Minggu, 29 Agustus 2010

“Mala in Se” dan “Mala Prohibita”

Mala in se atau malum in se atau biasa disebut mala per se berasal dari bahasa latin yaitu suatu perbuatan yang dianggap sebagai sesuatu yang jahat bukan karena diatur demikian atau dilarang hukum positif atau Undang-Undang (UU), melainkan pada dasarnya perbuatan tersebut bertentangan dengan kewajaran, moral dan prinsip umum masyarakat yang beradab. Artinya tanpa sebuah UU menentukan perbuatan tersebut sebagai kejahatan atau delik, perbuatan tersebut merupakan kejahatan yang natural. Dalam terminologi bahasa Inggris disebut natural crime. Mala in se adalah “acts wrong in themselves/ acts morally wrong/offenses against conscience”.

Sedangkan Mala prohibita atau malum prohibitum, mengacu kepada perbuatan yang tergolong kejahatan karena diatur demikian oleh hukum positif atau oleh Undang-Undang. Mala prohibita merupakan “ acts wrong because they are prohibited/prphibited wrongs or offenses/ acts which are made offenses by positive laws”. Pada umumnya mala in prohibita dirumuskan tanpa mensyaratkan niat jahat (mens rea) pelakunya.

Jeremy Bentham menyatakan bahwa suatu tindakan yang tergolong mala in se, tidak dapat berubah (immutable), artinya dalam ruang manapun dan waktu tertentu kapanpun, tindakan tersebut tetap dianggap sebagai perbuatan jahat dan dilarang oleh hukum positif.

Sedangkan suatu tindakan yang tergolong mala prohibita, dapat berubah (not immutable), artinya dalam ruang dan waktu tertentu yang berbeda, tindakan tersebut dapat saja tidak lagi dianggap sebagai perbuatan jahat dan dilarang hukum yang berlaku.

Namun Hans Kelsen dalam General Theory of Law and State, menyatakan suatu perbuatan mungkin merupakan suatu delik di suatu komunitas masyarakat, namun tidak demikian dalam komunitas masyarakat yang lain karena perbedaan nilai moral yang dianut oleh masing-masing komunitas. Dan oleh karena suatu perbuatan dapat dikatakan sebagai suatu delik hanya ketika telah dilekati oleh sanksi hukum oleh Undang-Undang, maka semua delik adalah mala prohibita. Dengan kata lain, suatu perbuatan yang dianggap sebagai sesuatu yang jahat menurut hati nurani seseorang (mala in se) tetaplah bukan merupakan delik, jika atasnya tidak dilekati sanksi (hukuman/pidana).

Pembedaan ini tetap penting dalam hukum pidana yang berlaku sistem yang tidak mendasarkan pada peraturan perundang-undangan. Dalam sistem common law yang tidak berbasis perundang-undangan, suatu perbuatan tindak pidana ditentukan berdasarkan pembedaan mala in se atau mala prohibita tersebut. Tidak hanya di negara yang menganut common law, pembedaan Mala in se atau mala prohibita ini diperlukan dalam sistem berbasis perundang-undangan dalam hubungannya dengan kebijakan kriminal (criminal policy) yakni dalam merumuskan suatu perbuatan pidana atau bukan. Contoh misalkan kasus yang aktual saat ini di Indonesia, apakah perkawinan siri atau di bawah tangan lebih tepat sebagai perbuatan pidana dan dengan sanksi pidana berkaitan dengan kebijakan kriminal yang tepat di Indonesia.

Di Belanda kualifikasi atau pembedaan kejahatan (misdrijven, crimes) dan pelanggaran (overtredingen, infractions) terkait erat dengan hukum acara yang akan ditempuh, pengadilan manakah yang akan mengadili tindak pidana tersebut. Prof. Muladi menyatakan kejahatan diadili oleh mahkamah yang lengkap dengan 3 hakim (full bench) dari ‘district court’ (rechtbanken) atau oleh “politierechter” dengan hakim tunggal dari pengadilan distrik, sedangkan pelanggaran oleh ‘cantonal judge’ (kantonrechter), dengan hakim tunggal dari pengadilan distrik. Selanjutnya tindak pidana lalu lintas ringan dianggap sebagai ‘adminsitrative offence’ yang akan diproses melalui hukum acara administratif yang tidak sampai ke pengadilan. Selanjutnya terdapat konsekuensi bahwa pembantuan dan percobaan untuk melakukan pelanggaran tidak dapat dipidana. (P.J.P. Tak, 2003). Maksud semula pembuat UU mengadakan pembagian kejahatan dan pelanggaran ialah untuk membuat perbedaan antara perbuatan yang menurut sifatnya dianggap oleh setiap orang dapat dipidana sebagai kejahatan (delik hukum/rechtsdelict), dan perbuatan-perbuatan yang semata-mata atas pertimbangan kemanfaatan diancam dengan pidana sebagai pelanggaran (delik undang-undang/wetsdelict). Namun pembuat undang-undang tidak berhasil mewujudkan tujuan ini, karena sebenarnya tidak ada perbedaan antara delik hukum dan delik undang-undang. Pembedaan seperti ini merupakan pembedaan buatan. Yang terjadi sebenarnya adalah kualifikasi antara tindak pidana yang sungguh-sungguh dan yang bukan sungguh-sungguh (van Bemmelen).

Namun, kenyataan membuktikan berat ringannya kualitas dan dampak kejahatan dan pelanggaran juga relatif. Yang disebut sebagai pelanggaran bisa saja lebih berat akibatnya dari dengan yang disebut kejahatan. Pelanggaran administrativ bisa berakibat fatal kekacauan keuangan dan lain sebagainya. Oleh karenanya di Indonesia kualifikasi kejahatan dan pelanggaran dalam KUHP di samping tidak terkait dengan kompetensi Pengadilan juga tidak mencerminkan berat ringannya kualitas perbuatan pidananya, sehingga ada upaya tidak membedakan lagi dalam RUU KUHP.

Namun pada umumnya perbuatan yang dianggap termasuk mala in se adalah pembunuhan, perkosaan, pencurian, perampokan. Sebuah penganiayaan, terlebih penganiayaan berat (Putusan Nomor 1417/PUU-V/2007 tanggal 11 Desember 2007) terkandung unsur niat jahat (mens rea) dan dari segi kualifikasi tindak pidana, penganiayaan berat tergolong sebagai mala in se, yaitu perbuatan yang karena hakikatnya sudah merupakan perbuatan yang dilarang, bukan semata-mata karena hukum positif atau mala prohibita. Pemohon perkara sebagai pelaku tindak pidana penganiayaan berat jelas berbeda dari pelaku kealpaan ringan dan pelaku tindak pidana politik yang hanya karena perbedaan pandangan politik dengan rezim yang berkuasa. (Vide pertimbangan Putusan No.15/PUU-VI/2008, 10 Juli 2008 perkara Pengujian UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, DPRD).

MK pernah menggunakan pertimbangan pembedaan mala in se dengan mala prohibita terkait konstitusionalitas praktik kedokteran yang tidak mempunyai Surat Izin Registrasi (SIR) dan/atau Surat Izin Praktik (SIP) (UU Praktik Kedokteran) apakah dapat dibenarkan (gerechtvaardigd, justified) dan sudut teori hukum pidana dan bagaimana ancaman pidana yang diatur dalam Pasal 75 Ayat (1), Pasal 76, serta Pasal 79 huruf a dan Pasal 79 huruf c UU Praktik Kedokteran telah cukup proporsional dengan pelanggaran terhadap ketentuan yang diatur dalam Pasal 29 Ayat (1), Pasal 36, Pasal 41 Ayat (1), dan Pasal 51 huruf e UU Praktik Kedokteran. (Vide Putusan No. 4/PUU-V/2007).

Sumber:
http://id.wikipedia.org/wiki/Mala_in_se
http://id.wikipedia.org/wiki/Mala_prohibita
Asshiddiqie, Jimly dan M. Ali Safa’at, Teori Hans Kelsen Tentang Hukum, Jakarta: Setjen dan Kepaniteraan MK, 2006
Muladi, Beberapa Catatan Terhadap Buku II RUU KUHP, Makalah Sosialisasi RUU KUHP oleh Dephukham, Jakarta, 24 Agustus 2004
Putusan MK No. 4/PUU-V/2007, 19 Juni 2007
Putusan MK No.14-17/PUU-V/2007, 11 Desember 2007
Nomor MK No.15/PUU-VI/2008, 10 Juli 2008
(Miftakhul Huda)


(Sumber: Majalah Konstitusi No. 37-Februari 2010)