Text Widget

Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipisicing elit, sed do eiusmod tempor incididunt ut labore et dolore magna aliqua. Ut enim ad minim veniam, quis nostrud exercitation test link ullamco laboris nisi ut aliquip ex ea commodo consequat.

Sample Text

Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipisicing elit, sed do eiusmod tempor incididunt ut labore et dolore magna aliqua. Ut enim ad minim veniam, quis nostrud exercitation test link ullamco laboris nisi ut aliquip ex ea commodo consequat.

Duis aute irure dolor in reprehenderit in voluptate another link velit esse cillum dolore eu fugiat nulla pariatur.

Contact Us

Nama

Email *

Pesan *

Categories

Labels

Labels

Popular Posts

BTemplates.com

Pages

About

BTemplates.com

Blog Archive

BTemplates.com

Blogroll

Blogger Tutorials

Blogger Templates

Langsung ke konten utama

Problem Hukum Dua Ketum PBNU dan Jalan Keluar Penyelesaiannya

Sumber foto: https://id.wikipedia.org/
Oleh Miftakhul Huda*

Rapat Harian Syuriyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) pada Kamis (20/11/2025) meminta Ketua Umum (Ketum) KH Yahya Cholil Staquf atau Gus Yahya mundur atau diberhentikan yang diikuti Surat Edaran Syuriyah (25/11/2025) yang tidak mengakui Gus Yahya sebagai Ketum dan Rais Aam mengambilalih kepemimpinannya. Gus Yahya tidak menerima keputusan itu begitu saja dan menyatakan pemberhentiannya tidak sah tanpa dilakukan melalui Muktamar atau Muktamar Luar Biasa (MLB).

Silaturahmi Sesepuh dan Mustasyar bersama dengan Syuriyah dan Tanfidziyah di Ponpes Tebuireng, Jombang juga merekomendasikan agar Rapat Pleno tidak menetapkan Pj Ketum “sebelum seluruh prosedur dan musyawarah diselesaikan sesuatu ketentuan organisasi”. Namun, Rapat Pleno yang diinisiasi Syuriyah tetap keukeuh diselenggarakan sebagaimana Selasa lalu (9/12/2025) menetapkan KH Zulfa Mustofa sebagai Pejabat (Pj) Ketum.

Kondisi ini berarti dalam satu organisasi PBNU terdapat dua orang yang sama-sama mengklaim sebagai Ketum. Ini bukan masalah sederhana dan membahayakan organisasi NU. Sedangkan pada sisi lain posisi Rais Aam dan Katib Aam belum berubah. Sementara Sekretaris Jenderal (Sekjen) H. Saifullah Yusuf atau Gus Ipul telah lebih awal digantikan oleh H Amin Said Husni.

Yang menghawatirkan, seperti konflik dualisme kepengurusan organisasi massa keduanya akan “berebut” pengaruh dan dukungan sebagai Ketum sah dari pengurus tingkat wilayah dan cabang/cabang istimewa. Selain itu, dimungkinkan pihak Pj. Ketum mengganti posisi-posisi strategis di PBNU yang berseberangan dan diisi para pendukungnya. Hal ini terkonfirmasi belakangan dengan Rapat Harian Syuriyah dan Tanfidziyah menunjuk Prof. Muhammad Nuh sebagai Katib Aam menggantikan KH Ahmad Said Asrori. Mudah ditebak. Tujuannya agar posisi Rais Aam, Katib Aam, Ketum, dan Sekjen berada dalam “genggaman”.

Selanjutnya, kedua pihak akan mengklaim sama-sama berhak menyelenggarakan Muktamar sendiri-sendiri. Keadaan ini membuat kepengurusan di bawah PBNU akan terombang-ambing mengikuti pengurus PBNU yang mana.

Sejauh ini PBNU dengan Ketum Gus Yahya tidak melakukan langkah-langkah serupa misalkan membuat forum untuk pemberhentian dan penggantian Rais Aam di luar MLB. Tampaknya pihak Gus Yahya masih menghormati posisi KH Miftachul Akhyar dan masih mengupayakan kemungkinan islah. Jika hal ini dilakukannya, PBNU praktis tidak hanya memiliki dua Ketum, tetapi lebih jauh lagi PBNU bisa terbelah menjadi dua dan nantinya menjadi dua jamiyah NU.

Sebagai pertanggungjawaban menyebarkan pengetahuan setelah membaca dan berusaha memahami pasal demi pasal Qanun Asasi, Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART), dan Peraturan Perkumpulan NU dan keprihatinan atas konflik di PBNU ini, saya berusaha mengurai problem hukum dan menegaskan kembali tulisan-tulisan sebelumnya bahwa semua kisruh ini tetap harus didudukkan pada masalah pokoknya yang berakibat ketidakabsahan tindakan-tindakan turunannya dan usaha mencari solusi penyelesaiannya. Lihat: Menguji Keabsahan Pemberhentian Gus Yahya sebagai Ketua Umum PBNU

Bahwa proses “pemberhentian” maupun “penggantian” Ketum seharusnya tetap mengacu norma-norma internal yang disepakati mereka sendiri sebagai organisasi massa berbentuk perkumpulan. Sekalipun kepengurusannya diisi para kyai, gus, santri, atau orang-orang yang dianggap memiliki otoritas keilmuan agama. Ormas yang memiliki AD/ART seperti partai politik juga tiap pengurus dan anggota harus berkomitmen bahwa AD/ART merupakan aturan main tertinggi organisasi dan tidak hanya sekedar hiasan dan formalitas semata.

Pemberhentian Ketum Kewenangan Asli MLB

Sebagaimana Gus Yahya sebagai Ketum PBNU dipilih dalam Muktamar ke-34 di Lampung untuk masa khidmah 2022-2027. Muktamar adalah forum permusyawaratan tertinggi yang berwenang menetapkan dan mengubah AD/ART sebagai aturan dasar tertinggi, termasuk memilih Ketum dan Rais Aam.

Sebelum masa jabatan Gus Yahya berakhir pemberhentiannya hanya dapat dilakukan karena alasan “pelanggaran berat” dan melalui Muktamar Luar Biasa atau MLB. Hal demikian sesuai dengan Anggaran Rumah Tangga (ART) NU yang mengatur mengenai MLB dalam Pasal 74 yang berbunyi:

Pasal 74

(1) Muktamar Luar Biasa dapat diselenggarakan apabila Rais ’Aam dan/atau Ketua Umum Pengurus Besar melakukan pelanggaran berat terhadap ketentuan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga.

(2) Muktamar Luar Biasa dapat diselenggarakan atas usulan sekurang-kurangnya 50% (lima puluh persen) plus satu dari jumlah wilayah dan cabang.

(3) Muktamar Luar Biasa dipimpin dan diselenggarakan oleh Pengurus Besar Nahdlatul Ulama.

(4) Ketentuan tentang peserta dan keabsahan Muktamar Luar Biasa merujuk kepada ketentuan Muktamar.

Tiada mekanisme lain pemberhentian karena pelanggaran berat di luar MLB berdasarkan AD/ART ini yang seharusnya tidak boleh disimpangi. Apalagi dalam ketentuan permusyawaratan tertinggi dibawah Muktamar (MLB) menegaskan adanya “larangan memilih pengurus baru”, yang artinya forum di bawah Muktamar dan MLB ini tidak dapat digunakan untuk memilih pengurus baru (dan pemberhentiannya) berdasarkan ART Pasal 75 ayat (6) dan Pasal 76 ayat (4) sebagai berikut:

 Musyawarah Nasional Alim Ulama tidak dapat mengubah Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga, keputusan Muktamar dan tidak memilih pengurus baru.

Konferensi Besar tidak dapat mengubah Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga, keputusan Muktamar dan tidak memilih pengurus baru.

Dengan demikian, kewenangan pemberhentian Ketum hanya dimiliki MLB (yang dihadiri oleh Pengurus PBNU, Pengurus Wilayah NU, dan Pengurus Cabang/Cabang Istimewa NU) yang diberikan oleh AD/ART yang menurut teori hukum konstitusi/administrasi negara adalah kewenangan atributif yang bersifat asli (oorspronkelijke bevoegdheid) yang diberikan AD/ART sebagai konstitusi NU. Kewenangan atributif tersebut hanya diberikan kepada MLB dan tidak dapat diberikan ke forum lain, kecuali konstitusi organisasi secara tegas (expressis verbis) memberikannya. Kewenangan disini adalah kekuasaan hukum yang berarti dapat memutuskan pemberhentian atau tidaknya berdasarkan ketentuan yang berlaku.

Kewenangan atributif tersebut tidak dapat diambil alih forum apapun misalkan Munas Alim Ulama maupun Konferensi Besar sebagai forum dibawah Muktamar atau MLB. Apalagi kewenangan pemberhentian ini dilakukan dalam rapat-rapat tingkat kepengurusan PBNU seperti Rakernas, Rapat Pleno, Rapat Harian Syuriyah dan Tanfidziyah, Rapat Harian Syuriyah, Rapat Harian Tanfidziyah, dan rapat-rapat lainnya yang notabene bukan forum permusyawaratan tertinggi pada jamiyah NU, melainkan hanya rapat-rapat tingkat PBNU.

Pemberhentian untuk jabatan Ketum atau nama lainnya sebuah organisasi massa yang dipilih forum permusyawaratan tertinggi seperti Muktamar, Kongres, Munas, Rapat Anggota Tertinggi, atau nama lainnya, umumnya melalui forum yang sama. Hal ini sesuai asas hukum contrarius actus bahwa bahwa forum/pejabat yang mengangkat juga berwenang untuk memberhentikannya yang saat ini diakomodir Undang-Undang Administrasi Pemerintahan (UU 30/2014).

Sesuai teori hukum organisasi dan asas corporate governance, organ yang mengangkat adalah organ yang berwenang memberhentikan (the appointing authority holds the dismissing authority). Hal demikian juga berlaku untuk partai politik dan organisasi massa lain.

Karena dipilih melalui proses tidak mudah itulah umumnya pemberhentiannya juga tidak mudah. Pemberhentiannya berdasar alasan-alasan khusus dan tidak karena alasan pelanggaran sedang atau ringan yang mengakibatkan setiap saat posisinya rawan jatuh karena persoalan beda pendapat, like and dislike, atau hal sepele lainnya.

Sebagai perbandingan, pemberhentian Presiden di Indonesia juga karena “melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya”, atau melakukan perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai presiden (Pasal 7A Undang-Undang Dasar 1945). Demikian pula mekanisme pemberhentiannya melalui proses pemakzulan di Dewan Perwakilan Rakyat,  Mahkamah Konstitusi dan Majelis Permusyawaratan Rakyat. Karena presiden dipilih secara langsung, pemberhentiannya tidak mudah, yang berbeda apabila presiden dipilih oleh MPR seperti ketentuan sebelumnya, maka MPR yang berwenang memberhentikannya.

Pemberhentian Ketum PBNU hanya dapat dilakukan karena alasan “pelanggaran berat” dan melalui MLB tersebut yang seharusnya dijabarkan dalam Peraturan Perkumpulan NU sejauh mana perbuatan-perbuatan yang dianggap merupakan pelanggaran berat. Misalkan dalam hukum tata negara disepakati untuk pelanggaran yang tergolong berat antara lain kejahatan yang diancam dengan pidana penjara lebih dari lima tahun atau lebih. NU dapat mempedomani ukuran pelanggaran berat menurut hukum negara atau hukum agama. Termasuk terkait prosedur dan mekanisme pelaksanaan MLB tersebut juga dijabarkan dalam Peraturan Perkumpulan NU terkait.

Sayangnya, Peraturan Perkumpulan NU tidak menjabarkan lebih jauh MLB diatas. Tidak diatur jenis-jenis pelanggaran berat seperti apa untuk dapat menyelenggaraan MLB tersebut. Tidak diatur pula siapa pengurus PBNU yang berwenang menyelenggarakan MLB ketika pelanggaran itu dilakukan oleh keduanya atau salah satunya (Ketum atau Rais Aam). Ada kekosongan hukum terkait syarat dan ketentuan MLB yang berpotensi menimbulkan perbedaan tafsir dan penerapannya.

Justru, ketentuan pergantian antar waktu (PAW) mengatur termasuk Ketum maupun Rais Rais dapat diberhentikan selain karena alasan pelanggaran berat yang menimbulkan problem konflik norma. Ketentuan PAW umum ini diberlakukan juga untuk pengurus yang dipilih melalui Muktamar ini diatur dalam Peraturan Perkumpulan NU Nomor 13 Tahun 2025 tentang Pemberhentian Fungsionaris, Pergantian Antar Waktu dan Pelimpahan Fungsi Jabatan, yang mengubah Peraturan Perkumpulan NU Nomor 13 Tahun 2022 dan Peraturan Perkumpulan NU Nomor 11 Tahun 2023.

Padahal ketentuan mengenai pengisian kekosongan jabatan dalam ART Pasal 49 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) menyatakan:

 (1) Apabila Ketua Umum berhalangan tetap, maka Wakil Ketua Umum menjadi Pejabat Ketua Umum.

(2) Apabila Wakil Ketua Umum berhalangan tetap, maka Ketua Umum atau Pejabat Ketua Umum menunjuk salah seorang Ketua untuk menjadi Wakil Ketua Umum.

(3) Apabila Ketua Umum dan Wakil Ketua Umum berhalangan tetap dalam watu yang bersamaan, maka Rapat Pleno Pengurus Besar Nahdlatul Ulama menetapkan Pejabat Ketua Umum dan Pejabat Wakil Ketua Umum.

Dari ketentuan ART diatas PAW mengatur:

1. Penggantian Ketua Umum dilakukan ketika berhalangan tetap;

2. Pengganti Ketua Umum ketika berhalangan tetap adalah Wakil Ketua Umum menjadi Pejabat Ketua Umum (Pj. Ketum);

3. Tidak diatur penggantian Ketua Umum tersebut harus melalui Rapat Pleno;

4. Penggantian harus melalui Rapat Pleno ketika Ketua Umum dan Wakil Ketua Umum berhalangan tetap secara bersamaan;

Sehingga rumusan ini tidak mengatur alasan-alasan pemberhentian Ketum dan Rais Aam. Hanya mengatur akibat berhalangan tetap, siapa pengurus pengganti, dan forum/rapat yang digunakan untuk mengganti ketika Ketum dan Wakilnya sama-sama berlangan. “Berhalangan tetap" disini dapat termasuk karena pemberhentian karena pelanggaran berat menurut keputusan MLB, tetapi menjadi tidak benar ketika alasan pemberhentian disamakan antara pengurus yang dipilih melalui Muktamar atau tidak, karena mekanisme pemberhentian Ketum telah diatur dalam ketentuan MLB.

Berdasarkan kenyataan bahwa pemberhentian Gus Yahya dilakukan melalui Rapat Harian Syuriyah dan tidak melalui mekanisme MLB maka Syuriyah telah melampaui kewenangan. Keputusan melampaui kewenangan ini batal demi hukum (null and void) dengan segala akibat hukumnya termasuk tidak sahnya seluruh keputusan, perbuatan dan tindakan turunannya berdasar dan bersumberkan kepada keputusan tidak sah tersebut. Karenanya, status hukum Gus Yahya di mata hukum masih sah sebagai Ketum.

Penggantian Ketum Melalui Rapat Pleno

Sekalipun misalkan Rapat Pleno yang menetapkan Pj. Ketum telah sesuai prosedur dan mekanisme Rapat Pleno dan ketentuan PAW dalam Peraturan Perkumpulan NU, dengan Gus Yahya masih sah sebagai Ketum, maka penetapan KH Zulfa Mustofa sebagai Pj. Ketum dengan sendirinya tidak sah, apalagi tidak memenuhi prosedur dan mekanisme penggantian Ketum. Lihat: Tanpa Ketum dan Sekjen, Undangan Rapat Pleno PBNU Tidak Sah

Kenapa?

Seharusnya penggantian Ketum melalui Rapat Pleno baru dapat dilakukan ketika terdapat keputusan pemberhentian Ketum dalam MLB berdasarkan AD/ART diatas sehingga terjadi kekosongan jabatan posisi Ketum (berhalangan tetap) sebagaimana Pasal 2 ayat (1)  dan (2) Peraturan Perkumpulan NU Nomor 13 Tahun 2025 menyatakan:

Pergantian antar waktu adalah perubahan susunan pengurus Nahdlatul Ulama pada saat masa khidmahnya sedang berjalan.”

“Pergantian antar waktu dilaksanakan dalam rangka mengisi kekosongan jabatan antar waktu dikarenakan terdapat fungsionaris yang berhalangan tetap.”

Aturan-aturan diatas terkait PAW dan bukan mekanisme dan kewenangan pemberhentian Ketum yang berada di tangan MLB, tetapi hanya terkait penggantian posisi Ketum ketika jabatannya kosong. Manakala terdapat keputusan “pemberhentian sekaligus penggantian” dalam keputisan MLB maka tidak memerlukan Rapat Pleno karena MLB sebagai forum permusyawaratan tertinggi diberikan kewenangan juga menetapkan penggantinya: Pj. Ketum atau Ketum definitif.

Dengan fakta tidak terdapat keputusan MLB yang memberhentikan Gus Yahya dan pemberhentiannya dilakukan Syuriyah serta Rapat Pleno tidak berwenang mengganti Ketum yang tidak berhalangan tetap, sehingga penetapan KH Zulfa Mustofa sebagai Pj. Ketum batal demi hukum dan apapun tindakannya yang mengatasnamakan sebagai Ketum sebagai tindakan yang tidak sah.

Masalahnya kemudian tidak terdapat pihak yang memutus ketidakabsahan dari proses pemberhentian Gus Yahya sebagai Ketum dan penetapan Pj.Ketum KH Zulfa Mustofa. Keduanya tidak menyelesaikan melalui pengadilan maupun Majelis Tahkim sebagai “wadah untuk penyelesaian perselisihan internal Perkumpulan  Nahdlatul Ulama” yang notabene dalam Peraturan Perkumpulan NU Nomor 14 Tahun 2025 susunan Majelisnya tidak didesain menyelesaikan sengketa yang melibatkan Rais Aam.

Jalan Keluar Penyelesaian

Dengan kondisi diatas jalan keluar yang mungkin dapat menyelamatkan NU dari adanya dua Ketum dalam satu organisasi, bahkan potensi adanya dua PBNU atau bahkan dua jamiyah NU, serta solusi yang sama-sama menang (win-win solution), adalah:

Pertama, menyelenggarakan MLB sebagai forum penyelesaian atas: 1) dugaan adanya pelanggaran berat yang selama ini dituduhkan kepada Ketum Gus Yahya, dan 2) dugaan pelanggaran AD/ART terkait pemberhentian Gus Yahya sebagai Ketum yang melibatkan Rais Aam KH Miftachul Akhyar.

Tanpa diselenggarakan MLB akan menimbulkan hukuman tanpa pengadilan dan pengadilan tanpa pembuktian, serta konflik berlarut-larut yang dapat memakan waktu tahunan yang dapat membelah PBNU dan jamiyah NU. Penyelenggaraan MLB ini harus atas usulan sekurang-kurangnya 50 persen plus satu dari jumlah wilayah dan cabang. Kedua pihak harus berkomitmen menyelesaikan semuanya melalui MLB dengan dua agenda ini dan penyelenggaraannya dilakukan PBNU oleh Rais Aam dan Ketum.

Kedua, apabila tidak mungkin dilakukan MLB dengan dua agenda diatas, jalan keluar berikutnya adalah kedua pihak saling berkomitmen menyelenggarakan percepatan Muktamar dimana KH Miftachul Akhyar dan Gus Yahya mencalonkan kembali atau tidak lagi mencalonkan diri pada posisi Rais Aam dan Ketum. Meskipun kedua pihak memiliki hak konstitusional mencalonkan diri, dengan sikap legowo demikian meminimalisir ketegangan yang muncul dari terbelahnya dua pendukungnya. Penyelenggaran Muktamar ini dilakukan dengan membentuk kepanitiaan yang diisi dari kedua pihak.

Ketiga, meski kecil kemungkinannya keberadaan Majelis Tahkim NU dapat dihidupkan sebagai jalan keluar menyelesaikan perselisihan internal ini. Tentunya dengan syarat Rais Aam bersedia tidak menggunakan haknya sebagai ketua sekaligus anggota Majelis Tahkim secara ex officio ini karena yang bersangkutan merupakan salah satu pihak yang bersengketa yang pasti tidak akan berbuat adil sesuai asas universal bahwa tidak seorang pun boleh menjadi hakim untuk perkaranya sendiri (nemo judex in causa sua).

Anggota Majelis Tahkim ini dapat diisi dari Mustasyar atau para kyai sepuh yang selama ini dianggap netral dan dapat diterima kedua pihak dan ketua Majelis nantinya dipilih para anggota. Kedua pihak harus bersedia menerima apapapun keputusan dari Majelis ini. Apabila tidak menerima keputusan Majelis ini pihak tersebut dapat menggugat ke pengadilan.

Akhirnya, konflik di PBNU mestinya dapat diselesaikan dengan saling memahami kondisi pihak lain: kenapa Syuriyah melakukan pemberhentian Gus Yahya sebagai Ketum dan memahami kenapa Gus Yahya tidak menerima keputusan pemberhentiannya. Kedua pihak harus berempati ke pihak lainnya dan saling mendengarkan serta memahami alasan masing-masing. Penyelesaian ini tentunya dengan adanya kerjasama, komunikasi dan saling beritikad baik.

Semuanya dapat belajar dari Mahatma Gandhi yang menyatakan, “Mata dibalas mata hanya akan berakhir membuat seluruh dunia buta ” yang artinya balas dendam menggunakan kekuatan atau kekuasaan masing-masing bukan solusi terbaik. Penyelesaian yang damai, manusiawi, dan beradab merupakan satunya-satunya jalan. Wallahu A’lam.

* Penulis adalah Praktisi Hukum, Pemerhati Hukum Tata Negara, Managing Partner Miftakhul Huda & Rekan Law Firm