![]() |
| Sumber foto: Kompas.com |
Karena penasaran dengan kisruh pemberhentian KH Yahya Cholil Staquf atau Gus Yahya sebagai Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) melalui Rapat Harian Syuriah yang dipimpin oleh Rais Aam KH Miftachul Ahyar yang tampaknya belum berakhir sampai kini, saya tertarik membaca langsung pasal-pasal Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) NU dan peraturan-peraturan internalnya bagaimana mengatur pemberhentian posisi Ketua Umum PBNU.
Semula hasil membaca ini untuk konsumsi
pribadi untuk menjawab ketidaktahuan dan rasa penasaran dan tidak memiliki keberanian mengomentari masalah antar orang yang dituakan. Belakangan
muncul keinginan hasil pembacaan
dan analisis sederhana ini diketahui lebih dari saya agar aturan main
(rule of the game) pemberhentian pengurus PBNU dapat
diketahui lebih luas agar kisruh internal NU ini menjadi pembelajaran bersama.
Sewajarnya pemberhentian jabatan dalam organisasi massa keagamaan yang berusia tua
dan kenyang makan garam seperti NU dapat dikembalikan kepada AD/ART dan
peraturan internalnya sebagai aturan main organisasi tersebut. Artinya, setiap pemberhentian pengurus dapat
dipertanggungjawabkan keabsahannya, termasuk pemberhentian terhadap jabatan selevel
Ketua Umum PBNU yang dipilih melalui Muktamar yang selayaknya dilakukan lebih hati-hati,
cermat, melalui proses pembuktian
(sederhana atau rigid), dan tentunya tidak dapat dilakukan dengan
sembrono.
Umumnya organisasi besar dan modern dengan banyak jabatan yang memiliki aturan main, pemberhentian jabatan dianggap sah dapat diuji dari tiga hal: pertama, pihak/pejabat yang memberhentikan harus memiliki kewenangan untuk itu; kedua, memenuhi alasan-alasan pemberhentian tertentu yang sebelumnya telah disepakati; dan ketiga, pemberhentian melalui prosedur dan mekanisme yang disepakati. Tiga alat uji ini bersifat limitatif, sehingga jika salah satu saja syarat ini tidak terpenuhi maka status pemberhentiannya tidak sah.
1. Apakah Rapat Harian Syuriah memiliki kewenangan memberhentikan Gus Yahya sebagai Ketua Umum PBNU?
Pemberhentian Gus Yahya sebagai Ketua Umum
PBNU berdasarkan keputusan Rapat Harian Syuriah tanggal 20 November 2025 yang
meminta Gus Yahya mundur atau diberhentikan dari Ketua Umum PBNU, yang kemudian diikuti Surat Edaran Syuriah
yang menyatakan Gus Yahya sudah tidak lagi menjabat sebagai Ketua Umum PBNU per
26 November 2025 pukul 00.45 WIB. Selama kekosongan jabatan, PBNU dipimpin sepenuhnya oleh KH Mifachul
Akhyar.
Dengan tidak mengakui Gus Yahya sebagai Ketua
Umum dan diikuti penggantinya, maka Rapat Harian Syuriah itu menjadi dasar
pemberhentian Ketua Umum. Meskipun Surat Edaran tersebut dibantah sebagai sebagai
surat pemberhentian berdasar pernyataan KH Ahmad Tajul Mafakhir atau Gus Tajul yaitu, “lembaran tersebut
adalah surat edaran bukan surat pemberhentian” (“Kronologi
Persoalan di PBNU (3): Surat Edaran Syuriah, Status Ketum, hingga Dorongan PWNU
untuk Islah”, NU Online, 28/10/2025), namun dengan Syuriah memutuskan meminta mengundurkan
diri dengan tenggang waktu atau diberhentikan dan kemudian memutuskan penggantinya
maka namanya tetap “pemberhentian”.
Masalahnya apakah Syuriah memiliki kewenangan
untuk itu ? Apakah melalui Rapat Harian Syuriah merupakan prosedur penggunaan kewenangan pemberhentian
yang dibenarkan?
Apakah Rais Aam juga memiliki kewenangan untuk itu?
Setelah berusaha memahami isi Anggaran
Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) dan peraturan-peraturan internal NU
dengan cermat, Syuriah PBNU maupun Rais Aam PBNU tidak tidak memiliki
kewenangan memberhentikan Ketua Umum PBNU. Tugas dan kewenangan Syuriah dalam
AD/ART telah diatur jelas dan tidak memiliki kewenangan memberhentikan Ketua
Umum yang berada dalam jajaran tertinggi Tanfidziyah PBNU. Demikian pula Rapat
Harian Tanfidziyah pun tidak berwenang memberhentikan Rais Aam sebagai pemimpin tertinggi di jajaran Syuriah.
Rais Aam dan Ketua Umum sama-sama dipilih
melalui Muktamar dan sesuai asas hukum yang berlaku umum bahwa siapa pejabat/lembaga yang berwenang
mengangkat (actus primus) adalah yang berwenang memberhentikan atau membatalkannya (contrarius actus). Muktamar yang mengangkat Ketua Umum maka
Muktamar (Luar Biasa) pulalah yang berwenang memberhentikan Ketua Umum PBNU saat
jabatannya berakhir (periodik) atau pada saat periode memegang jabatannya
dengan alasan-alasan tertentu (khusus).
Meskipun Syuriah sebagai ‘pimpinan
tertinggi Nahdlatul Ulama” dengan tugas dan wewenang “membina dan mengawasi
pelaksanaan keputusan-keputusan perkumpulan”, namun Syuriah tidak diberikan
kewenangan memberhentikan Ketua Umum PBNU, apalagi melalui Rapat Harian yang
kedudukannya jauh dibawah Rapat Pleno ataupun Rapat Harian Syuriah dan Tanfidziyah. Apalagi dibandingkan
dengan Muktamar sebagai forum permusyawaratan tertinggi. Seluruh kewenangan Syuriah sebagai pimpinan tertinggi di NU dijabarkan secera rinci dalam tugas dan wewenangnya yang diatur dalam AD/ART dan Peraturan Perkumpulan NU.
Harus
diakui Rais Aam di PBNU memiliki keistimewaan misalkan terkait pemilihannya yang tidak boleh
voting tetapi harus melalui musyawarah mufakat oleh Ahlul Halli wal ‘Aqdi dan memiliki hak veto menyetujui (maupun
menolak) calon Ketua Umum saat Muktamar, namun sepanjang tidak diberikan
kewenangan selainnya, maka tidak memiliki kewenangan menurut hukum dengan alasan hak istimewa,
terlebih dalam AD/ART NU pemberhentian Ketua Umum dalam periode masa jabatannya
belum berakhir secara tegas hanya dapat dilakukan melaui Muktamar Luar Biasa.
Demikian pula Rais Aam juga tidak berwenang mengangkat
dirinya sendiri sebagai Ketua Umum PBNU (untuk sementara atau tetap) kecuali melalui forum yang dibenarkan, apakah Rais Aam yang merangkap Ketua Umum apakah sesuai Peraturan
Perkumpulan NU Nomor 12 Tahun 2025 tentang Rangkap Jabatan?
Berdasarkan Peraturan Perkumpulan NU Nomor 13 Tahun 2025 tentang Pemberhentian Fungsionaris, Pergantian Antar Waktu dan Pelimpahan Fungsi Jabatan memang memungkinkan pemberhentian Ketua Umum PBNU melalui mekanisme “Pergantian Antar Waktu”. Apabila peraturan sebelumnya dianggap berlaku dan tidak bertentangan dengan peraturan terbaru, berdasarkan Peraturan Perkumpulan NU Nomor 13 Tahun 2022 mengatur soal pemberhentian Ketua Umum PBNU dan kewenangannya diberikan kepada keputusan Rapat Pleno yang dengan ini sesungguhnya kedudukan Rapat Pleno jauh dibawah Musyawarah Nasional Alim Ulama maupun Konferensi Besar yang menurut AD/ART yang tidak boleh “memilih Pengurus baru”.
Dengan demikian, pihak yang berwenang
memberhentikan Ketua Umum PBNU dalam masa khidmahnya hanya Muktamar Luar Biasa
berdasarkan AD/ART dan Peraturan Perkumpulan NU serta melalui Rapat Pleno berdasarkan Peraturan
Perkumpulan NU.
Lalu, apa yang dimaksud Rapat Pleno?
Pasal 91 ayat (1) ART NU menyatakan:
“Rapat Pleno adalah Rapat yang dihadiri oleh
Mustasyar, Pengurus Lengkap Syuriah, Pengurus Harian Tanfidziyah, Ketua Lembaga
dan Ketua Badan Otonom”.
Hal demikian juga ditegaskan dalam 7 ayat (1)
Peraturan Perkumpulan NU No. 10 Tahun 2025 yang berbunyi:
“Rapat Pleno dihadiri oleh dan wajib mengundang mustasyar, pengurus lengkap syuriah, pengurus harian tanfidziyah, ketua lembaga, dan ketua
umum/ketua badan
otonom di tingkat kepengurusan masing-masing”.
Selanjutnya kewenangan
pemberhentian melalui “Pergantian Antar Waktu” dinyatakan dalam Pasal 7 ayat (4) yang menyatakan
“Sesuai kewenangannya di tingkat kepengurusan masing-masing, Rapat Pleno dapat
menetapkan…..serta menetapkan Pejabat Rais Aam/Rais Syuriah dan/atau Ketua
Umum/Ketua Tanfidziyah dalam hal terjadi pergantian antar waktu di tingkat kepengurusan
masing-masing”.
Artinya, jika Rapat Pleno diatas yang digunakan maka pelaksanaannya harus
sesuai syarat dan ketentuan yang dibenarkan AD/ART dan Peraturan Perkumpulan NU. Dalam Rapat
Pleno inilah memungkinkan
memutuskan apakah alasan-alasan pemberhentian apakah terbukti atau tidak.
Sehingga sebagai organisasi terhormat seperti
NU sebelum terdapat keputusan
pemberhentian melalui forum yang dibenarkan semestinya
tetap mengedepankan asas praduga tidak bersalah (presumtion of innocence)
terhadap seseorang yang memiliki hak-hak konstitusional
maupun praduga keabsahan keputusan Gus
Yahya sebagai Ketua Umum PBNU yang dihasilkan melalui
Muktamar (presumptio iustae causa/praduga
rechtmatig).
Berdasarkan uraian
diatas, maka sebelum terdapat keputusan Rapat Pleno atau Muktamar Luar Biasa yang sah yang memberhentikan Gus Yahya sebagai Ketua Umum maka status hukum Gus Yahya masih sah sebagai Ketua Umum sampai pemberhentiannya melalui Rapat Pleno
maupun Muktamar (Luar Biasa), karena yang berwenang
memberhentikan Ketua Umum hanya Rapat Pleno dan tidak dapat dilakukan hanya
melalui Rapat Harian Syuriah atau Rapat Harian Syuriah dan Tanfidziyah
sekalipun.
Rapat Peno pun saat memutuskan
penggantinya adalah berstatus “Pejabat Ketua Umum” karena sesungguhnya pemilihan
dan pemberhentian Ketua Umum PBNU yang dipilih Muktamar hanya melalui Muktamar
(Luar Luar).
Sehingga berlebihan kiranya
surat yang menyatakan “kepemimpinan PBNU sepenuhnya berada ditangan Rais Aam (KH
Mifachul Akhyar) selaku pimpinan
tertinggi NU” padahal status Gus Yahya belum terdapat keputusan Rapat Pleno.
Ini berarti Rais Aam juga merangkap jabatan Ketua Umum. Ini bermasalah karena
selain terkait “rangkap jabatan” dan Rapat Pleno pun belum memutuskan
pemberhentian atau tidak, sehingga Syuriah telah mengambil wewenang Rapat Pleno
yang belum diselenggarakan.
Selain itu, keputusan tingkat Syuriah tidak dapat menganulir keputusan permusyawaratan tertinggi dalam NU
dalam Muktamar. Karena tugas dan wewenang pengurus seluruhnya dibatasi AD/ART
dan Peraturan Perkumpulan NU sebagai “aturan main organisasi” dan tidak
mengecualikan pengurus tertentu diperbolehkan melanggar aturan main. Keistimewaan yang dimiliki jabatan tertentu
hanya sebatas yang disepakati bersama dan adanya keistimewaan itu semua dicerminkan atau dipancarkan dalam uraian kewenangan dan
tugasnya.
Sehingga seharusnya
jika menurut Syuriah terdapat hal yang menurutnya Ketua Umum dapat dibawa ke
Rapat Pleno seharusnya menggunakan mekanisme yang tersedia dan tidak jauh menyatakan
Gus Yahya tidak berstatus Ketua Umum dan tidak memiliki kewenangan dan hak
sebagai Ketua Umum dimana Rapat Pleno belum dilakukan.
Dengan tidak sahnya pemberhentian Gus Yahya
tanpa melalui Rapat Pleno ataupun Muktamar (Luar Biasa) sebagai forum tertinggi dalam organisasi, sehingga keputusan/surat Syuriah maupun Rais Aam
terkait pemberhentian dan penggantian Ketua Umum yang apabila menggunakan
pendekatan hukum tata negara/administrasi negara termasuk
melampaui kewenangan (onbevoegdheid ratione materiae)
dimana keputusan yang demikian berakibat batal demi hukum (nietigheid van rechtswege).
Keputusan yang batal demi hukum di mata hukum dianggap tidak pernah ada dan lahir. Segala keputusan-keputusan lanjutan yang lahir atau mendasarkan pada keputusan yang tidak sah tersebut (tidak berwenang) adalah tidak sah pula.
2. Apakah pemberhentian Gus Yahya memenuhi alasan-alasan pemberhentian menurut AD/ART dan Peraturan Perkumpulan NU?
Sepanjang pembacaan saya
dari isi AD/ART maupun Peraturan Perkumpulan NU, jika menggunakan Rapat Pleno
melalui mekanisme “Pergantian
Antar Waktu” alasan-alasan pemberhentian tetap berdasarkan
Peraturan Perkumpulan NU Nomor 13 Tahun 2025 tentang Pemberhentian Fungsionaris,
Pergantian Antar Waktu dan Pelimpahan Fungsi Jabatan, sebagai berikut:
Pasal 6
Pemberhentian fungsionaris, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3
huruf b terdiri dari pemberhentian dengan hormat dan pemberhentian tidak dengan
hormat.
Pasal 5
Pemberhentian dengan hormat, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, dilakukan terhadap fungsionaris dikarenakan yang bersangkutan antara lain:
a. mengundurkan diri dengan alasan yang dapat diterima;
b. sakit yang tidak memungkinkan untuk melaksanakan tugas perkumpulan sedikitnya selama enam bulan;
c. pindah domisili sehingga tidak dapat melaksanakan tugas perkumpulan secara wajar;
d. tidak aktif sedikitnya dalam enam bulan dengan tidak meninggalkan persoalan yang merugikan perkumpulan tanpa pemberitahuan dan alasan yang dapat diterima;
e. melanggar larangan rangkap jabatan sebagaimana diatur dalam Anggaran Rumah Tangga Nahdlatul Ulama; dan/atau
f. tidak mengikuti dan tidak lulus pendidikan kaderisasi sebagaimana diatur dalam Peraturan Perkumpulan Nahdlatul Ulama tentang Syarat Menjadi Fungsionaris.
Pasal 6
Pemberhentian tidak dengan hormat, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dilakukan terhadap fungsionaris dikarenakan yang bersangkutan:
a. melakukan tindakan yang mencemarkan nama baik perkumpulan;
b. melakukan tindakan yang merugikan perkumpulan secara materiil;
c. melakukan tindakan hukum melawan Perkumpulan Nahdhatul Ulama; dan/atau
d. menjalani hukuman penjara karena tindak pidana berdasarkan keputusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap.
Untuk sahnya pemberhentian
Ketua Umum PBNU melalui Rapat Pleno harus berdasarkan terbukti kebenarannya alasan-alasan
pemberhentian tetap diatas (salah satu atau seluruh alasan) menggunakan standar
pembuktian yang dapat dipertanggungjawabkan secara hukum maupun ilmu pengetahuan.
Sedangkan
alasan-alasan pemberhentian melalui Muktamar Luar Biasa hanya karena alasan
melakukan pelanggaran berat. Hal ini berdasarkan Pasal 74 ayat (1) ART NU yang
berbunyi:
Muktamar
Luar Biasa dapat diselenggarakan apabila Rais ’Aam dan/atau Ketua Umum Pengurus
Besar melakukan pelanggaran berat terhadap ketentuan Anggaran Dasar dan
Anggaran Rumah Tangga.
Terkait alasan-alasan ini tidak dibahas lebih lanjut karena terkait pembuktian berdasarkan fakta-fakta yang tidak dapat hanya melalui pemberitaan.
3. Apakah pemberhentian Gus Yahya berdasarkan prosedur dan mekanisme sesuai AD/ART dan Peraturan Perkumpulan NU?
Sebagaimana telah
diuraikan diatas, pemberhentian Gus Yahya selaku Ketua Umum PBNU hanya dapat
dilakukan Rapat Pleno maupun Muktamar Luar Biasa. Artinya, keputusannya tidak diperbolehkan
hanya oleh Syuriah. Sehingga selain melalui Rapat Pleno maupun Muktamar Luar
Biasa, maka pemberhentian Gus Yahya telah keluar dari AD/ART NU dan Peraturan
Perkumpulan NU.
Selain itu, keabsahan
pemberhentiannya harus dilakukan sesuai prosedur dan mekanisme secara umum dalam
Rapat Pleno dan Muktamar Luar Biasa dan prosedur khusus yang diatur khusus dalam
pemberhentian antar waktu.
Berdasarkan Peraturan
Perkumpulan NU Nomor 13 Tahun 2025 tentang Pemberhentian Fungsionaris,
Pergantian Antar Waktu dan Pelimpahan Fungsi Jabatan, tidak diatur prosedur dan
mekanisme pemberhentiannya.
Namun, apabila Peraturan Perkumpulan NU Nomor 13 Tahun 2022 dianggap berlaku dan tidak bertentangan dengan peraturan terbaru, dari Pasal 10, Pasal 11, dan Pasal 12 dapat diringkaskan yang relevan prosedur dan mekanismenya sebagai beriku:
1. Pejabat pengurus yang dapat dipilih dan diangkat dalam pergantian pengurus untuk jabatan Ketua Umum PBNU adalah salah satu Wakil Ketua Umum;
2. Rapat Pleno untuk pergantian Ketua Umum harus dihadiri oleh Mustasyar, Pengurus Lengkap Syuriyah, Pengurus Harian Tanfidziyah, Ketua Lembaga dan Ketua Badan Otonom serta dinyatakan memenuhi kuorum;
3. Surat undangan Rapat Pleno untuk pergantian jabatan Ketua Umum dapat ditandatangani oleh Rais Aam/Wakil Rais Aam, Katib Aam/Wakil Katib Aam, Ketua Umum/Wakil Ketua Umum, dan Sekretaris Jenderal/Wakil Sekretaris Jenderal;
4. Pergantian ditindaklanjuti dengan mengirimkan surat permohonan pengesahan susunan pengurus antar waktu dengan melampirkan berita acara hasil Rapat Pleno;
5. Surat permohonan disertai daftar riwayat hidup, Kartu Tanda Penduduk, Kartu Tanda Anggota Nahdlatul Ulama (KARTANU) dan sertifikat pendidikan dan pelatihan pejabat pengurus baru tersebut.
6. Untuk jabatan Ketua Umum sebutan jabatan penggantinya adalah Pejabat Ketua Umum;
7. Masa khidmat pengurus pengganti adalah sama dengan masa khidmat pengurus yang digantikan, yaitu melanjutkan sisa masa khidmat Ketua Umum dimaksud.
Berdasarkan Peraturan Perkumpulan NU Nomor 10 Tahun 2025 tentang Rapat dalam Pasal 7, Pasal 8 dan Pasal 9 dapat diringkaskan sebagai berikut:
1. Pemberitahuan pelaksanaan Rapat Pleno dan agenda rapat disampaikan secara resmi selambat-lambatnya 7 hari sebelum pelaksanaan;
2. Rapat Pleno dilaksanakan oleh Rais Aam/Rais dan jika berhalangan tetap dipimpin oleh Wakil Rais Aam/Wakil Rais;
3. Hasil-hasil Rapat Pleno ditandatangani oleh Rais Aam/Rais/Wakil Rais, Katib Aam/Katib/Wakil Katib dan apabila berhalangan ditandatangani oleh pimpinan rapat yang ditunjuk;
4. Hasil Rapat Pleno mengikat seluruh unsur Pengurus dan dapat mengoreksi atau membatalkan keputusan Rapat Harian Syuriah dan Tanfidziyah;
5. Rapat dianggap kuorum apabila dihadiri oleh setengah lebih satu dari jumlah peserta rapat yang seharusnya;
Demikianlah salah satu
syarat pemberhentian Ketua Umum PBNU dianggap sah harus dilakukan sesuai prosedur dan
mekanisme diatas.
Akhirnya, sebagai warga NU biasa hanya bisa berharap agar
kisruh ini diselesaikan secara internal terutama adanya peran aktif dari Mustasyar dan pihak-pihak
yang dituakan kedua belah pihak yang berselisih. Karena kisruh ini tidak akan mungkin diselesaikan oleh Majelis Tahkim NU dimana hakim-hakimnya adalah
pihak-pihak yang berselisih. Wallahu A’lam.
* Penulis adalah Praktisi Hukum, Pemerhati Hukum Tata Negara, Managing Partner Miftakhul Huda & Rekan Law Firm
