Sabtu, 11 Juli 2009

Posita/ Positum

Posita dikenal juga dengan fundamentum petendi. Posita adalah dasar atau alasan-alasan daripada sebuah tuntutan (middelen van den eis). Paling tidak sebuah permohonan atau gugatan berisikan: (1) identitas para pihak; (2) fundamentum petendi; dan (3) tuntutan atau petitum. Jadi, posita merupakan salah satu syarat sebuah gugatan atau permohonan di pengadilan. Posita sendiri merupakan bentuk jamak dari positum.

Posita sendiri berisikan dua bagian, yaitu: Pertama, bagian yang menguraikan tentang kejadian-kejadian atau peristiwa-peristiwa atau yang lebih dikenal dengan penjelasan duduk perkara (rechtfeiten). Kedua, bagian yang menguraikan tentang hukum atau uraian tentang hak/ hubungan hukum yang menjadi dasar hukum dari pada sebuah tuntutan.

Mengenai uraian bagian hubungan hukum/ hak inilah terdapat perbedaan pendapat di kalangan ahli hukum dan praktisi. Sebagian memandang diperlukan menyebut pasal-pasal hukum sebagai dasar hukum permohonan, sedangkan pendapat yang lain memandang hal tersebut tidak tidak diperlukan, karena hakim dianggap ”tahu hukum”, sedangkan para pihak hanya mengemukakan fakta-fakta hukum di persidangan.


Hal penting dalam posita yaitu uraian duduk perkara harus jelas, ringkas, padat dan terperinci perihal yang disengketakan, karena jika tidak terpenuhi mengakibatkan permohonan akan dianggap kabur dan tidak jelas (obscuur libel). Di Mahkamah Konstitusi (MK) selain pokok permohonan, Pemohon harus menjelaskan kewenangan MK sehingga memiliki kompetensi mengadili perkara yang diajukan, dan legal standing Pemohon disesuaikan dengan jenis perkara, antara lain soal objek perkara (objectum litis) dan pihak-pihak yang berhak berperkara (subjectum litis). Untuk perkara yang memiliki batas waktu pengajuan, Pemohon mestinya juga menguraikan fakta tidak terlampauinya batas waktu permohonan.

Sebagai contoh sebuah posita perkara permohonan pengujian undang-undang (PUU), Pemohon harus menjelaskan kewenangan MK, hak dan/atau kewenangan konstitusional yang dirugikan sehubungan dengan berlakunya undang-undang, yaitu sebagai perorangan WNI atau yang lain sesuai Pasal 51 ayat (1) UU MK. Kemudian harus memenuhi lima syarat sesuai yurisprudensi MK yaitu: a. adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang diberikan oleh UUD 1945; b. hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut oleh Pemohon dianggap dirugikan oleh suatu undang-undang yang dimohonkan pengujian; c. kerugian konstitusional tersebut harus bersifat khusus (spesifik) dan aktual atau setidak-tidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi; d. adanya hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian dan berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian; e. adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan, maka kerugian konstitusional seperti yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi. Kemudian setelah itu, baru masuk pokok permohonan dengan menguraikan pembentukan undang-undang atau materi muatan dalam ayat, pasal, dan/ atau bagian undang-undang bertentangan dengan UUD 1945.

Sebagai contoh lagi, untuk permohonan perselisihan hasil pemilu (PHPU) DPR, DPD dan DPRD maka Pemohon disamping mengemukakan kewenangan MK, uraian legal standing, tenggang waktu pengajuan permohonan, juga pokok permohonan yang menguraikan kesalahan hasil penghitungan suara yang diumumkan oleh KPU secara nasional dan hasil penghitungan yang benar menurut Pemohon. Pemohon mesti menjelaskan dengan terperinci klaim Pemohon dengan versi KPU yang merugikan dirinya untuk satu daerah pemilihan (dapil) atau beberapa dapil untuk pemilu DPR, DPD dan DPRD serta DPRDA/DPRK.

Hal yang perlu dikemukakan dalam gugatan/ permohonan di pengadilan, disamping gugatan pokok juga dimungkinkan dibarengi gugatan yang bersifat assesor yang melekat pada gugatan pokoknya. Dalam hukum acara di MK, dimungkinkan adanya penetapan sebelum putusan akhir untuk perkara sengketa kewenangan lembaga negara, yang memerintahkan pada pemohon dan/atau termohon untuk menghentikan sementara pelaksanaan kewenangan yang persengketakan sampai ada putusan MK (Vide Pasal 63 UU MK) Selain itu, dimungkinkan dalam perkara PHPU adanya putusan sela berdasar Peraturan MK. Sehingga dimungkinkan juga Pemohon dapat memintakan perihal tersebut dalam permohonan.(Miftakhul Huda)

Sumber: Majalah Konstitusi No. 29-Mei 2009