Rabu, 29 Desember 2010

Masa Depan Demokrasi di Indonesia

Apakah jatuhnya Orde Baru (Orba) serta merta terjadi proses demokratisasi? Dalam perspektif kelas, jawabannya akan “tidak”. Jatuhnya Orba tidak diiringi hancurnya basis politik pemerintahan Soeharto. “Malah sejumlah sekutu lama Soeharto berhasil mengamankan berbagai posisi strategis dalam pemerintahan baru, sementara rekaman-rekaman bisnis Soeharto masih menjadi faktor menentukan dalam proses pemulihan ekonomi Indonesia,” jelas Eric Hariej (2005: 48) sebagaimana dikutip Kacung Marijan.

Sejalan dengan itu, Richard Robinson dan Vedi R. Hadiz (2004: 27) melihat perubahan terjadi ditentukan ada tidaknya keruntuhan, “the social interests and relations of powers in which they were embedded”. Berbeda dengan Soekarno, kroni binis Soeharto tidak lantas ikut jatuh seiring jatuhnya Soeharto, sehingga Indonesia belum dapat dikatakan memasuki periode transisi demokrasi. Sebaliknya pandangan pluralis (Anwar, Budiman, Kingsbury, Liddle, Tan) melihat jatuhnya Soeharto membawa arah transisi menuju demokrasi. Pemilu merupakan "symbol of Indonesia’s genuine democratization.”

Kacung membenarkan kedua perspektif tersebut berdasarkan data empiris, namun ia mengaku terjadinya perbedaan pelembagaan politik yang berbeda dengan sebelumnya. Sistem perwakilan, kepartaian dan pemilu sudah banyak berubah. Namun, menurutnya proses demokrasi berjalan lambat, karena aktor-aktor lama maupun aktor baru masih dapat membangun oligarki baru, meskipun berbeda model dengan sebelumnya.

Problem Pelembagaan

Buku ini menggambarkan sistem politik Indonesia pasca pemerintahan Orde Baru. Indonesia ditandai dengan penataan kelembagaan demokrasi yang memungkinkan hak-hak warga negara terpenuhi dan kekuasaan tidak terkonsentrasi satu lembaga. Sentralisasi kekuasaan merupakan masalah utama sistem politik masa lalu.

Namun, berbagai desain kelembagaan membangun sistem demokratis menyisakan problem. Misalkan saja, meski menganut sistem presidensial, tetapi faktanya DPR masih sangat kuat. Seharusnya pilihan sistem presidensial diikuti pilihan kelembagaan politik lain yang mendukung, misalkan sistem kepartaian sederhana. “Bagaimanapun juga, sistem presidensial itu bisa berlangsung secara baik manakala presiden memiliki otoritas yang cukup untuk mengeksekusi atau mewujudkan (delivery) kebijakan-kebijakan yang dibuat,” kata Kacung. Selain itu, terkait relasi kekuasaan KY dengan MA, KY justru dianggap sebagai batu sandungan MA.

Selain itu, sistem perwakilan didesain terbatas. Sehingga lebih tepat sistem perwakilan kita sebagai “Sistem Satu Setengah Kamar”. Upaya penguatan DPD kurang mendapatkan dukungan dan hanya memungkin calon DPD bukan dari partai. Perwakilan kelompok marjinal secara politik, seperti perempuan dan kelompok minoritas, mengalami hambatan kultural dan struktural meski ditata kembali. Perlu dipikirkan benar-benar semua kelompok benar-benar terwakili.

Relasi wakil rakyat dan yang diwakili meski berubah, akan tetapi kepercayaan rakyat atas anggota DPR tidak lebih baik dari sebelumnya. Terjadi dicconnect electoral dengan elit lebih bercorak oligarkis, budaya patron-client masih terjadi, dan perilaku pemilih mengarah transaksi material. Akuntabilitas wakil rakyat juga dipertanyakan, dengan pemilih tidak memiliki informasi cukup wakil-wakilnya, apakah layak dipilih kembali atau tidak, dan tidak tumbuh pemilih rasional-gagasan. Terkait kebijakan otonomi daerah, tidak serta merta melahirkan kehidupan demokrasi lebih baik di daerah.

Mau Ke Mana?

Dari semua problem ini, Kacung percaya Indonesia berjalan ke arah yang benar. Namun, masa transisi menuju demokrasi di Indonesia ini memang bisa mengalami kegagalan dalam melakukan konsolidasi. Artinya jika gagal, Indonesia akan kembali kepada sistem otoritarian, atau ke sistem yang rapuh, tidak otoriter namun tidak pula demokratis.

Demokrasi dikatakan terkonsolidasi, jika terdapat regularitas, adanya rutinitas dan kesinambungan, di dalam mekanisme berdemokrasi. Penataan kelembagaan harus disertai perbaikan budaya politik pada tingkat individu, baik itu elit maupun massa. Mengacu pandangan Scheduler, konsolidasi demokrasi tidak lepas dari konteks struktural yang melingkupinya, sikap dan perilaku aktor-aktor yang terlibat didalamnya.

Di buku ini terdapat optimisme itu. Artinya kesempatan untuk melakukan perubahan telah terbuka lebar yang tidak dibisa dilakukan pada masa pemerintahan sebelumnya. Prof. Kacung disini berusaha kritis menyebutkan perilaku aktor, elit dan anggota masayarakat kurang mendukung itu. Bahkan aktor-aktor penting yang terlibat dalam kekuasaan yang menempati posisi penting justru menggunakan kekuasaan untuk diri sendiri dan kelompok kecil orang. Sementara itu, disisi lain, ekonomi rakyat tidak tampak membaik menjadi persoalan sendiri pemerintahan demokrasi.

Buku ini cukup mendalam mengkaji berbagai hal termasuk relasi pusat-daerah dan upaya membangun birokrasi dan militer yang profesional, posisi agama, kelompok media, bisnis dalam politik. Tidak terbatas relasi, tetapi juga pengaruh antar kekuasaan. Buku ini membantu kita belajar apa yang perlu dibenahi dengan selalu tetap kritis. Selain itu, pembahasan buku ini dapat diketahui apakah konsolidasi demokrasi sedang terancam atau tidak. Tapi semuanya tentu kembali kepada kita semua mengantisipasinya.

Oleh Miftakhul Huda, Redaktur Majalah Konstitusi


Judul : Sistem Politik Indonesia, Konsolidasi Demokrasi Pasca Orde Baru

Pengarang : Prof. Kacung Marijan, Ph.D.

Penerbit : Kencana, Prenada Media Group

Tahun : Mei, 2010

Jumlah : 364+ xxii

Resensi buku ini dimuat di Majalah Konstitusi No. 45-Oktober 2010, hlm. 80-81.