![]() |
| Sumber foto: Kompas.com |
Dalam tulisan ini hanya mengulas salah satu syarat sahnya penyelenggaraan Rapat Pleno PBNU, yaitu surat undangan penyelenggaraan Rapat Pleno harus ditandatangani oleh pengurus PBNU yang dalam hal ini yang berwenang yaitu Rais Aam, Katib Aam, Ketua Umum, dan Sekretaris Jenderal. Lihat: Menguji Keabsahan Pemberhentian Gus Yahya sebagai Ketua Umum PBNU
Tanpa
ditandatangani Ketua Umum dan Sekretaris Jenderal undangan tidak dapat dibenarkan
berdasarkan Pasal 10 ayat
(4) dan (5) Peraturan Perkumpulan Nahdlatul Ulama Nomor:
13 Tahun 2022 tentang Tata Cara Pergantian Pengurus Antar Waktu dan Pelimpahan
Fungsi Jabatan yang berbunyi:
“Rapat Pleno
sebagaimana dimaksud dalam Ayat (1) adalah rapat yang dihadiri oleh Mustasyar,
Pengurus Lengkap Syuriyah, Pengurus Harian Tanfidziyah, Ketua Lembaga dan Ketua
Badan Otonom serta dinyatakan memenuhi kuorum”
Dan, “Surat
undangan Rapat Pleno sebagaimana dimaksud dalam Ayat 4) untuk Pengurus Besar
Nahdlatul Ulama ditandatangani oleh Rais ‘Aam, Katib ‘Aam, Ketua Umum dan Sekretaris Jenderal”
Selain itu, Rapat
Pleno dapat dilakukan dengan surat undangan yang ditandatangani oleh wakil pengurus tersebut
diatas berdasarkan ayat
(7) yang menyatakan:
“Dalam hal
pergantian pengurus terkait jabatan Rais ‘Aam, Katib ‘Aam, Ketua Umum dan
Sekretaris Jenderal atau Rais, Katib, Ke-tua dan Sekretaris di tingkatan
masing-masing, surat undangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (5) dan (6) dapat
ditandatangani oleh wakil pejabat yang
bersangkutan.”
Dengan demikian, Rais
Aam dan Katib Aam atau jajaran pengurus Syuriah kurang cukup
memiliki wewenang mengundang dan menandatangani surat undangan Rapat Pleno
untuk tingkat kepengurusan PBNU. Jika hanya ditandatangani jajaran pengurus Syuriah, status Rapat Pleno yang diselenggarakan pada dasarnya bukan sebagai
“Rapat Pleno PBNU”, melainkan “Rapat Pleno Syuriah PBNU” yang hanya mengikat internal
Syuriah.
Berdasarkan
status Ketua Umum yang belum diberhentikan oleh keputusan sah Muktamar Luar Biasa berdasarkan AD/ART, sehingga
status Gus Yahya masih sah sebagai Ketua Umum dengan kewenangan dan hak yang
dimilikinya sebagai salah satu yang berwenang secara kolektif kolegial menyetujui atau menolak penyelenggaraan Rapat Pleno. Tanpa persetujuan Ketua Umum pada
dasarnya tidak dapat terselenggara Rapat Pleno. Demikian pula dalam hal Rais
Aam yang diberhentikan juga harus atas persetujuan Rais Aam dengan yang
berwenang tanda tangan.
Aturan yang
mensyaratkan adanya tanda tangan pengurus yang akan diberhentikan ini memang
membuat Rapat Pleno sulit terselenggara, yang tentunya disadari oleh Rais Aam
dan Ketua Umum yang membuat Peraturan Perkumpulan NU tersebut. Namun, suka atau tidak suka Peraturan
Perkumpulan NU harus diikuti karena forum permusyawaratan yang membuat aturan dan
sejak awal menyadarinya.
Sekali saja
aturan main ini dilanggar akan menciptakan preseden buruk tatanan organisasi
di kemudian hari, yang mungkin saat ini pada posisi sebagai “pelaku” penyimpangan aturan main tetapi sewaktu-waktu
pelaku di lain waktu bisa menjadi “korban” penyimpangan aturan main.
Lebih elegan, legitimate, dan konstitusional
kiranya para insiator pemberhentian Ketua Umum ini menggunakan mekanisme Muktamar Luar Biasa berdasarkan Pasal 74
ayat (1) dan ayat (2) ART NU. Karena Muktamar Luar Biasa adalah forum permusyawaratan tertinggi yang berwenang untuk
itu dan PBNU secara ex officio seharusnya
menyelenggarakannya ketika syarat dan ketentuan usulan penyelenggaraannya
terpenuhi.
Sedangkan pemberhentian Ketua Umum melalui pergantian antar waktu dan Rapat Pleno meskipun
diatur dalam Peraturan Perkumpulan NU menyimpan problem penormaan, konflik norma, dan konstitusionalitas sesuai asas hukum dan kaidah penyusunan peraturan yang baik. Problem ini yang turut menimbulkan kisruh panjang dan penafsiran ganda yang seharusnya
diperbaiki di masa mendatang yang akan ditulis lain waktu. Wallahu A’lam.
* Penulis adalah Praktisi Hukum, Pemerhati Hukum Tata Negara, Managing Partner Miftakhul Huda & Rekan Law Firm
