Text Widget

Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipisicing elit, sed do eiusmod tempor incididunt ut labore et dolore magna aliqua. Ut enim ad minim veniam, quis nostrud exercitation test link ullamco laboris nisi ut aliquip ex ea commodo consequat.

Sample Text

Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipisicing elit, sed do eiusmod tempor incididunt ut labore et dolore magna aliqua. Ut enim ad minim veniam, quis nostrud exercitation test link ullamco laboris nisi ut aliquip ex ea commodo consequat.

Duis aute irure dolor in reprehenderit in voluptate another link velit esse cillum dolore eu fugiat nulla pariatur.

Contact Us

Nama

Email *

Pesan *

Categories

Labels

Labels

Popular Posts

BTemplates.com

Pages

About

BTemplates.com

Blog Archive

BTemplates.com

Blogroll

Blogger Tutorials

Blogger Templates

Langsung ke konten utama

Menguji Keabsahan Pemberhentian Gus Yahya sebagai Ketua Umum PBNU

Sumber foto: Kompas.com
Oleh Miftakhul Huda*

Karena penasaran dengan kisruh pemberhentian KH Yahya Cholil Staquf atau Gus Yahya sebagai Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) melalui Rapat Harian Syuriah yang dipimpin oleh Rais Aam KH Miftachul Ahyar yang tampaknya belum berakhir sampai kini, saya tertarik membaca langsung pasal-pasal Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) NU dan peraturan-peraturan internalnya bagaimana mengatur pemberhentian posisi Ketua Umum PBNU.

Semula hasil membaca ini untuk konsumsi pribadi untuk menjawab ketidaktahuan dan rasa penasaran dan tidak memiliki keberanian mengomentari masalah antar orang yang dituakan. Belakangan muncul keinginan hasil pembacaan dan analisis sederhana ini diketahui lebih dari saya agar aturan main (rule of the game) pemberhentian pengurus PBNU dapat diketahui lebih luas agar kisruh internal NU ini menjadi pembelajaran bersama.

Sewajarnya pemberhentian jabatan dalam organisasi massa keagamaan yang berusia tua dan kenyang makan garam seperti NU dapat dikembalikan kepada AD/ART dan peraturan internalnya sebagai aturan main organisasi tersebut. Artinya, setiap pemberhentian pengurus dapat dipertanggungjawabkan keabsahannya, termasuk pemberhentian terhadap jabatan selevel Ketua Umum PBNU yang dipilih melalui Muktamar yang selayaknya dilakukan lebih hati-hati, cermat, melalui proses pembuktian (sederhana atau rigid), dan tentunya tidak dapat dilakukan dengan sembrono.

Umumnya organisasi besar dan modern dengan banyak jabatan yang memiliki aturan main, pemberhentian jabatan dianggap sah dapat diuji dari tiga hal: pertama, pihak/pejabat yang memberhentikan harus memiliki kewenangan untuk itu; kedua, memenuhi alasan-alasan pemberhentian tertentu yang sebelumnya telah disepakati; dan ketiga, pemberhentian melalui prosedur dan mekanisme yang disepakati. Tiga alat uji ini bersifat limitatif, sehingga jika salah satu saja syarat ini tidak terpenuhi maka status pemberhentiannya tidak sah.

1. Apakah Rapat Harian Syuriah memiliki kewenangan memberhentikan Gus Yahya sebagai Ketua Umum PBNU?

Pemberhentian Gus Yahya sebagai Ketua Umum PBNU berdasarkan keputusan Rapat Harian Syuriah tanggal 20 November 2025 yang meminta Gus Yahya mundur atau diberhentikan dari Ketua Umum PBNU,  yang kemudian diikuti Surat Edaran Syuriah yang menyatakan Gus Yahya sudah tidak lagi menjabat sebagai Ketua Umum PBNU per 26 November 2025 pukul 00.45 WIB. Selama kekosongan jabatan,  PBNU dipimpin sepenuhnya oleh KH Mifachul Akhyar.

Dengan tidak mengakui Gus Yahya sebagai Ketua Umum dan diikuti penggantinya, maka Rapat Harian Syuriah itu menjadi dasar pemberhentian Ketua Umum. Meskipun Surat Edaran tersebut dibantah sebagai sebagai surat pemberhentian berdasar pernyataan KH Ahmad Tajul Mafakhir atau Gus Tajul yaitu, “lembaran tersebut adalah surat edaran bukan surat pemberhentian” (“Kronologi Persoalan di PBNU (3): Surat Edaran Syuriah, Status Ketum, hingga Dorongan PWNU untuk Islah”, NU Online, 28/10/2025), namun dengan Syuriah memutuskan meminta mengundurkan diri dengan tenggang waktu atau diberhentikan dan kemudian memutuskan penggantinya maka namanya tetap “pemberhentian”.

Masalahnya apakah Syuriah memiliki kewenangan untuk itu ? Apakah melalui Rapat Harian Syuriah merupakan prosedur penggunaan kewenangan pemberhentian yang dibenarkan? Apakah Rais Aam juga memiliki kewenangan untuk itu?

Setelah berusaha memahami isi Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) dan peraturan-peraturan internal NU dengan cermat, Syuriah PBNU maupun Rais Aam PBNU tidak tidak memiliki kewenangan memberhentikan Ketua Umum PBNU. Tugas dan kewenangan Syuriah dalam AD/ART telah diatur jelas dan tidak memiliki kewenangan memberhentikan Ketua Umum yang berada dalam jajaran tertinggi Tanfidziyah PBNU. Demikian pula Rapat Harian Tanfidziyah pun tidak berwenang memberhentikan Rais Aam sebagai pemimpin tertinggi di jajaran Syuriah.

Rais Aam dan Ketua Umum sama-sama dipilih melalui Muktamar dan sesuai asas hukum yang berlaku umum bahwa siapa pejabat/lembaga yang berwenang mengangkat (actus primus)  adalah yang berwenang memberhentikan atau membatalkannya (contrarius actus). Muktamar yang mengangkat Ketua Umum maka Muktamar (Luar Biasa) pulalah yang berwenang memberhentikan Ketua Umum PBNU saat jabatannya berakhir (periodik) atau pada saat periode memegang jabatannya dengan alasan-alasan tertentu (khusus). 

Meskipun Syuriah sebagai pimpinan tertinggi Nahdlatul Ulama” dengan tugas dan wewenang “membina dan mengawasi pelaksanaan keputusan-keputusan perkumpulan”, namun Syuriah tidak diberikan kewenangan memberhentikan Ketua Umum PBNU, apalagi melalui Rapat Harian yang kedudukannya jauh dibawah Rapat Pleno ataupun Rapat Harian Syuriah dan Tanfidziyah. Apalagi dibandingkan dengan Muktamar sebagai forum permusyawaratan tertinggi. Seluruh kewenangan Syuriah sebagai pimpinan tertinggi di NU dijabarkan secera rinci dalam tugas dan wewenangnya yang diatur dalam AD/ART dan Peraturan Perkumpulan NU.

Harus diakui Rais Aam di PBNU memiliki keistimewaan misalkan terkait pemilihannya yang tidak boleh voting tetapi harus melalui musyawarah mufakat oleh Ahlul Halli wal ‘Aqdi dan memiliki hak veto menyetujui (maupun menolak) calon Ketua Umum saat Muktamar, namun sepanjang tidak diberikan kewenangan selainnya, maka tidak memiliki kewenangan menurut hukum dengan alasan hak istimewa, terlebih dalam AD/ART NU pemberhentian Ketua Umum dalam periode masa jabatannya belum berakhir secara tegas hanya dapat dilakukan melaui Muktamar Luar Biasa.

Demikian pula Rais Aam juga tidak berwenang mengangkat dirinya sendiri sebagai Ketua Umum PBNU (untuk sementara atau tetap) kecuali melalui forum yang dibenarkan, apakah Rais Aam yang merangkap Ketua Umum apakah sesuai Peraturan Perkumpulan NU Nomor 12 Tahun 2025 tentang Rangkap Jabatan?

Berdasarkan Peraturan Perkumpulan NU Nomor 13 Tahun 2025 tentang Pemberhentian Fungsionaris, Pergantian Antar Waktu dan Pelimpahan Fungsi Jabatan memang memungkinkan pemberhentian Ketua Umum PBNU melalui mekanisme “Pergantian Antar Waktu”Apabila peraturan sebelumnya dianggap berlaku dan tidak bertentangan dengan peraturan terbaru, berdasarkan Peraturan Perkumpulan NU Nomor 13 Tahun 2022 mengatur soal pemberhentian Ketua Umum PBNU dan kewenangannya diberikan kepada keputusan Rapat Pleno yang dengan ini sesungguhnya kedudukan Rapat Pleno jauh dibawah Musyawarah Nasional Alim Ulama maupun Konferensi Besar yang menurut AD/ART yang tidak boleh “memilih Pengurus baru”.

Dengan demikian, pihak yang berwenang memberhentikan Ketua Umum PBNU dalam masa khidmahnya hanya Muktamar Luar Biasa berdasarkan AD/ART dan Peraturan Perkumpulan NU serta melalui Rapat Pleno berdasarkan Peraturan Perkumpulan NU. 

Lalu, apa yang dimaksud Rapat Pleno?  

Pasal 91 ayat (1) ART NU menyatakan:

Rapat Pleno adalah Rapat yang dihadiri oleh Mustasyar, Pengurus Lengkap Syuriah, Pengurus Harian Tanfidziyah, Ketua Lembaga dan Ketua Badan Otonom”.

Hal demikian juga ditegaskan dalam 7 ayat (1) Peraturan Perkumpulan NU No. 10 Tahun 2025 yang berbunyi:

Rapat Pleno dihadiri oleh dan wajib mengundang mustasyar, pengurus lengkap syuriah, pengurus harian tanfidziyah, ketua lembaga, dan ketua umum/ketua badan otonom di tingkat kepengurusan masing-masing”.

Selanjutnya kewenangan pemberhentian melalui “Pergantian Antar Waktu” dinyatakan dalam Pasal 7 ayat (4) yang menyatakan “Sesuai kewenangannya di tingkat kepengurusan masing-masing, Rapat Pleno dapat menetapkan…..serta menetapkan Pejabat Rais Aam/Rais Syuriah dan/atau Ketua Umum/Ketua Tanfidziyah dalam hal terjadi pergantian antar waktu di tingkat kepengurusan masing-masing”.

Artinya, jika Rapat Pleno diatas yang digunakan maka pelaksanaannya harus sesuai syarat dan ketentuan yang dibenarkan AD/ART dan Peraturan Perkumpulan NU. Dalam Rapat Pleno inilah memungkinkan memutuskan apakah alasan-alasan pemberhentian apakah terbukti atau tidak.

Sehingga sebagai organisasi terhormat seperti NU sebelum terdapat keputusan pemberhentian melalui forum yang dibenarkan semestinya tetap mengedepankan asas praduga tidak bersalah (presumtion of innocence) terhadap seseorang yang memiliki hak-hak konstitusional maupun praduga keabsahan keputusan Gus Yahya sebagai Ketua Umum PBNU yang dihasilkan melalui Muktamar (presumptio iustae causa/praduga rechtmatig).

Berdasarkan uraian diatas, maka sebelum terdapat keputusan Rapat Pleno atau Muktamar Luar Biasa yang sah yang memberhentikan Gus Yahya sebagai Ketua Umum maka status hukum Gus Yahya masih sah sebagai Ketua Umum sampai pemberhentiannya melalui Rapat Pleno maupun Muktamar (Luar Biasa), karena yang berwenang memberhentikan Ketua Umum hanya Rapat Pleno dan tidak dapat dilakukan hanya melalui Rapat Harian Syuriah atau Rapat Harian Syuriah dan Tanfidziyah sekalipun.

Rapat Peno pun saat memutuskan penggantinya adalah berstatus “Pejabat Ketua Umum” karena sesungguhnya pemilihan dan pemberhentian Ketua Umum PBNU yang dipilih Muktamar hanya melalui Muktamar (Luar Luar).

Sehingga berlebihan kiranya surat yang menyatakan “kepemimpinan PBNU sepenuhnya berada ditangan Rais Aam (KH Mifachul Akhyar) selaku pimpinan tertinggi NU” padahal status Gus Yahya belum terdapat keputusan Rapat Pleno. Ini berarti Rais Aam juga merangkap jabatan Ketua Umum. Ini bermasalah karena selain terkait “rangkap jabatan” dan Rapat Pleno pun belum memutuskan pemberhentian atau tidak, sehingga Syuriah telah mengambil wewenang Rapat Pleno yang belum diselenggarakan.

Selain itu, keputusan tingkat Syuriah tidak dapat menganulir keputusan permusyawaratan tertinggi dalam NU dalam Muktamar. Karena tugas dan wewenang pengurus seluruhnya dibatasi AD/ART dan Peraturan Perkumpulan NU sebagai “aturan main organisasi” dan tidak mengecualikan pengurus tertentu diperbolehkan melanggar aturan main. Keistimewaan yang dimiliki jabatan tertentu hanya sebatas yang disepakati bersama dan adanya keistimewaan itu semua dicerminkan atau dipancarkan dalam uraian kewenangan dan tugasnya.

Sehingga seharusnya jika menurut Syuriah terdapat hal yang menurutnya Ketua Umum dapat dibawa ke Rapat Pleno seharusnya menggunakan mekanisme yang tersedia dan tidak jauh menyatakan Gus Yahya tidak berstatus Ketua Umum dan tidak memiliki kewenangan dan hak sebagai Ketua Umum dimana Rapat Pleno  belum dilakukan.

Dengan tidak sahnya pemberhentian Gus Yahya tanpa melalui Rapat Pleno ataupun Muktamar (Luar Biasa) sebagai forum tertinggi dalam organisasi, sehingga keputusan/surat Syuriah maupun Rais Aam terkait pemberhentian dan penggantian Ketua Umum yang apabila menggunakan pendekatan hukum tata negara/administrasi negara termasuk melampaui kewenangan (onbevoegdheid ratione materiae) dimana keputusan yang demikian berakibat batal demi hukum (nietigheid van rechtswege).

Keputusan yang batal demi hukum di mata hukum dianggap tidak pernah ada dan lahir. Segala keputusan-keputusan lanjutan yang lahir atau mendasarkan pada keputusan yang tidak sah tersebut (tidak berwenang) adalah tidak sah pula.

2. Apakah pemberhentian Gus Yahya memenuhi alasan-alasan pemberhentian menurut AD/ART dan Peraturan Perkumpulan NU?

Sepanjang pembacaan saya dari isi AD/ART maupun Peraturan Perkumpulan NU, jika menggunakan Rapat Pleno melalui mekanisme  “Pergantian Antar Waktu” alasan-alasan pemberhentian tetap berdasarkan Peraturan Perkumpulan NU Nomor 13 Tahun 2025 tentang Pemberhentian Fungsionaris, Pergantian Antar Waktu dan Pelimpahan Fungsi Jabatan, sebagai berikut:

Pasal 6

Pemberhentian fungsionaris, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf b terdiri dari pemberhentian dengan hormat dan pemberhentian tidak dengan hormat.

Pasal 5

Pemberhentian dengan hormat, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, dilakukan terhadap fungsionaris dikarenakan yang bersangkutan antara lain:

a. mengundurkan diri dengan alasan yang dapat diterima;

b. sakit yang tidak memungkinkan untuk melaksanakan tugas perkumpulan sedikitnya selama enam bulan;

c. pindah domisili sehingga tidak dapat melaksanakan tugas perkumpulan secara wajar;

d.  tidak aktif sedikitnya dalam enam bulan dengan tidak meninggalkan persoalan yang merugikan perkumpulan tanpa pemberitahuan dan alasan yang dapat diterima;

e. melanggar larangan rangkap jabatan sebagaimana diatur dalam Anggaran Rumah Tangga Nahdlatul Ulama; dan/atau

f. tidak mengikuti dan tidak lulus pendidikan kaderisasi sebagaimana diatur dalam Peraturan Perkumpulan Nahdlatul Ulama tentang Syarat Menjadi Fungsionaris.

Pasal 6

Pemberhentian tidak dengan hormat, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dilakukan terhadap fungsionaris dikarenakan yang bersangkutan:

a. melakukan tindakan yang mencemarkan nama baik perkumpulan;

b. melakukan tindakan yang merugikan perkumpulan secara materiil;

c. melakukan tindakan hukum melawan Perkumpulan Nahdhatul Ulama; dan/atau

d. menjalani hukuman penjara karena tindak pidana berdasarkan keputusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap.

Untuk sahnya pemberhentian Ketua Umum PBNU melalui Rapat Pleno harus berdasarkan terbukti kebenarannya alasan-alasan pemberhentian tetap diatas (salah satu atau seluruh alasan) menggunakan standar pembuktian yang dapat dipertanggungjawabkan secara hukum maupun ilmu pengetahuan.

Sedangkan alasan-alasan pemberhentian melalui Muktamar Luar Biasa hanya karena alasan melakukan pelanggaran berat. Hal ini berdasarkan Pasal 74 ayat (1) ART NU yang berbunyi:

Muktamar Luar Biasa dapat diselenggarakan apabila Rais ’Aam dan/atau Ketua Umum Pengurus Besar melakukan pelanggaran berat terhadap ketentuan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga.

Terkait alasan-alasan ini tidak dibahas lebih lanjut karena terkait pembuktian berdasarkan fakta-fakta yang tidak dapat hanya melalui pemberitaan.

3. Apakah pemberhentian Gus Yahya berdasarkan prosedur dan mekanisme sesuai AD/ART dan Peraturan Perkumpulan NU?

Sebagaimana telah diuraikan diatas, pemberhentian Gus Yahya selaku Ketua Umum PBNU hanya dapat dilakukan Rapat Pleno maupun Muktamar Luar Biasa. Artinya, keputusannya tidak diperbolehkan hanya oleh Syuriah. Sehingga selain melalui Rapat Pleno maupun Muktamar Luar Biasa, maka pemberhentian Gus Yahya telah keluar dari AD/ART NU dan Peraturan Perkumpulan NU.

Selain itu, keabsahan pemberhentiannya harus dilakukan sesuai prosedur dan mekanisme secara umum dalam Rapat Pleno dan Muktamar Luar Biasa dan prosedur khusus yang diatur khusus dalam pemberhentian antar waktu.

Berdasarkan Peraturan Perkumpulan NU Nomor 13 Tahun 2025 tentang Pemberhentian Fungsionaris, Pergantian Antar Waktu dan Pelimpahan Fungsi Jabatan, tidak diatur prosedur dan mekanisme pemberhentiannya.

Namun, apabila Peraturan Perkumpulan NU Nomor 13 Tahun 2022 dianggap berlaku dan tidak bertentangan dengan peraturan terbaru, dari Pasal 10, Pasal 11, dan Pasal 12 dapat diringkaskan yang relevan prosedur dan mekanismenya sebagai beriku:

1. Pejabat pengurus yang dapat dipilih dan diangkat dalam pergantian pengurus untuk jabatan Ketua Umum PBNU adalah salah satu Wakil Ketua Umum;

2. Rapat Pleno untuk pergantian Ketua Umum harus dihadiri oleh Mustasyar, Pengurus Lengkap Syuriyah, Pengurus Harian Tanfidziyah, Ketua Lembaga dan Ketua Badan Otonom serta dinyatakan memenuhi kuorum;

3. Surat undangan Rapat Pleno untuk pergantian jabatan Ketua Umum dapat ditandatangani oleh Rais Aam/Wakil Rais Aam, Katib Aam/Wakil Katib Aam, Ketua Umum/Wakil Ketua Umum, dan Sekretaris Jenderal/Wakil Sekretaris Jenderal;

4. Pergantian ditindaklanjuti dengan mengirimkan surat permohonan pengesahan susunan pengurus antar waktu dengan melampirkan berita acara hasil Rapat Pleno;

5. Surat permohonan disertai daftar riwayat hidup, Kartu Tanda Penduduk, Kartu Tanda Anggota Nahdlatul Ulama (KARTANU) dan sertifikat pendidikan dan pelatihan pejabat pengurus baru tersebut.

6. Untuk jabatan Ketua Umum sebutan jabatan penggantinya adalah Pejabat Ketua Umum;

7. Masa khidmat pengurus pengganti adalah sama dengan masa khidmat pengurus yang digantikan, yaitu melanjutkan sisa masa khidmat Ketua Umum dimaksud.

Berdasarkan Peraturan Perkumpulan NU Nomor 10 Tahun 2025 tentang Rapat dalam Pasal 7, Pasal 8 dan Pasal 9 dapat diringkaskan sebagai berikut:

1. Pemberitahuan pelaksanaan Rapat Pleno dan agenda rapat disampaikan secara resmi selambat-lambatnya 7 hari sebelum pelaksanaan;

2. Rapat Pleno dilaksanakan oleh Rais Aam/Rais dan jika berhalangan tetap dipimpin oleh Wakil Rais Aam/Wakil Rais;

3. Hasil-hasil Rapat Pleno ditandatangani oleh Rais Aam/Rais/Wakil Rais, Katib Aam/Katib/Wakil Katib dan apabila berhalangan ditandatangani oleh pimpinan rapat yang ditunjuk;

4. Hasil Rapat Pleno mengikat seluruh unsur Pengurus dan dapat mengoreksi atau membatalkan keputusan Rapat Harian Syuriah dan Tanfidziyah;

5. Rapat dianggap kuorum apabila dihadiri oleh setengah lebih satu dari jumlah peserta rapat yang seharusnya;

Demikianlah salah satu syarat pemberhentian Ketua Umum PBNU dianggap sah harus dilakukan sesuai prosedur dan mekanisme diatas.

Akhirnya, sebagai warga NU biasa hanya bisa berharap agar kisruh ini diselesaikan secara internal terutama adanya peran aktif dari Mustasyar dan pihak-pihak yang dituakan kedua belah pihak yang berselisih. Karena kisruh ini tidak akan mungkin diselesaikan oleh Majelis Tahkim NU dimana hakim-hakimnya adalah pihak-pihak yang berselisih. Wallahu A’lam.

* Penulis adalah Praktisi Hukum, Pemerhati Hukum Tata Negara, Managing Partner Miftakhul Huda & Rekan Law Firm