidak beralasan. Hakim tetap harus mempertimbangkan terbukti tidaknya dalil-dalil yang diajukan oleh Penggugat/Pemohon.

Dalam praktek, permohonan yang diajukan dalam bentuk permohonan (voluntaire), padahal didalamnya terdapat sengketa, tidak diperkenankan. Hal ini untuk seharusnya dalam bentuk gugatan (contentiosa), karena untuk melindungi kepentingan orang-orang yang berkepentingan dengan perkara. Tidak dimasukkannya pihak-pihak berkepentingan, padahal terdapat sengketa di dalamnya, mengakibatkan sebuah permohonan dinyatakan tidak diterima (NO). Hal ini semata-mata untuk melindungi penyalahgunaan sebuah gugatan, akan tetapi diajukan dalam bentuk permohonan.

Di dalam hukum acara di Mahkamah Konstitusi (MK), asas ini tidak tegas dicantumkan. Namun pada dasarnya norma yang dirumuskan pasal-pasal undang-undang merupakan penjabaran asas ini. Begitu pula dalam Peraturan Mahkamah Konstitusi, memberikan kesempatan sama memberikan keterangan mulai dari pemberitahuan permohonan, kesempatan mengajukan jawaban dan bukti-bukti, masuknya pihak-pihak berkepentingan dan lain sebagainya. Oleh karena itu, karakteristik perkara di MK menyangkut kepentingan publik, oleh karenanya asas-asas lain belum tentu sesuai. Hakim Konstitusi terikat dengan kewajiban aktif dalam persidangan dengan kondisi masyarakat pencari keadilan belum seimbang dalam pengetahuan dan kemampuan. Ketentuan Pasal 5 (1) UU No.4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman yang menyebutkan “Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan orang” dan Ayat (2) “Pengadilan membantu pencari keadilan dan berusaha mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk dapat tercapainya peradilan yang sederhana, cepat, dan biaya ringan.” juga berlaku di MK. (Miftakhul Huda)

Sumber: Majalah Konstitusi No.32 September 2009