Oleh Miftakhul Huda*
Dalam hukum perdata apabila terdapat gugatan perdata yang diajukan yang memenuhi syarat: objek perkara, para pihak, dan pokok perkaranya pernah diputus pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap (in kracht van gewijsde/kracht van gewijsde) yang mengabulkan atau menolak gugatan, maka gugatan baru tersebut harus diputus ne bis in idem atau non bis in idem dengan putusan tidak menerima gugatan (niet ontvankelijk verklaard/NO).
Dengan demikian, dalam sebuah perkara yang putusan in kracht-nya menyatakan gugatan tidak dapat diterima karena alasan formalitas gugatan seperti gugatan kurang pihak, gugatan kabur, dan lain sebagainya masih dapat digugat kembali untuk kedua kalinya.
Sebuah gugatan yang diajukan seseorang ke pengadilan yang mengandung ne bis in idem, hakim harus menyatakan gugatan tersebut tidak dapat diterima. Asas hukum demikian secara jelas diatur dalam Pasal 1917 KUH Perdata.
Pasal
1917 KUH Perdata
Kekuatan suatu putusan hakim yang telah memperoleh kekuatan hukum yang pasti, hanya mengenai pokok perkara yang bersangkutan. Untuk dapat menggunakan kekuatan itu, soal yang dituntut harus sama; tuntutan harus didasarkan pada alasan yang sama, dan harus diajukan oleh pihak yang sama dan terhadap pihak-pihak yang sama dalam hubungan yang sama pula.
Sebagaimana pernah saya tulis dalam "Ne Bis In Idem", Majalah Konstitusi No. 28-April 2009, syarat-syarat diatas harus terpenuhi
untuk dapat dikatakan sebuah perkara ne bis in idem. Jadi, misalkan
perkara dengan objek dan materi perkara yang sama pernah diputus pengadilan
perdata, akan tetapi pihak-pihak bersengketa berbeda, tidak termasuk ne
bis in idem.
Contohnya a tidak ditarik sebagai
tergugat dalam sebuah perkara antara b dan c, kemudian perkaranya telah diputus
in kracht, maka pihak a yang tidak masuk sebagai para pihak dalam
putusan tersebut masih dapat mengajukan gugatan terhadap objek dan pokok perkara
yang sama yang pernah diputus antara b dan c. Untuk menghindari pengulangan
yang tidak perlu, sebuah gugatan harus menarik para pihak secara lengkap sebagai
tergugat (atau turut tergugat). Ketidaklengkapan para pihak tersebut hakim
dapat memutus gugatan tidak diterima jika tergugat mengajukan eksepsi
ketidaklengkapan tersebut.
Demikian pula tidak termasuk ne
bis idem dalam hal masalah jual beli tanah yang telah diputus pengadilan perdata
kemudian berdasarkan putusan in kracht tersebut mengajukan pembatalan sertifikat
hak atas tanah (Sertifikat Hak Milik, Sertifikat Hak Guna Bangunan dll) di Pengadilan Tata Usaha Negara. Tidak termasuk ne
bis in idem karena objek perkara dan pokok perkaranya berbeda, yakni objek gugatan
di PTUN adalah Keputusan Tata Usaha Negara, sedangkan objek perkara di Peradilan Umum adalah
perbuatan melawan hukum (PMH).
Tidak termasuk ne bis in idem pula terhadap seseorang yang dihukum bersalah melakukan tindak pidana, kemudian terhadapnya diajukan gugatan
perbuatan melawan hukum atas dasar putusan pemidanaannya dengan mengajukan tuntutan ganti rugi. Atau sebaliknya perkara perdata
yang telah in kracht yang benar-benar dan sungguh disertai atau mengandung unsur-unsur tindak
pidana, maka tindak pidananya tidak ne bis in idem.
Dengan adanya Pengadilan Negeri di
masing-masing wilayah dan hubungan hukum manusia yang lintas daerah memungkinkan terdapat
perkara perdata yang telah inkracht karena tiada banding, kemudian objek
dan pokok perkaranya masih digugat kembali di Pengadilan Negeri yang berbeda.
Untuk menghindari adanya putusan yang saling bertentangan ini, Mahkamah Agung mengeluarkan
Surat Edaran Ketua Mahkamah Agung No. 03 Tahun 2002 tentang Penanganan Perkara
yang Berkaitan dengan Azas Nebis In Idem.
Asas ne bis in idem dalam
hukum perdata ini berlaku juga dalam hukum pidana. Dalam hukum pidana melarang
seseorang diadili lebih dari satu kali atas satu perbuatan yang sudah ada putusan
yang menghukum bersalah atau membebaskannya atau doktrin common law system mengenalnya sebagai double jeopardy.
Asas ini semata-mata melindungi hak
asasi manusia agar seseorang tidak diadili untuk perkara yang sama untuk kedua
atau ketiga kalinya dalam masalah yang sama. Asas ini terkait asas kepastian
hukum dimana masalah hukum yang telah diselesaikan otoritas berwenang harus ada
ujung penyelesaiannya. Asas ini telah dijamin dalam Pasal 14 ayat (7) International
Covenant On Civil And Political Rights yang
telah disahkan Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005.
Dengan dasar ne bis in idem,
sebuah perkara dapat dihentikan penyidikan atau penuntutannya. Sebuah perkara
yang ne bis in idem yang terlanjur masuk ke proses pengadilan, maka seorang
hakim harus memutuskan tuntutan jaksa tidak dapat diterima.
Menurut saya, Mahkamah Konstitusi (MK) menganut asas ne bis in idem dengan adanya ketentuan yang
menyatakan: ”Terhadap materi muatan ayat, pasal, dan/ atau bagian dalam
undang-undang yang telah diuji, tidak dapat dimohonkan pengujian kembali”
(Pasal 60 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Mahkamah Konstitusi).
Ketentuan larangan ini dikecualikan jika materi muatan yang dijadikan dasar pengujian berbeda berdasarkan Pasal 60 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan atas UU MK dan sudah ditegaskan sebelumnya melalui Pasal 42 Ayat (2) PMK No.06/PMK/2005 yang menjadi dasar pengujian UU dalam praktik.
Dasar gugatan berbeda yang berlaku di MK ini tentunya juga tidak dapat diterapkan dalam hukum pidana atau hukum perdata dengan gugatan baru. Tetapi sesungguhnya dua rumpun hukum tersebut menyediakan mekanisme upaya hukum luar biasa melalui Peninjauan Kembali untuk dapat menguji kembali putusan yang pada dasarnya sudah in kracht. Upaya PK ini jalan pamungkas para pihak memperoleh keadilan dimana upaya ini tidak dimiliki oleh MK karena putusan MK bersifat final dan mengikat.
Pemahaman dan penerapan (layaknya) ne bis in idem di MK yang berbeda dengan pengadilan pada umumnya karena beberapa alasan perbedaan mendasar. Tulisan Pan Mohamad Faiz, "Dekonstruksi Ne Bis In Idem di Mahkamah Konstitusi" di Majalah Konstitusi No. 144 Februari 2019 cukup menjelaskan hal tersebut sebagai diskursus baru penggunaan istilah universal ini kurang tepat dalam konteks pengujian undang-undang.
Menurut Faiz, pengujian undang-undang adalah terkait perkara abstrak (abstract review) bukan perkara konkret dan individual, undang-undang dituntut menyesuaikan dengan kondisi masyarakat dan konstitusi harus dipastikan sebagai konstitusi yang hidup (the living constitution), larangan pengujian undang-undang justru berbahaya bagi penegakan konstitusionalisme, dan kepentingan seluruh warga negara justru menghendaki adanya pengujian undang-undang kembali meskipun pernah diputus sebelumnya.
* Praktisi Hukum, Pemerhati Hukum Tata Negara
Sumber:
- KUH
Perdata
- Putusan-Putusan Mahkamah Agung RI terkait Putusan Ne Bis In Idem.
- Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant On Civil And
Political Rights (Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil Dan Politik)
- Peraturan MK No.06/PMK/2005 tentang Pedoman Beracara Dalam Perkara Pengujian Undang-Undang.
- Pan Mohamad Faiz, "Dekonstruksi Ne Bis In Idem di Mahkamah Konstitusi", Majalah Konstitusi No. 144 Februari 2019
- Miftakhul
Huda, "Ne Bis In Idem", Majalah Konstitusi No. 28-April 2009.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar