Kamis, 28 Januari 2010

"Pemeriksaan Setempat"

Pemeriksaan setempat atau descente menurut Sudikno Mertokusumo dalam “Hukum Acara Perdata Indonesia” (1988) ialah pemeriksaan mengenai perkara oleh hakim karena jabatannya yang dilakukan diluar gedung pengadilan atau di luar tempat kedudukan pengadilan, agar hakim dengan melihat sendiri memperoleh gambaran atau keterangan yang memberi kepastian tentang peristiwa-peristiwa yang menjadi sengketa.

Kalau seorang hakim merasa belum memiliki kepastian bukti-bukti yang diajukan, sementara itu keberadaan objek sengketa seperti barang tetap (tanah, gedung dan sebagainya) yang tidak dapat dihadirkan di dalam persidangan sebagaimana layaknya barang bergerak, maka persidangan dapat dilakukan di mana barang tersebut berada. Pemeriksaan setempat diakui keberadaannya dalam hukum acara perdata. Praktek pemeriksaan setempat dilakukan oleh Ketua Mejelis Hakim yang memeriksa perkara dan yang memimpin persidangan. Pemeriksaan setempat dilakukan dengan memberikan putusan mengenai pengabulan atau penolakannya setelah ada permintaan para pihak.

Meskipun pemeriksaan setempat bukan alat bukti sebagaimana Pasal 164 HIR, tetapi oleh karena tujuannya agar hakim memperoleh kepastian peristiwa yang disengketakan, maka fungsi pemeriksaan setempat hakekatnya adalah sebagai alat bukti. Kekuatan pembuktiannya sendiri diserahkan kepada hakim. Dikabulkannya sebuah permohonan pemeriksaan setempat dilakukan dengan putusan sela, yakni putusan interlocutoir. Putusan sela ini berbeda dengan putusan sela jenis lainnya yang tidak berkaitan dengan putusan akhir, akan tetapi hanya agar memperlancar pemeriksaan perkara seperti misalkan putusan penggabungan dua perkara atau menolak pemeriksaan seorang saksi, atau masuknya seseorang dalam perkara.

Selama ini MK mengenal putusan sela berdasar UU No.24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (MK), Peraturan MK dan praktek kekuasaan mengadili perkara berdasarkan konstitusi. Dalam sengketa pemilu dan sengketa kewenangan lembaga negara, MK mengakomodasi putusan sela tersebut. Selanjutnya melalui putusan provisi (sela) MK juga menerapkan putusan sela untuk mencegah kerugian hak-hak konstitusional warga negara dalam sebuah perkara pengujian UU KPK yang diajukan oleh Bibit-Chandra. (Miftakhul Huda)
Sumber: Majalah Konstitusi No. 34 Nopember 2009