Text Widget

Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipisicing elit, sed do eiusmod tempor incididunt ut labore et dolore magna aliqua. Ut enim ad minim veniam, quis nostrud exercitation test link ullamco laboris nisi ut aliquip ex ea commodo consequat.

Sample Text

Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipisicing elit, sed do eiusmod tempor incididunt ut labore et dolore magna aliqua. Ut enim ad minim veniam, quis nostrud exercitation test link ullamco laboris nisi ut aliquip ex ea commodo consequat.

Duis aute irure dolor in reprehenderit in voluptate another link velit esse cillum dolore eu fugiat nulla pariatur.

Contact Us

Nama

Email *

Pesan *

Categories

Labels

Labels

Popular Posts

BTemplates.com

Pages

About

BTemplates.com

Blog Archive

BTemplates.com

Blogroll

Blogger Tutorials

Blogger Templates

Langsung ke konten utama

Tanpa Ketum dan Sekjen, Undangan Rapat Pleno PBNU Tidak Sah

Sumber foto: Kompas.com
Oleh Miftakhul Huda*

Tidak mudah memberhentikan KH. Yahya Cholil Staquf sebagai Ketua Umum PBNU melalui Rapat Pleno, karena pelaksanaannya tetap harus mempedomani Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) dan peraturan internal NU.


Dalam tulisan ini hanya mengulas salah satu syarat sahnya penyelenggaraan Rapat Pleno PBNU, yaitu surat undangan penyelenggaraan Rapat Pleno harus ditandatangani oleh pengurus PBNU yang dalam hal ini yang berwenang yaitu Rais Aam, Katib Aam, Ketua Umum, dan Sekretaris Jenderal. Lihat: Menguji Keabsahan Pemberhentian Gus Yahya sebagai Ketua Umum PBNU 

Tanpa ditandatangani Ketua Umum dan Sekretaris Jenderal undangan tidak dapat dibenarkan berdasarkan Pasal 10 ayat (4)  dan (5)  Peraturan Perkumpulan Nahdlatul Ulama Nomor: 13 Tahun 2022 tentang Tata Cara Pergantian Pengurus Antar Waktu dan Pelimpahan Fungsi Jabatan yang berbunyi:

“Rapat Pleno sebagaimana dimaksud dalam Ayat (1) adalah rapat yang dihadiri oleh Mustasyar, Pengurus Lengkap Syuriyah, Pengurus Harian Tanfidziyah, Ketua Lembaga dan Ketua Badan Otonom serta dinyatakan memenuhi kuorum”

Dan, “Surat undangan Rapat Pleno sebagaimana dimaksud dalam Ayat 4) untuk Pengurus Besar Nahdlatul Ulama ditandatangani oleh Rais ‘Aam, Katib ‘Aam, Ketua Umum dan Sekretaris Jenderal

Selain itu, Rapat Pleno dapat dilakukan dengan surat undangan yang ditandatangani oleh wakil pengurus tersebut diatas berdasarkan ayat (7) yang menyatakan:

“Dalam hal pergantian pengurus terkait jabatan Rais ‘Aam, Katib ‘Aam, Ketua Umum dan Sekretaris Jenderal atau Rais, Katib, Ke-tua dan Sekretaris di tingkatan masing-masing, surat undangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (5) dan (6) dapat ditandatangani oleh wakil pejabat yang bersangkutan.”

Dengan demikian, Rais Aam dan Katib Aam atau jajaran pengurus Syuriah kurang cukup memiliki wewenang mengundang dan menandatangani surat undangan Rapat Pleno untuk tingkat kepengurusan PBNU. Jika hanya ditandatangani jajaran pengurus Syuriah, status Rapat Pleno yang diselenggarakan pada dasarnya bukan sebagai “Rapat Pleno PBNU”, melainkan “Rapat Pleno Syuriah PBNU” yang hanya mengikat internal Syuriah.

Berdasarkan status Ketua Umum yang belum diberhentikan oleh keputusan sah Muktamar Luar Biasa berdasarkan AD/ART, sehingga status Gus Yahya masih sah sebagai Ketua Umum dengan kewenangan dan hak yang dimilikinya sebagai salah satu yang berwenang secara kolektif kolegial menyetujui atau menolak penyelenggaraan Rapat Pleno. Tanpa persetujuan Ketua Umum pada dasarnya tidak dapat terselenggara Rapat Pleno. Demikian pula dalam hal Rais Aam yang diberhentikan juga harus atas persetujuan Rais Aam dengan yang berwenang tanda tangan.

Aturan yang mensyaratkan adanya tanda tangan pengurus yang akan diberhentikan ini memang membuat Rapat Pleno sulit terselenggara, yang tentunya disadari oleh Rais Aam dan Ketua Umum yang membuat Peraturan Perkumpulan NU tersebut. Namun, suka atau tidak suka Peraturan Perkumpulan NU harus diikuti karena forum permusyawaratan yang membuat aturan dan sejak awal menyadarinya.

Sekali saja aturan main ini dilanggar akan menciptakan preseden buruk tatanan organisasi di kemudian hari, yang mungkin saat ini pada posisi sebagai “pelaku” penyimpangan aturan main tetapi sewaktu-waktu pelaku di lain waktu bisa menjadi “korban” penyimpangan aturan main.

Lebih elegan, legitimate, dan konstitusional kiranya para insiator pemberhentian Ketua Umum ini menggunakan mekanisme Muktamar Luar Biasa berdasarkan Pasal 74 ayat (1) dan ayat (2) ART NU. Karena Muktamar Luar Biasa adalah forum permusyawaratan tertinggi yang berwenang untuk itu dan PBNU secara ex officio seharusnya menyelenggarakannya ketika syarat dan ketentuan usulan penyelenggaraannya terpenuhi.

Sedangkan pemberhentian Ketua Umum melalui pergantian antar waktu dan Rapat Pleno meskipun diatur dalam Peraturan Perkumpulan NU menyimpan problem penormaan, konflik norma, dan konstitusionalitas sesuai asas hukum dan kaidah penyusunan peraturan yang baik. Problem ini yang turut menimbulkan kisruh panjang dan penafsiran ganda yang seharusnya diperbaiki di masa mendatang yang akan ditulis lain waktu. Wallahu A’lam. 

* Penulis adalah Praktisi Hukum, Pemerhati Hukum Tata Negara, Managing Partner Miftakhul Huda & Rekan Law Firm